Rabu, 14 Juli 2010

Wangi Bunga Di Atas Makam

Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/

Mendamba, adalah puncak do’a bathin nan serius, yang dilakukan orang tua pada anaknya, guru pada muridnya, dosen terhadap mahasiswanya, kiai pada santrinya, agar kelak anak didik dan anak asuhnya menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Tak heran jika kemudian para orang tua rela mengucurkan jutaan rupiah demi pendidikan anaknya, dengan harapan agar kelak di kemudian hari tidak bernasib seperti bapaknya. Namun tentu saja lebih baik dari segi apapun; moral, intelektual, spiritual sebagai harkat martabat hidupnya.

Sejajar ungkapan jawa; ‘anak polah, bopo kepradah’ anak berulah, orang tua menanggung akibatnya. Baik-buruk perilaku anak, sangat berpengaruh terhadap kredibilitas orang tuanya. Dalam ungkapan lain, anak diharapkan ‘mikul duwur, mendem jeru’ terhadap orang tua. Mikul duwur: menghargai jasa-jasanya, mempraktekkan pitutur orang tua. Mendem jeru: tidak mengungkit-ungkit kesilapan orang tuanya.

Gus Zainal Arifin Thoha, semasa hidupnya dapat dijadikan acuhan cetak tebal bagi debut kepenyairannya di belantara sastra Indoesia. Kiai muda yang akrab dipanggil Gus Zainal itu, tidak sekedar ekstase atas keberhasilannya sebagai penyair, bahkan pondok pesantrennya di dermakan bagi para mahasiswa di Yogyakarta, lebih-lebih yang ingin mendalami dunia tulis-menulis dan kepenyairan, padahal taraf kehidupan rumah tangga Gus Zainal sendiri masih serba kekurangan.

Di pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta inilah, sembari memimpin pondoknya, Gus Zainal menelorkan buku-bukunya: Aku Menulis Maka Aku Ada, Jagatnya Gus Dur, Runtuhnya Singgasana Kiai NU, dll. Bagai ayam bertelor di lumbung padi, para mahasiswa dapat mondok dengan bebas iuran, juga dibimbing mendalami dunia kepenulisan.

Disadari atau tidak, semasa hidupnya Gus Zainal, seolah mengukir guratan nisan di atas makamnya kelak. Betapa tidak, anak-anak yang bergiat di “Sastra Kutub,” yang note bene mencecap sum-sum kepenyairan Gus Zainal, serempak berhamburan mengepakkan berbagai bendera kepenyiaran.

Buku Antologi Puisi Mazhab Kutub ini dihuni 14 sastrawan muda jebolan sarang bergerumunnya Sastra Kutub. Barisan nama: Selendang Sulaiman, Mahwi Air Tawar, Ahmad Muchlis Amrin, Ala Roa, Jufri Zaituna, Mohammad Ali Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J. Sujibto, Salman Rusydi Anwar, Matroni El-Moezany, Ahmad Maltuf Syamsury, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal dan Alfian Harfi, menyuguhkan puisi-puisi yang menggelinjang di era sekarang.

Secara keseluruhan puisi-puisi mereka, menorehkan jenis ornamental mozaik baru dari transisi konversi dogmatis struktur kepenyairan lampau. Pematahan tradisi ritmatik, adalah simbol baju khas penyair anak jaman yang lahir pada dekaden 80’an. Kecenderungan ‘bebas’ namun dalam kadar tekstur kepuisian, tidak lantas dituding sebagai pembelotan arah, lebih dari itu merupakan ramuan padu semerbak harum aneka warna bunga yang mungkin didambakan Gus Zainal semasa hidupnya, dan kini harum mewangi bunga itu di tebarkan para santrinya dalam Mazhab Kutub.

Larik-larik puisi Mazab Kutub sengaja disuguhkan dengan tehnik observasi terbaru sebagai pilihan sikap mewakili anak zaman. Seperti merubahnya Mother Thereza dari jargon: aku bukan orang yang ‘anti kekerasan’, melainkan lebih lentur digubah menjadi: aku ingin menjadi bagian dari ‘pro perdamaian’. Bedanya pada jargon pertama, kata ‘kekerasan’ masih disertakan dalam meng-anti-kannya, tetapi pada jargon kedua kata ‘kekerasan’ sudah tidak ditemukan lagi, meski dua jargon itu berkapasitas nilai setara.

Kehati-hatian tercermin di setiap gelitik puisi pada antologi ini. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dari kerangkeng orde baru, tidak lantas dilakukan 14 penyair tersebut dengan berlarat-larat atas nama mengisi kebebasan, namun lebih ke elevasi nilai dalam kebebasan itu sendiri.

Kekuatan unsur filsafat, dapat kita jumpai dalam puisi-puisi Matroni El-Moezany; engkau boleh sombong//asal masih ada sebiji sadar di jiwamu// (Adalah Engkau,) penyair adalah separuh semesta//dan separuhnya adalah kata-kata (Risalah Batu-Batu), penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan//memberi tanpa laba//memberi tanpa unsur apa-apa. Puisi “Malam Kian Panjang,” karya Imam S Arizal: aku membaca malam//ditubuhmu kian panjang//serupa sungai-sungai musim hujan.

Refleksi repertoal sebagai ciri pengabdian sekaligus kesetiaan penyair tatkala melebur dengan alam, juga dihadirkan dalam Antologi Puisi Mazhab Kutub ini. Hiruk pikuk polesai kehidupan di seputaran Malioboro misalnya, disuguhkan Muhammad Alif Mahmudi bertitel: “Sepanjang Malioboro”, sebagai potret nyata antara “ada” dan harapan. Hal yang sama dilakukan Imam S Arizal dalam “Narasi Laut Kenjeran,” sedangkan Ahmad Maltuf Syamsury melarikkan deretan “Warung Tunggu”.

Disamping warna ekstase diri penyair kala menyelami kedalaman samudera jiwanya, ada juga beberapa puisi profaitik dan pemberontakan sosial. Yang menarik di buku ini, pemberontakan yang dilakukan, ibarat ujung pedang bermata dua. Satu sisi ketimpangan sosial harus disingkap, di sisi lain, penyingkapannya tidak diperlukan jatuhnya sudut pandang yang curam. Bagi para penyair ini merumuskan, bahwa metode kritik curam dan tajam terbukti gagal mengatasi ketimpangan sejarah. Selanjutnya, landai-landai saja.

JUDUL BUKU: Antologi Puisi Mazhab Kutub
PENULIS: Sastrawan Kutub
PENERBIT: PUstaka puJAngga
CETAKAN: 1 Juni 2010
TEBAL: 108 halaman
Peresensi: Sabrank Suparno*

*) Penggiat literasi di Lincak Sastra Jombang. Beralamat di RT/TW:08/02, Desa Plosokerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. HP: 081-359-913-627/ 085-645-085-745.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar