Sabrank Suparno
Sains, terkesan lahir sebagai anak durhaka. Kekejaman sains, nyaris membunuh ibu kandungnya yang bernama filsafat, dan mendengser ’agama’, sebagai teman sepermainan. Arus sainsifitas ini nyaris membuat peradaban mutakhir sekarang terperangah. Kelahiran sain sebagai anak baru, sejak awal diperkirakan akan menggemparkan sejarah. Akhir abad 19, bayi sain itu menjelma menjadi mekanika sistem komputernalisasi sebagai wujud pemaparan kompleksifitas. Bendera ini dibentangkan Edwars Fredklin yang merekonstruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Tentu saja jika di runut lebih lanjut, sistem tersebut menjurus ke arah sistem mekanika digital. Titik kulminasi dari mekanika digital inilah yang kemudian melahirkan sibernetika total.
Era sekarang tidak bisa lagi dipungkiri. Sistem mekanika digital yang dikupas dalam frame paradigma komputerisasi-informatik, memilih sibernetika total sebagai ruh kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya membentuk otomata seluler bersosial, politik, kesenian dan ke budayaan.
Dunia internet dipandang sebagai jaringan komputer besar dan sekaligus sebagai prosesor dari rangkaian sistem jaringan komputer global. Sedangkan rangkaian komputer-komputer kecil sebagai penyangga atau mikroprosesor internet dari rangkaian jaringan besar tersebut. Dalam sistem semacam ini, manusia baik secara individu, komunitas, negara dan peradabannya, telah menjadi obyektifitas dari subyektifitas sibernetika.
Sibernetika adalah mesin baru peradaban yang direduksi dari mesin lama. Mesin baru ini tidak lagi berbentuk mesin-mesin energi, melainkan berupa mesin-mesin informatik: pesawat telekomunikasi. Adapun kinerja sibernetik cenderung mereduksi benda-benda menjadi bit-bit informasi. Fenomena alam misalnya, direduksi menjadi proses komputasi, hukum direduksi sebagai suatu hal yang alegorial verbal. Pelebaran dari reduksionisme ulah komputer ini sampai menjurus ke wilayah psikologi yang direduksi sebagai artifisial intelegensi, serta biologi direduksi menjadi artifisial hidup semata. Sebagaimana fisika direduksi menjadi informatika, dan tidak menutup kemungkinan reduksionalisasi tersebut, bisa saja salah alamat.
Ibarat pusat cahaya peradaban, sibernetik ini memancarkan sinar ke delapan penjuru mata angin. Munculnya tehnologi google, Wi-Fi, bluetooth, infra merah, diasumsikan sebagai puncak keberhasilan sibernetika yang menyuguhkan fasilitas praktis. Disinilah secara analogi fungsi perputaran sosial. Individu, peradaban, dapat dipandang sebagai hierarki multikompleks, dimana informatika global, merubah dunia menjadi simpel dan ringkas. Hanya dengan komponen pesawat kecil dan atau ruang sebilik warnet, dunia mengecil, meringkas, yang kalau istilah orang jawa ”dunyo gedhene mung sak mrico”. Dunia ini Cuma sebesar butir merica.
Tehnologi laptop, handphone adalah perpanjangan dari sistem transistoris-mikroposesor berjenjang, yang mengakar dari sistem materialistik-mekanika dan hanya mencakup sektor biologis-sosiologis, dan teknologis saja, yang disuguhkan fihak provider. Tak heran, jika dari gejala tersebut, para seniman, budayawan tetap memberontak dalam mengantisipasi adanya ruang kesenjangan.
Dalam bilik kesenjangan inilah terjadi padatan penyerapan aneka kebutuhan, dimana proses hidup hanyalah melampaui fase-fase pendek dalam menata kelayakan. Medan akses yang disediakan provider sangatlah universal. Hal ini mempengaruhi diri pengakses untuk terserap kealam samudera maya. Keterbatasan manusia sebagai sisi lain jaringan mekanika digital, membuat manusia mengarungi belantara megacyber dari jaringan itu. Kapasitasnya yang terbatas, setelah dan akan dicetak oleh sistem pendidikan ala metode fakultatif yang non universal/ universitas, membuat manusia kepincut (terpengaruh) dengan hadirnya informasi yang sangat multidimensial. Keadaan demikian serta merta menjadikan manusia sebagai cetak biru bagi sistem komputerisasi global, yang rela menghabiskan waktunya, dan rela mempertaruhkan perangkat indera dengan berjam-jam berselancar di media maya.
Disadari atau tidak, sibernetik ini perlahan akan merubah bentuk biologis. Berjam-jam di depan komputer dapat menimbulkan gejala obevaen (perut buncit) sebagai akibat pemadatan waktu dari luas dan panjangnya gerak tubuh. Kesibukan meladeni panggilan provider, nyata menyita waktu dan aktivitas manusia untuk kepentingan yang lain. Tehnologi dengan segala perangkat aksesorisnya hadir sebagai sosok makhluk baru yang bukan dari jenis jin, malaikat, dan manusia. Namun lebih piawai merebut hati pecinta sebagai kekasih. Sementara di sisi lain, makluk baru itu akan bertanggung jawab pada siapa? Padatan waktu yang seolah harus diserap dalam sekejap hanyalah akan menjadi bogkahan batu dalam tubuh manusia, yang pada saatnya akan berbenturan saat bongkahan lain menggumpal yang sama di tubuh lain.
Sejak awal, keberangkatan sains sudah dipenuhi berbagai unsur kepentingan yang menyeretnya. Dengan fasilitas ini, seolah manusia sebagai obyek dari informatika digital, yang saling asyik menumpahkan diri dalam peleburan hasrat. Sejarah seperti menciptakan hantu-hantu bidadari berparas fatamorga. Andai percintaan itupun nyata, tetap saja tak cukup makna. Memang, tak cukup alasan untuk menafsirkan sisi positif sibernetik, tetapi sisi negatifnya selalu menjadi bentuk panjang yang akan menguntit. Kasus hangat video syur adegan sex mirip Ariel-Luna Maya, Ariel-Cut Tari sebagai bukti sisi miring yang dihasilkan fasilitas sibernetik. Kemudahan dan kebebasan mengaksesnya bukanlah sekedar memenuhi target kebutuhan, tetapi lebih dibelokkan sebagai wahana pembentukan corak kebudayaan.
Memang kasus video hot mirip Ariel-Luna Maya dan Ariel-Cut Tari bukanlah hal yang baru. Kasus Inul Daratista, beberapa tahun lalu misalnya, tidak bisa dipandang sebagai kepentingan individu. Budayawan Emha Ainun Najib menjelaskan secara implisit dalam bukunya Kyai bejo, Kyai untung, Kyai hoki (Kompas media utama hal:15) ”kalau ada makanan beracun, hendaknya jangan melotot pada makanan itu. Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya. Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja yang bergoyang kalau kita banting-banting makanan beracun itu”. Dari sinilah diperlukan jarak pandang lain untuk mengatasi atau sekedar mengakomodir kemungkinan-kemungkinan alternatif dari berbagai lintasan peristiwa negatif di bidang sibernika total.
Handphone dan facebook adalah dua perangkat besar kepanjangan tangan dari sibernetika. Dua perangkat ini sekaligus dari persilangan teknologi dengan mega-cyborg sebagai anak berkepala dua. Tehnologi menurunkan gen berkepala megaorganisme yang mahaluas jangkauannya, yang memungkinkan manusia di dalamnya untuk bermain ’petak umpet’, dan kepala yang lain dilahirkan dari mega-cyborg yang bernama mega mesin organik yang memungkinkan manusia mengeruk keuntungan materialis kapitalik.
Dalam sistem materialis-kapital, tidak diperhitungkan segi apapun yang menjadi akibat, kecuali laba, omzet, keuntungan. Sibernika total tak lagi memberi cela ruang untuk tidak menjadi ’pasar’ dengan mekanika penawarannya. Nilai ’baik’ dan buruk, dengan mudah dan murah dibeli. Membeli yang baik adalah keuntungan ganda bagi perdaban yang akan datang. Tetapi membeli yang ’buruk’ bagaikan menumpuk sperma onani yang digundukkan menjadi gunung, yang pada akhirnya longsor menimbun diri sendiri.
Ada alternatif untuk memilih di pasar bebas ini. Memutar video sex mirip Ariel-Luna Maya, Cut Tari, atau sms sex, pembohongan melalui facebook, bagaikan kita melihat dan mengumpulkan gerombolan ulat yang berkeliat, dengan bulu-bulunya yang gatal. Gerombolan ulat itu kemudian kita sebar ke tubuh orang lain atau tubuh kita sendiri.
Minggu, 18 Juli 2010
Sibernetika, Ajang Budaya Sex
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar