Sabtu, 14 Agustus 2010

Besutan Sebagai Bingkai Inspirasi Sosial

Sabrank Suparno
 
Di Jombang, seni Besutan tergolong pementasan teater tradisional. Istilah ‘Besut’ diambil dari kiroto boso (kiro-kiro boso seng ceto) yang artinya “mbeberno maksud’// memaparkan uneg-uneg dan tujuan.
 
Seni besutan di Jombang pertama kali diperankan oleh Pak Santik (1894-1897) saat Pak Santik menjadi abdi dalem di kantor Kabupaten Jombang. Selain sebagai abdi dalem Kabupaten, Pak Santik juga sebagai petani tulen. Sembari menunggu hasil panen itulah Pak Santik mengisi hari-hari luangnya dengan mengamen keliling.
 
Sebagai seniman, Pak Santik perlu memilih dan menentukan bentuk performanya. Ia berharap cara mengamennya dapat menarik simpati penonton. Setelah ia uji coba dengan merias dirinya dengan bedak tebal dan menor seperti badut, Pak Santik kemudian ditertawakan cucunya yang melihat dandanan konyolnya pertama kali. Dari tertawaan cucunya inilah Pak Santik berfikir “kok cucu pada tertawa, oow berarti lucu”. Dengan bermodal penampilan lucu sebelum berimprovisasi Pak Santik percaya kalau seni mengamennya pasti menghibur.
 
Ketika tidak mengamen, Pak Santik tetap dipanggil dengan nama aslinya. Namun ketika akan berangkat ngamen, Pak Santik berdandan khas ala tradisional rakyat desa yang dimodifikasi ulah kekanak-kanakan: Celana hitam komprang, kaos lorek merah putih, berpoles bedak tebal, dan memakai kupluk bayi yang ujungnya lancip. Saat berpakaian seperti inilah, Pak Santik menamakan dirinya Besut.
 
Aktifitas ngamen Besut ini, murni mencari uang di musim tunggu panen. Besut blusukan ke berbagai desa. Tak syak, dalam waktu dekat pengamen besut terkenal ke seluruh pelosok sekitar Jombang.
 
Setelah Besut digemari banyak penonton, ia mulai menggagas metode yang cermat, tepat dan bermutu dalam melakonkan adegan penyampaian maksud yang dituju. Tentu akan lebih rampak jika dialektika yang dilakukan tergambar langsung dengan lawan main, dan bukan bermonolog. Maka Besut kemudian menggaet kawan-kawannya yang senasib (dalam menunggu panen tiba) untuk ikut mengamen. Kepekaan Besut dalam menyampaikan maksudnya, tidak jauh-jauh dari sentilan dasar problematika keseharian masyarakat sekitar. Yakni perbincangan geleter sepotar laki-laki dan perempuan, sepasang kekasih, masalah masalah rumah tangga (suami-isteri). Besut kemudian merias temannya laki-lakinya dipoles ala wanita. Disisi lain, dengan berdandan ala wanita bertujuan menyembunyikan profil dirinya agar tidak diketahui anak, kerabat yang mungkin malu.
 
Ketika rombongan pengemen Besut masih berjumlah 2 orang, performa ngamennya hanya seputar pitutur para sesepuh, parikan, anekdot lawakan yang dilantunkan dengan gandang. Tetapi ketika anggotanya bertambah, dan memungkinkan untuk memerankan alur cerita, barulah rombongan Besut mengamen dengan pagelaran cerita utuh dengan lakon “Besutan”.
 
Dalam lakon Besutan ini, Pak Santik mendapuk dirinya sebagai tokoh utama Besut, dan dibantu peran pendamping Rusmini, Paman Gondo, dan Sumo Gambar. Dalam beberapa pementasan ludruk sekitar tahun 80an yang pernah saya saksikan, dimainkan juga peran cantrik bernama Pentul Tembem.
 
Lakon Besutan, hanya mempunyai satu alur cerita baku. Yakni, Besut sebagai pemuda desa yang jatuh cinta pada Rusmini. Percintaan Besut dan Rusmini kandas terhela paman Rusmini yang bernama Paman Gondo, sebab Paman Gondo ingin menjodohkan Rusmini dengan seorang borjuis yang diperankan oleh Sumo Gambar.
 
Sebagaimana folklor daerah-daerah lain di Indonesia, seni Besutan adalah teater tradisional yang digurat berdasarkan simbol kehalusan seni penciptanya. Misi cerita Besutan juga menambah ke nilai pemberontakan yang mewakili refleksi kolonial. Percintaan Besut dan Rusmini, melampirkan simbolik pribumi mencintai bangsanya. Rusmini adalah gadis belia yang ikut pamannya, dan bukan orang tuanya, adalah metafora Indonesia yang nama dan tradisinya tidak berinduk dari hati rakyat. Paman Gondo yang menguasai Rusmini (tanah air) justru getol menukar keponakannya dengan negara-negara kapitalis (Sumo Gambar) dengan cirri peringai tinggi, besar, berwajah buruk, serakah. Di Jawa Tengah, Sumo Gambar ditakwilkan sesosok orang yang pandai menggambar, merancang desain, setting mode, grand desain, purcaca, atau sebutan setara.
 
Pagelaran Besutan, diawali dengan adegan bermantra keluarnya seorang yang membawa obor dengan mata terpejam dan mulut tersumpal susur, serta jalan merangkak. Lakon digebyakkan setelah obor mati disembur mulut si Besut yang tersumpal.
 
Fenomena pascakolonial tergambar dalam bingkai Besutan. Obor pencerahan yang ditawarkan penjajah, berujung tendensi melumpuhkan dan membutakan rakyat Indonesia. Dengan menggantisipasi jarak pandang terhadap program colonial diharapkan dapat memadamkan muslihat pencerahan penjajah.
 
Dalam diskusi yang bertajuk “Prospek Teater Tradisional dan Modern” yang digelar Disporabudpar pada 10 Juli 2010 lalu, sastrawan legendaris Sosiawan Leak berasumsi bahwa : “ besutan sebagai teater tradisi, hanyalah bingkai yang dapat dimasuki muatan sosial, politik, agama dll.
 
Seni Besutan merupakan metamorfosis dari seni Lerok-Besutan dan kemudian menjadi Ludruk. Seni Lerok hanya dimainkan satu orang dengan wajah hiperpoles. Sehingga dikenal istilah Lerok : terlalu menor. Sebagian sumber mengatakan: Lerok singkatan dari 2 kata : li dan rok (Kemaluan laki-laki dan perempuan bahasa Jawa Timuran).
 
Sementara itu Nasrul Ilaihi (Cak Nas) selaku pengamat seni- budaya Jombang, memaparkan, bahwa seni Besutan marak kembali seputar era 80-a, setelah hengkang sejak akhir pendudukan Belanda. Apalagi sekarang mulai ada beberapa dalang muda lokal (Dalang Jekdhong: kusus dalang Jawa Timuran) yang mengadopsi peran Lembok dalam pementasan wayang, menjadi peran ‘Besut’.
 
Untuk menunjang subur dan berkembangnya kembali seni Besutan, Beny Setia (Cerpenis asal Caruban) menganjurkan, perlu adanya sponsorsif media lokal yang menggandeng media nasional. Pun juga diperlukan keberanian sutradara untuk merubah hukum panggug pementasan lebih minimalis menyesuakan dengan perkembangan zaman.
 
Bagaimanapun juga percaturan dunia perteateran Indonesia dihadapkan dengan tehnologi sibernetik. Namun yang lebih tandas dari kelanggengan teater sebagai anak sungai seni adalah hendak dikemanakan? Departemen Kesenian dan Kebudayaan masih menyejajarkan sebagai proses edukatif anak bangsa. Namun ketika dilipat dalam Dinas Pariwisata dan Budaya, cenderung mulai dikomersilkan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar