Sabrank Suparno
Jika di lemparkan pertanyaan, siapakah yang jauh mengabadikan kenangan saat meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid sang pendekar pluralisme itu? Mungkin Gunawan Muhammad hanya tersenyum sungging. Penulis yang sekaligus sastrawan yang dijuluki segudang istilah ini seolah tinggal menyalin beberapa obyek kalimat yang ia tulis ketika berziarah di pemakaman Prof. DR. Umar kayam, sahabat karib sekalibernya. Sebutan-sebutan Umar kayam dalam kalimat tulisan tersebut tinggal mengganti Abdurrahman Wahid.
Setelah ribuan pelayat mengembalikan cintanya yang mereka pinjam. Setelah jutaan pengagum menghantarkan simpatinya bertuang do,a. Satu persatu mereka hengkang beranjakkan kaki. Yang sebelumnya berdesakan dan berjubel hingga radius 2 km persegi. Anak, sanak, saudara, sahabat, kerabatpun akan pergi. Di atas gundukan tanah tampak berdiri tegak sepasang kembaran nisan yang bertuliskan ‘KH. Abdurrahman Wahid, Wafat: Rabu pahing, 30 Desember 2009’. Gundukan itu dipenuhi karangan bunga. Bertaburan warna warni berserakan. Bunga-bunga itu menghantar kepergian Gus Dur dengan semerbak harumnya. Dan sisa penziarah hingga kapanpun tampak khusyuk menyematkan rangkaian do,a. Helaian daun yang berguguran disekitar makam, seolah membuntuti jejak kepergiannya. Setelah semuanya usai dan rampung, muncullah satu pertanyaan. Apa yang ditinggalkan KH. Abdurrahman Wahid sebagai batu nisan diatas pekuburannya? Jawabnya tentu bervariabel dan berlajur-lajur menurut kadar keterpautan kita masing-masing.
Ada yang menoleh pada karya buku-buku beliau selaku tokoh berkapabilitas intelektual muslim. Ada pula yang melirik jargon-jargon kontroversialnya yang berani menentang arus rezim feodal di zamannya. Ada pula yang sekedar menjenguk melewati pintu cinta dan rasa syukur atas kekuatan mistiknya. Dan mungkin ada pula yang hendak berpesta setelah kepergiannya. Kita sendiri tidak bisa memastikan harus berposisi di bagian mana.
Saya sebetulnya ‘rada-rada sungkan’ mengungkap hal ini. Tetapi saya berharap mungkin ini justru menjadi alternatif bagi sebagian orang yang memahami Gus Dur dari sisi lain idiom –idiom diatas. Sampai kapanpun selalu berserabut di dalam tempurung kepala saya, mengenang saat-saat mesrah bersama Gus Dur di alam mimpi. Saya ingat waktu saya naik kereta dalam satu gerbong bertiga(saya, Gus Dur, KH. Hasyim asy,ari). Kemesraan itu terasa hangat saat jari jemari saya jimrintil berloncatan memijit kaki KH.Hasyim asy,ari almarhum. Saat itu adalah kurun waktu Gus Dur mendeklarasikan partai yang dipimpinnya. Memori pekat kedua adalah beberapa minggu menjelang didengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan oleh DPR selaku tandingan politiknya. Dimana saya melihat Gus Dur sedang bertengkar dengan Amien Rais di tengah sawah. Dalam perkelahian itu Gus Dur terperosok kaki kanannya kelubang sedalam lutut. Saat terperosok itulah saya merangkul Gus Dur “Gus sampean keblowok”,Gus anda terperosok!
Hal inilah yang saya sebut idiom alternatif diatas. Dimana selain saya, ternyata juga banyak orang yang mengenal akrab sosok Gus Dur dalam wilayah ruh atau mimpi. Meskipun keafsahannya lepas dari riset metodologi keilmuan, tetapi siapa yang mampu menghadang cinta.
Terlepas dari permasalahan diatas, marilah kita ulang sejenak saat hari meninggalnya Gus Dur. Hari rabu pahing. Dalam neptu jawa, rabu bernilai 7, dan pahing bernilai 9. Mantan presiden RI ke ampat ini dijemput pernak- pernik kehidupan sekitar jam 18;45 malam. Pada denting detik ini angka 9 mengikutinya lagi. Bulan Desember ahir tahun 2009, yang notabenenya untuk menghabiskan tahun yang berangka 09 tinggal 1 hari lagi. Dimana ahir tahun tersebut Gu Dur telah mengarungi usia 69 tahun. Beliau adalah cucu pendiri gerakan besar Nahdlotul ulama’, yakni KH. Hasyim Asy ari dari pondok pesantren Tebuireng Jombang. Sementara itu kalimat ‘hasyiman’ terdapat dalam al qur,an surat 18, ayat 45. Surat 18(al kahfi) bernilai metematik 1+8=9.Sedangkan ayat 45 juga bernilai 9 dari hasil jumlah 4+5=9.
Sebagai manusia tentu kita tidak ingin melebihi hak prerogatif Alloh didalam menentukan kadar kemakhlukanNya terhadap Gus Dur. Emha Ainun Nadjib pernah bermetafor saat wawancara di salah satu stasiun televise pada waktu pemakaman mendiang presiden Suharto. “Seandainya kita ditanya Alloh tentang seseorang, maka jawaban kita, mungkin sama dengan jawaban banyak orang, mungkin tidak sama dengan jawaban banyak orang, mungkin sama jawaban kita dengan jawaban yang diinginkan Alloh, atau bisa juga jawaban kita malah bertolak belakang dengan yang diinginkan Alloh”.
Cuplikan kecil ini menunjukkan deretan angka 9 turut serta mengiring kepergian KH, Abdurrahman Wahid. Sebagai bangsa yang bermartabat, tentu kita harus menghargai setiap orang yang berjasa merintis tegaknya republik ini. Alam memiliki bebatuan dengan kandugan nilai yang berbeda. Ada kerikil, ada batu biasa, ada intan, pemata, zamrud, merah delima dan lain sebagainya. Demikian juga manusia. Dengan rendah hati saya memahami bahwa Gus Dur adalah sosok manusia yang ’disewa’ Alloh, untuk dititipi cahaya yang lebih terang dibanding kebanyakan orang lain di masanya.
Minggu, 18 Juli 2010
‘’99 Kilatan Cahaya buat Gus Dur’’
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar