Fahrudin Nasrulloh
Mekarlah kembang
Di taman sajak
Mekarlah cipta, cita, dan cinta
Menjelang malam, sekisar surup pukul 18.00 WIB, langit Jombang menyisakan cerah yang masih menggeriap di sudut-sudut kota. Awan-gemawan perlahan-lahan berarak malas mengiringi rerintik hujan. Orang-orang sibuk sendiri di jalan-jalan, seperti menyusun cerita yang disimpan sendiri. Seolah ada sepenggal puisi cinta yang entah bersedih atau bersuka yang bergelayutan di lampu-lampu di sejumlah ruas jalan dengan pesona temaram yang tak tercatat, hanya berkilas sebentar dalam sekejap tatapan semisal di Jl. KH. Wahid Hasyim, No.133. Di situlah Suara Pemkab Jombang AM 7,92 KHz, dengan No. telpon (0321) 862449, mengawali siaran berumbul “Arena Sastra”.
Ya, di Minggu malam itulah, 26 April 2009, media bersastra lewat radio ini dibuka. Nanda Sukmana (sebagai penyiar dan pemandu acara), beserta dua pengulas sastra: Imam Ghozali AR dan Fahrudin Nasrulloh membuka siaran “Arena Sastra” (sebelumnya disetelkan musik soft romantic tahun 1984) dengan kalimah iftitah: Mekarlah kembang, di taman sajak. Mekarlah cipta, cita, dan cinta. Dan seterusnya, di setiap Minggu malam kala itu, siaran ini mengudara dan menyapa pendengar di seantero Jombang dan sekitarnya. Sekali waktu juga dihadirkan para sastrawan dari berbagai kota.
Arena Sastra ini juga mengundang pecinta sastra, atau siapa pun, untuk ikut terlibat. Beberapa apresian ada yang langsung datang ke studio untuk membacakan puisi-puisi mereka yang sekaligus akan ditanggapi dan diperbincangkan. Pada Minggu malam pertama (26 April 2009) dan kedua (3 Mei 2009), sejumlah mahasiswa STKIP PGRI Jombang seperti Ukil, Mindra, Aulia, Aina, Fandi, Memet, Ratih, dan Yuana, ikut “nimbrung” di acara tersebut dan masing-masing menyodorkan sepotong puisi untuk dibacakan lalu diulas bersama. Sedangkan bagi apresian lain yang tinggal di rumah atau di mana pun mereka berada, mereka bisa mengirimkan SMS berupa puisi atau pertanyaan atau tanggapan untuk diobrolkan. Di antara apresian yang diulas puisi-puisinya itu seperti: Dian Fajarwati (Rejoso Pinggir), Ayira Ufuk Timur dan Rosa (Kediri), Onel dan Topan (Rejoso Peterongan), Marni (Ploso), Aik, Reni Utami, Dwi Okta (Geneng), dan lain-lain.
Seperti membangkitkan kawan-kawan lama yang pernah menilas-jejakkan “Arena Sastra” ini di sepanjang tahun antara 1982 sampai 1994. Di tahun-tahun itu geliat sastra dengan media radio cukup digemari banyak orang.
Musikalisasi para penyair ternama Indonesia juga disiarkan di acara ini, seperti sajak-sajak dari KH. Mustofa Bisri: Penyair, Tadarus, Lirboyo, Wanita Cantik sekali di Multazam, Basrah, Buah Mata, Zikir Malam, Gelombang Gelap, Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi, Bila Kutitipkan, dan Kau Ini Bagaimana. Juga beberapa sajak W.S. Rendra seperti: Hai, Ma!, Hutan Bogor, Pamflet Cinta, Kelelawar, Nyanyian Suto dan Fatimah, Sajak Joki Tobing untuk Widuri, Wanitaku-wanitaku, dan Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57. Kemudian sajak-sajak Sapardi Djoko Damono seperti: Gadis Kecil, Buat Ning, Nokturno, Pada Suatu Hari Nanti, Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, dan Sajak Kecil Tentang Cinta.
Kini media radio tidak seperti di era 1980-an atau 1990-an yang lebih kuat pengaruhnya dalam keterlibatannya dengan pendengar dan warga secara lebih luas. Kondisi yang patut disayangkan dari yang pernah digagas dan sempat dijalankan dalam beberapa kali siaran dengan tajuk “Arena Sastra” di RKPD di atas sudah tidak berlanjut lagi. Jadi jejak awal yang ingin dibangkitkan lagi yang dimulai pada 26 April 2009 hanya berlangsung 3 siaran berikutnya, lalu tidak diteruskan. Sebabnya sederhana, bahwa komitmen bersastra di Jombang mungkin iklimnya masih “angin-anginan”, untuk tidak mengatakan “tai-tai ayam”. Alasan kedua adalah karena kesibukan masing-masing pengisi tetap acara itu. Namun hal ini sebenarnya masih bisa disiasati, misalnya bisa menunjuk pegiat sastra lain untuk secara bergiliran mengisi atau memandu di agenda “Arena Sastra” tersebut. Mas Dody, dari pihak RKPD Jombang, sangat menyayangkan berhentinya siaran apresusiasi sastra tersebut. Ia tak lagi bisa bareng mendengar sajak-sajak lantunan W.S. Rendra yang ia sukai pembacaannya.
Barangkali iklim “bersastra” lewat radio yang tercetus secara sporadic pada bulan April tersebut tidak termatangkan kembali dengan baik. Meski sebenarnya, saya, Pak Imam, dan Pak Nanda, sudah mengancangkan agenda pematangannya dalam beberapa hari setelah tang 26 April siaran pertama tersebut. Tapi tak juga pula terlaksana dengan alasan yang sebagian telah saya sebutkan tadi.
Tidak adanya satu militansi yang penuh greget dalam menyemarakkan sastra di Jombang, katakanlah, adakah semacam upaya anak-anak muda yang getol membaca dan menulis untuk berbuat sesuatu yang lebih dari itu? Saya kira, di Jombang banyak kelompok-kelompok anak muda baik di tingkat SLTA maupun mahasiswa yang memiliki kelompok atau komunitas yang terkait dengan dunia sastra, namun agaknya lemahnya jejaring dan “perajut” untuk bisa mempertemukan mereka dalam sebuah kegiatan rutin di mana ketika bisa kongkow-kongkow bareng akan dimungkinkan terciptanya “ruang publik sastra” yang bisa menjembatani untuk saling bertukar gagasan dan memperkenalkan kreativitas. Ini menjadi hal penting yang harus dicatat, selain wahana “Arena Sastra” di RKPD Jombang sudah mati.
Tidak penting lagi kiranya apakah siaran “Arena Sastra” semacam itu dibangkitkan kembali atau tidak, tapi justru persoalan-persoalan yang terkait dengan seperti apakah makhluk “sastra” itu dilihat oleh orang Jombang, atau oleh kawula mudanya? Mungkin tidak usah jauh-jauh memirisi iklim buruk sastra di Jombang, tapi kita tengok saja sejauh mana tradisi literasi atau budaya baca-tulis, budaya kritik-emansipatoris dalam berbagai dimensi sosial dan pemberdayaan SDM Jombang menunjukkan hal yang siknifikan yang dimiliki warga Jombang? Ini jadi pertanyaan kita.
Maka, seolah peristiwa “Arena Sastra” tersebut tak perlu dibingkai dengan pigura atau yang lebih wah dari itu agar jadi klangenan, tapi tampaknya cukup dicatat dengan kertas apa saja untuk diselipkan dalam buku tebal sehingga lama-kelamaan akan terlupakan juga. Pernyataan ini jangan dipercayai, karena muncul dari seorang apatis dan pesimistik, tapi harapan saya, anda yang pernah mendengar siaran “Arena Sastra” atau yang pernah berkirim puisi via telpon atau sms bolehlah beroptimis, karena itu tak ada ruginya.
Justru, saya berharap, apapun yang pernah lungkrah, atau membusuk, atau jadi barang lawas yang tak pantas dikenang, suatu saat tetap memiliki makna tersendiri. Harapan itu penting, sebagaimana matahari yang terbit tiap pagi, bahwa dengan lahirnya Dekajo (Dewan Kesenian Jombang), kegiatan sastra dan kegiatan kesenian lainnya dapat bertumbuh-kembang dengan subur di Jombang di masa mendatang.
Jombang, 23 Maret 2010
Rabu, 14 Juli 2010
Jejak “Arena Sastra” di RKPD Jombang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar