Minggu, 18 Juli 2010

Sibernetika, Ajang Budaya Sex

Sabrank Suparno

Sains, terkesan lahir sebagai anak durhaka. Kekejaman sains, nyaris membunuh ibu kandungnya yang bernama filsafat, dan mendengser ’agama’, sebagai teman sepermainan. Arus sainsifitas ini nyaris membuat peradaban mutakhir sekarang terperangah. Kelahiran sain sebagai anak baru, sejak awal diperkirakan akan menggemparkan sejarah. Akhir abad 19, bayi sain itu menjelma menjadi mekanika sistem komputernalisasi sebagai wujud pemaparan kompleksifitas. Bendera ini dibentangkan Edwars Fredklin yang merekonstruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Tentu saja jika di runut lebih lanjut, sistem tersebut menjurus ke arah sistem mekanika digital. Titik kulminasi dari mekanika digital inilah yang kemudian melahirkan sibernetika total.

Era sekarang tidak bisa lagi dipungkiri. Sistem mekanika digital yang dikupas dalam frame paradigma komputerisasi-informatik, memilih sibernetika total sebagai ruh kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya membentuk otomata seluler bersosial, politik, kesenian dan ke budayaan.

Dunia internet dipandang sebagai jaringan komputer besar dan sekaligus sebagai prosesor dari rangkaian sistem jaringan komputer global. Sedangkan rangkaian komputer-komputer kecil sebagai penyangga atau mikroprosesor internet dari rangkaian jaringan besar tersebut. Dalam sistem semacam ini, manusia baik secara individu, komunitas, negara dan peradabannya, telah menjadi obyektifitas dari subyektifitas sibernetika.

Sibernetika adalah mesin baru peradaban yang direduksi dari mesin lama. Mesin baru ini tidak lagi berbentuk mesin-mesin energi, melainkan berupa mesin-mesin informatik: pesawat telekomunikasi. Adapun kinerja sibernetik cenderung mereduksi benda-benda menjadi bit-bit informasi. Fenomena alam misalnya, direduksi menjadi proses komputasi, hukum direduksi sebagai suatu hal yang alegorial verbal. Pelebaran dari reduksionisme ulah komputer ini sampai menjurus ke wilayah psikologi yang direduksi sebagai artifisial intelegensi, serta biologi direduksi menjadi artifisial hidup semata. Sebagaimana fisika direduksi menjadi informatika, dan tidak menutup kemungkinan reduksionalisasi tersebut, bisa saja salah alamat.

Ibarat pusat cahaya peradaban, sibernetik ini memancarkan sinar ke delapan penjuru mata angin. Munculnya tehnologi google, Wi-Fi, bluetooth, infra merah, diasumsikan sebagai puncak keberhasilan sibernetika yang menyuguhkan fasilitas praktis. Disinilah secara analogi fungsi perputaran sosial. Individu, peradaban, dapat dipandang sebagai hierarki multikompleks, dimana informatika global, merubah dunia menjadi simpel dan ringkas. Hanya dengan komponen pesawat kecil dan atau ruang sebilik warnet, dunia mengecil, meringkas, yang kalau istilah orang jawa ”dunyo gedhene mung sak mrico”. Dunia ini Cuma sebesar butir merica.

Tehnologi laptop, handphone adalah perpanjangan dari sistem transistoris-mikroposesor berjenjang, yang mengakar dari sistem materialistik-mekanika dan hanya mencakup sektor biologis-sosiologis, dan teknologis saja, yang disuguhkan fihak provider. Tak heran, jika dari gejala tersebut, para seniman, budayawan tetap memberontak dalam mengantisipasi adanya ruang kesenjangan.

Dalam bilik kesenjangan inilah terjadi padatan penyerapan aneka kebutuhan, dimana proses hidup hanyalah melampaui fase-fase pendek dalam menata kelayakan. Medan akses yang disediakan provider sangatlah universal. Hal ini mempengaruhi diri pengakses untuk terserap kealam samudera maya. Keterbatasan manusia sebagai sisi lain jaringan mekanika digital, membuat manusia mengarungi belantara megacyber dari jaringan itu. Kapasitasnya yang terbatas, setelah dan akan dicetak oleh sistem pendidikan ala metode fakultatif yang non universal/ universitas, membuat manusia kepincut (terpengaruh) dengan hadirnya informasi yang sangat multidimensial. Keadaan demikian serta merta menjadikan manusia sebagai cetak biru bagi sistem komputerisasi global, yang rela menghabiskan waktunya, dan rela mempertaruhkan perangkat indera dengan berjam-jam berselancar di media maya.

Disadari atau tidak, sibernetik ini perlahan akan merubah bentuk biologis. Berjam-jam di depan komputer dapat menimbulkan gejala obevaen (perut buncit) sebagai akibat pemadatan waktu dari luas dan panjangnya gerak tubuh. Kesibukan meladeni panggilan provider, nyata menyita waktu dan aktivitas manusia untuk kepentingan yang lain. Tehnologi dengan segala perangkat aksesorisnya hadir sebagai sosok makhluk baru yang bukan dari jenis jin, malaikat, dan manusia. Namun lebih piawai merebut hati pecinta sebagai kekasih. Sementara di sisi lain, makluk baru itu akan bertanggung jawab pada siapa? Padatan waktu yang seolah harus diserap dalam sekejap hanyalah akan menjadi bogkahan batu dalam tubuh manusia, yang pada saatnya akan berbenturan saat bongkahan lain menggumpal yang sama di tubuh lain.

Sejak awal, keberangkatan sains sudah dipenuhi berbagai unsur kepentingan yang menyeretnya. Dengan fasilitas ini, seolah manusia sebagai obyek dari informatika digital, yang saling asyik menumpahkan diri dalam peleburan hasrat. Sejarah seperti menciptakan hantu-hantu bidadari berparas fatamorga. Andai percintaan itupun nyata, tetap saja tak cukup makna. Memang, tak cukup alasan untuk menafsirkan sisi positif sibernetik, tetapi sisi negatifnya selalu menjadi bentuk panjang yang akan menguntit. Kasus hangat video syur adegan sex mirip Ariel-Luna Maya, Ariel-Cut Tari sebagai bukti sisi miring yang dihasilkan fasilitas sibernetik. Kemudahan dan kebebasan mengaksesnya bukanlah sekedar memenuhi target kebutuhan, tetapi lebih dibelokkan sebagai wahana pembentukan corak kebudayaan.

Memang kasus video hot mirip Ariel-Luna Maya dan Ariel-Cut Tari bukanlah hal yang baru. Kasus Inul Daratista, beberapa tahun lalu misalnya, tidak bisa dipandang sebagai kepentingan individu. Budayawan Emha Ainun Najib menjelaskan secara implisit dalam bukunya Kyai bejo, Kyai untung, Kyai hoki (Kompas media utama hal:15) ”kalau ada makanan beracun, hendaknya jangan melotot pada makanan itu. Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja yang bergoyang kalau kita banting-banting makanan beracun itu”. Dari sinilah diperlukan jarak pandang lain untuk mengatasi atau sekedar mengakomodir kemungkinan-kemungkinan alternatif dari berbagai lintasan peristiwa negatif di bidang sibernika total.

Handphone dan facebook adalah dua perangkat besar kepanjangan tangan dari sibernetika. Dua perangkat ini sekaligus dari persilangan teknologi dengan mega-cyborg sebagai anak berkepala dua. Tehnologi menurunkan gen berkepala megaorganisme yang mahaluas jangkauannya, yang memungkinkan manusia di dalamnya untuk bermain ’petak umpet’, dan kepala yang lain dilahirkan dari mega-cyborg yang bernama mega mesin organik yang memungkinkan manusia mengeruk keuntungan materialis kapitalik.

Dalam sistem materialis-kapital, tidak diperhitungkan segi apapun yang menjadi akibat, kecuali laba, omzet, keuntungan. Sibernika total tak lagi memberi cela ruang untuk tidak menjadi ’pasar’ dengan mekanika penawarannya. Nilai ’baik’ dan buruk, dengan mudah dan murah dibeli. Membeli yang baik adalah keuntungan ganda bagi perdaban yang akan datang. Tetapi membeli yang ’buruk’ bagaikan menumpuk sperma onani yang digundukkan menjadi gunung, yang pada akhirnya longsor menimbun diri sendiri.

Ada alternatif untuk memilih di pasar bebas ini. Memutar video sex mirip Ariel-Luna Maya, Cut Tari, atau sms sex, pembohongan melalui facebook, bagaikan kita melihat dan mengumpulkan gerombolan ulat yang berkeliat, dengan bulu-bulunya yang gatal. Gerombolan ulat itu kemudian kita sebar ke tubuh orang lain atau tubuh kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar