Minggu, 18 Juli 2010

‘’99 Kilatan Cahaya buat Gus Dur’’

Sabrank Suparno

Jika di lemparkan pertanyaan, siapakah yang jauh mengabadikan kenangan saat meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid sang pendekar pluralisme itu? Mungkin Gunawan Muhammad hanya tersenyum sungging. Penulis yang sekaligus sastrawan yang dijuluki segudang istilah ini seolah tinggal menyalin beberapa obyek kalimat yang ia tulis ketika berziarah di pemakaman Prof. DR. Umar kayam, sahabat karib sekalibernya. Sebutan-sebutan Umar kayam dalam kalimat tulisan tersebut tinggal mengganti Abdurrahman Wahid.

Setelah ribuan pelayat mengembalikan cintanya yang mereka pinjam. Setelah jutaan pengagum menghantarkan simpatinya bertuang do,a. Satu persatu mereka hengkang beranjakkan kaki. Yang sebelumnya berdesakan dan berjubel hingga radius 2 km persegi. Anak, sanak, saudara, sahabat, kerabatpun akan pergi. Di atas gundukan tanah tampak berdiri tegak sepasang kembaran nisan yang bertuliskan ‘KH. Abdurrahman Wahid, Wafat: Rabu pahing, 30 Desember 2009’. Gundukan itu dipenuhi karangan bunga. Bertaburan warna warni berserakan. Bunga-bunga itu menghantar kepergian Gus Dur dengan semerbak harumnya. Dan sisa penziarah hingga kapanpun tampak khusyuk menyematkan rangkaian do,a. Helaian daun yang berguguran disekitar makam, seolah membuntuti jejak kepergiannya. Setelah semuanya usai dan rampung, muncullah satu pertanyaan. Apa yang ditinggalkan KH. Abdurrahman Wahid sebagai batu nisan diatas pekuburannya? Jawabnya tentu bervariabel dan berlajur-lajur menurut kadar keterpautan kita masing-masing.

Ada yang menoleh pada karya buku-buku beliau selaku tokoh berkapabilitas intelektual muslim. Ada pula yang melirik jargon-jargon kontroversialnya yang berani menentang arus rezim feodal di zamannya. Ada pula yang sekedar menjenguk melewati pintu cinta dan rasa syukur atas kekuatan mistiknya. Dan mungkin ada pula yang hendak berpesta setelah kepergiannya. Kita sendiri tidak bisa memastikan harus berposisi di bagian mana.

Saya sebetulnya ‘rada-rada sungkan’ mengungkap hal ini. Tetapi saya berharap mungkin ini justru menjadi alternatif bagi sebagian orang yang memahami Gus Dur dari sisi lain idiom –idiom diatas. Sampai kapanpun selalu berserabut di dalam tempurung kepala saya, mengenang saat-saat mesrah bersama Gus Dur di alam mimpi. Saya ingat waktu saya naik kereta dalam satu gerbong bertiga(saya, Gus Dur, KH. Hasyim asy,ari). Kemesraan itu terasa hangat saat jari jemari saya jimrintil berloncatan memijit kaki KH.Hasyim asy,ari almarhum. Saat itu adalah kurun waktu Gus Dur mendeklarasikan partai yang dipimpinnya. Memori pekat kedua adalah beberapa minggu menjelang didengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan oleh DPR selaku tandingan politiknya. Dimana saya melihat Gus Dur sedang bertengkar dengan Amien Rais di tengah sawah. Dalam perkelahian itu Gus Dur terperosok kaki kanannya kelubang sedalam lutut. Saat terperosok itulah saya merangkul Gus Dur “Gus sampean keblowok”,Gus anda terperosok!

Hal inilah yang saya sebut idiom alternatif diatas. Dimana selain saya, ternyata juga banyak orang yang mengenal akrab sosok Gus Dur dalam wilayah ruh atau mimpi. Meskipun keafsahannya lepas dari riset metodologi keilmuan, tetapi siapa yang mampu menghadang cinta.

Terlepas dari permasalahan diatas, marilah kita ulang sejenak saat hari meninggalnya Gus Dur. Hari rabu pahing. Dalam neptu jawa, rabu bernilai 7, dan pahing bernilai 9. Mantan presiden RI ke ampat ini dijemput pernak- pernik kehidupan sekitar jam 18;45 malam. Pada denting detik ini angka 9 mengikutinya lagi. Bulan Desember ahir tahun 2009, yang notabenenya untuk menghabiskan tahun yang berangka 09 tinggal 1 hari lagi. Dimana ahir tahun tersebut Gu Dur telah mengarungi usia 69 tahun. Beliau adalah cucu pendiri gerakan besar Nahdlotul ulama’, yakni KH. Hasyim Asy ari dari pondok pesantren Tebuireng Jombang. Sementara itu kalimat ‘hasyiman’ terdapat dalam al qur,an surat 18, ayat 45. Surat 18(al kahfi) bernilai metematik 1+8=9.Sedangkan ayat 45 juga bernilai 9 dari hasil jumlah 4+5=9.

Sebagai manusia tentu kita tidak ingin melebihi hak prerogatif Alloh didalam menentukan kadar kemakhlukanNya terhadap Gus Dur. Emha Ainun Nadjib pernah bermetafor saat wawancara di salah satu stasiun televise pada waktu pemakaman mendiang presiden Suharto. “Seandainya kita ditanya Alloh tentang seseorang, maka jawaban kita, mungkin sama dengan jawaban banyak orang, mungkin tidak sama dengan jawaban banyak orang, mungkin sama jawaban kita dengan jawaban yang diinginkan Alloh, atau bisa juga jawaban kita malah bertolak belakang dengan yang diinginkan Alloh”.

Cuplikan kecil ini menunjukkan deretan angka 9 turut serta mengiring kepergian KH, Abdurrahman Wahid. Sebagai bangsa yang bermartabat, tentu kita harus menghargai setiap orang yang berjasa merintis tegaknya republik ini. Alam memiliki bebatuan dengan kandugan nilai yang berbeda. Ada kerikil, ada batu biasa, ada intan, pemata, zamrud, merah delima dan lain sebagainya. Demikian juga manusia. Dengan rendah hati saya memahami bahwa Gus Dur adalah sosok manusia yang ’disewa’ Alloh, untuk dititipi cahaya yang lebih terang dibanding kebanyakan orang lain di masanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar