Sabrank Suparno
Di Jombang, seni Besutan tergolong pementasan teater tradisional. Istilah
‘Besut’ diambil dari kiroto boso (kiro-kiro boso seng ceto) yang artinya
“mbeberno maksud’// memaparkan uneg-uneg dan tujuan.
Seni besutan di Jombang pertama kali diperankan oleh Pak Santik (1894-1897)
saat Pak Santik menjadi abdi dalem di kantor Kabupaten Jombang. Selain sebagai
abdi dalem Kabupaten, Pak Santik juga sebagai petani tulen. Sembari menunggu
hasil panen itulah Pak Santik mengisi hari-hari luangnya dengan mengamen
keliling.
Sebagai seniman, Pak Santik perlu memilih dan menentukan bentuk
performanya. Ia berharap cara mengamennya dapat menarik simpati penonton.
Setelah ia uji coba dengan merias dirinya dengan bedak tebal dan menor seperti
badut, Pak Santik kemudian ditertawakan cucunya yang melihat dandanan konyolnya
pertama kali. Dari tertawaan cucunya inilah Pak Santik berfikir “kok cucu pada
tertawa, oow berarti lucu”. Dengan bermodal penampilan lucu sebelum
berimprovisasi Pak Santik percaya kalau seni mengamennya pasti menghibur.
Ketika tidak mengamen, Pak Santik tetap dipanggil dengan nama aslinya.
Namun ketika akan berangkat ngamen, Pak Santik berdandan khas ala tradisional
rakyat desa yang dimodifikasi ulah kekanak-kanakan: Celana hitam komprang, kaos
lorek merah putih, berpoles bedak tebal, dan memakai kupluk bayi yang ujungnya
lancip. Saat berpakaian seperti inilah, Pak Santik menamakan dirinya Besut.
Aktifitas ngamen Besut ini, murni mencari uang di musim tunggu panen. Besut
blusukan ke berbagai desa. Tak syak, dalam waktu dekat pengamen besut terkenal
ke seluruh pelosok sekitar Jombang.
Setelah Besut digemari banyak penonton, ia mulai menggagas metode yang
cermat, tepat dan bermutu dalam melakonkan adegan penyampaian maksud yang
dituju. Tentu akan lebih rampak jika dialektika yang dilakukan tergambar
langsung dengan lawan main, dan bukan bermonolog. Maka Besut kemudian menggaet
kawan-kawannya yang senasib (dalam menunggu panen tiba) untuk ikut mengamen.
Kepekaan Besut dalam menyampaikan maksudnya, tidak jauh-jauh dari sentilan
dasar problematika keseharian masyarakat sekitar. Yakni perbincangan geleter
sepotar laki-laki dan perempuan, sepasang kekasih, masalah masalah rumah tangga
(suami-isteri). Besut kemudian merias temannya laki-lakinya dipoles ala wanita.
Disisi lain, dengan berdandan ala wanita bertujuan menyembunyikan profil
dirinya agar tidak diketahui anak, kerabat yang mungkin malu.
Ketika rombongan pengemen Besut masih berjumlah 2 orang, performa ngamennya
hanya seputar pitutur para sesepuh, parikan, anekdot lawakan yang dilantunkan
dengan gandang. Tetapi ketika anggotanya bertambah, dan memungkinkan untuk
memerankan alur cerita, barulah rombongan Besut mengamen dengan pagelaran
cerita utuh dengan lakon “Besutan”.
Dalam lakon Besutan ini, Pak Santik mendapuk dirinya sebagai tokoh utama
Besut, dan dibantu peran pendamping Rusmini, Paman Gondo, dan Sumo Gambar.
Dalam beberapa pementasan ludruk sekitar tahun 80an yang pernah saya saksikan,
dimainkan juga peran cantrik bernama Pentul Tembem.
Lakon Besutan, hanya mempunyai satu alur cerita baku. Yakni, Besut sebagai
pemuda desa yang jatuh cinta pada Rusmini. Percintaan Besut dan Rusmini kandas
terhela paman Rusmini yang bernama Paman Gondo, sebab Paman Gondo ingin
menjodohkan Rusmini dengan seorang borjuis yang diperankan oleh Sumo Gambar.
Sebagaimana folklor daerah-daerah lain di Indonesia, seni Besutan adalah
teater tradisional yang digurat berdasarkan simbol kehalusan seni penciptanya.
Misi cerita Besutan juga menambah ke nilai pemberontakan yang mewakili refleksi
kolonial. Percintaan Besut dan Rusmini, melampirkan simbolik pribumi mencintai
bangsanya. Rusmini adalah gadis belia yang ikut pamannya, dan bukan orang
tuanya, adalah metafora Indonesia yang nama dan tradisinya tidak berinduk dari
hati rakyat. Paman Gondo yang menguasai Rusmini (tanah air) justru getol
menukar keponakannya dengan negara-negara kapitalis (Sumo Gambar) dengan cirri
peringai tinggi, besar, berwajah buruk, serakah. Di Jawa Tengah, Sumo Gambar
ditakwilkan sesosok orang yang pandai menggambar, merancang desain, setting
mode, grand desain, purcaca, atau sebutan setara.
Pagelaran Besutan, diawali dengan adegan bermantra keluarnya seorang yang
membawa obor dengan mata terpejam dan mulut tersumpal susur, serta jalan
merangkak. Lakon digebyakkan setelah obor mati disembur mulut si Besut yang
tersumpal.
Fenomena pascakolonial tergambar dalam bingkai Besutan. Obor pencerahan
yang ditawarkan penjajah, berujung tendensi melumpuhkan dan membutakan rakyat
Indonesia. Dengan menggantisipasi jarak pandang terhadap program colonial
diharapkan dapat memadamkan muslihat pencerahan penjajah.
Dalam diskusi yang bertajuk “Prospek Teater Tradisional dan Modern” yang
digelar Disporabudpar pada 10 Juli 2010 lalu, sastrawan legendaris Sosiawan
Leak berasumsi bahwa : “ besutan sebagai teater tradisi, hanyalah bingkai yang
dapat dimasuki muatan sosial, politik, agama dll.
Seni Besutan merupakan metamorfosis dari seni Lerok-Besutan dan kemudian
menjadi Ludruk. Seni Lerok hanya dimainkan satu orang dengan wajah hiperpoles.
Sehingga dikenal istilah Lerok : terlalu menor. Sebagian sumber mengatakan:
Lerok singkatan dari 2 kata : li dan rok (Kemaluan laki-laki dan perempuan
bahasa Jawa Timuran).
Sementara itu Nasrul Ilaihi (Cak Nas) selaku pengamat seni- budaya Jombang,
memaparkan, bahwa seni Besutan marak kembali seputar era 80-a, setelah hengkang
sejak akhir pendudukan Belanda. Apalagi sekarang mulai ada beberapa dalang muda
lokal (Dalang Jekdhong: kusus dalang Jawa Timuran) yang mengadopsi peran Lembok
dalam pementasan wayang, menjadi peran ‘Besut’.
Untuk menunjang subur dan berkembangnya kembali seni Besutan, Beny Setia (Cerpenis
asal Caruban) menganjurkan, perlu adanya sponsorsif media lokal yang menggandeng
media nasional. Pun juga diperlukan keberanian sutradara untuk merubah hukum
panggug pementasan lebih minimalis menyesuakan dengan perkembangan zaman.
Bagaimanapun juga percaturan dunia perteateran Indonesia dihadapkan dengan
tehnologi sibernetik. Namun yang lebih tandas dari kelanggengan teater sebagai
anak sungai seni adalah hendak dikemanakan? Departemen Kesenian dan Kebudayaan
masih menyejajarkan sebagai proses edukatif anak bangsa. Namun ketika dilipat
dalam Dinas Pariwisata dan Budaya, cenderung mulai dikomersilkan.
***
Sabtu, 14 Agustus 2010
Besutan Sebagai Bingkai Inspirasi Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar