Minggu, 18 Juli 2010

Puputan Walanda Tack

Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka 24/08/2008

TAK disangkal cerita ini terus berseliweran bergeliut sawang tak terkuburkan. Menjelma roh cenayang pencilakan berkabut sengir yang menyelimuti para penggila kronik Kompeni-Keraton Jawa. Ya, pada siang jahanam 8 Februari 1686 di Carta Seora, Kapten Tack dibantai Surapati dan gerombolannya, sehingga Kompeni me-marabi mereka, ”Bandit-bandit berlidah anjing pengumbar darah”. Ini menjadi semacam pagebluk yang menguar nyasar ke mana-mana, melesat deras melebihi dencingan anak panah. Terus bergentayangan dalam sekian wiracarita dan perbantahan para tukang cerita VOC.

Sandiwara Amuk Tergila

Seratan Zan Marstel dalam Puputan Walanda Tack akan menuntun jalan cerita ini: Di gang-gang sekisar kraton; berpusing-pusinganlah Kapten Letnan Greving, Letnan Vonck, dan Letnan Eygel. Bersiaga ketat pun tetaplah liwung batin dan pikiran bule-bule itu. Sebelumnya, Greving terus dibayang-bayangi mimpi terkutuknya. ”Laknat culas orang-orang Jawa ini!” semburnya sambil mengelus-elus gagang pistolnya.

Saat sepagi tadi, tatkala menjemput Tack di jembatan Banyudana, mimpi itu masih saja mengulik benaknya, terasa begitu terang menyergap mripatnya yang cerlang diterpa pijar angkasa. Dengan serak lirih ia melapor, ”Maaf, Surapati lolos, Kapten.”

”Memang Sunan dungu itu tak becus mengatasi anjing gendeng itu. Huch, cuhz!!”

Dan Sindureja utusan Amangkurat II yang menyertai Tack itu, tiada siapa tahu menyelinap pergi dari tempat itu bak ditelan bumi.

Cerita terus merayap menggeremat. O, Roh Kudus, selamatkan kami dari ingatan linglung di kesiur senyap. Juga cakap nglantur melayap-layap. Tack berbisik pada Van Vliet dan Van der Meer, ”Ada hubungan rahasia apa antara Surapati dengan Sri Sunan? Orang-orang licin, pembuat onar, dan aneh. Ah, aku rasa aku mencium bau darahku sendiri. Ganjil ini!”

Van Vliet menoleh. Diam. Menatap sayu jarannya Tack. ”Yang satu serigala alas. Satunya katak kembung yang dikelilingi ular blantotan macan. Kita harus berhati-hati, Kapten! Soal darah, tiap hari kita ini mimpi diguyur darah, bukan!” tukas Van der Meer.

Ahualah, lukisan apa pula yang terboreh di sekujur para prajurit bayaran yang dipasok dari Makassar, Sumenep, dan Bali di bawah perintah Wangsanata, Mangkuyuda, dan Singabarong. Siapa pun mereka, menus-menus berjubah putih dan hitam, berudeng mlipir lancip dengan wajah kecut campur cengar-cengir tapi sekilas memancarkan aroma beku-tawar. Pesona raut yang tak mencerminkan berpihak pada siapa-siapa. Apalah yang dapat disangkakan, mereka ini berpihak pada siapa? Siapa membayar siapa? Siapa dibayar siapa? Hawa hasutan di sana-sini terasa mencangkul pikiran dan hati. Sungguh lacur dibayangkan. Hanya orang yang nyawanya terkucuri getih Kristus yang bisa melihat selubung keberpihakan mereka. Namun riwayat tersebar mencacat mereka-mereka ini berada di pihak Sri Sunan. Tapi apa yang terjadi kemudian, teracunilah si penyimak yang tak pernah terjerumus dalam muslihat riwayat bernanah ini.

Pantaslah ditimbang-timbang. Ditelusur-teliti ulang. Diluruskan kembali dengan cermat-seksama perkara laporan-laporan yang amat membingungkan dari Letnan Anthonie Eygel. Orang ini serdadu payah, kerap mabuk, ingatannya diragukan. Memang ia satu-satunya perwira Belanda yang melarikan diri dari pembantaian di alun-alun itu, setelah disergap keterkejutan akan serdadu-serdadunya yang morat-marit meninggalkan senjata-senjata dan panji-panji. Kita tak ingin wiracarita ini kelak jadi reremah cermin pecah, bukan? Lihat pula rincian korban versi Eygel; serdadu Kompeni tewas: 79. Luka-luka ringan: 29. Luka-luka berat: 41. Prajurit Sri Sunan: 95 (cukuplah semerawut kebenaran angka ini. Sebagian dari mereka adalah orang-orang Bali, Mataram, dan Pasuruan yang bersekongkol dengan Surapati. Juga pendekar bayaran Kompeni, dan sisanya prajurit Sri Sunan sendiri. Siapa satu per satu memihak siapa tiada tahu). Keterangan ini rancu? Eygel tak kunjung memecahkan misteri siapa saja yang berkomplot dengan siapa. Tapi Eygel cuma penulis laporan ecek-ecek. Malangnya, seluruh laporannya dijadikan dokumen penting bagi VOC. Konyol dan amburadul.

Situasi berkabut kekalapan itu alangkah pelik diblejeti. Eygel juga tak memberitakan kekejaman begundal-begundal Surapati seperti Suradenta, Suragenta, Cakrapati dan Barongpati. Tak jeli bahwa empat segawon rimba tersohor ini bengisnya minta ampun. Pengalaman mereka bersabung-tarung dalam laga rampokan macan tak diragukan lagi. Ia luput mencatat peristiwa ini, saat kebiadaban mereka mengoyak-ngoyak mayat Tack yang ditemukan tersungkur tragis dengan 21 luka mengerikan: 5 bacokan parang (2 di pelipis kiri-kanan, 1 di tengkuk, 1 di punggung, dan 1 di tempurung kepala). 1 hujaman kapak di lengan kanan, nyaris putus. 2 tusukan keris di jantung dan lambung. 7 tancapan anak panah yang bersarang di jidat dan hampir di sekujur tubuh. 3 sabetan celurit di paha kiri, dada, dan mulut. 1 sabetan golok di pantat, kotorannya berceceran. 1 tetakan trisula di tangkurnya. 2 gempuran rantai besi di wajah dan pundak kiri. 1 cocoran tombak di mata kanan. Barangkali bukan hanya mereka yang melakukan penistaan ini. Orang-orang Kompeni selalu tergelincir dibayang-bayangi aib mereka sendiri. Betapa tidak, kehormatan pasukan Kompeni harus dijaga, lebih-lebih semisal demi seorang jendral, sebagaimana Jendral Coen atau Si Pitekun atau Si Mur Jangkung yang tewas (atau mati karena sakit?) hanya oleh seorang tamtama Mataram pada 1629 di palagan Batavia.

Dua Kelana Kisah Bertabir Mala

Tampaknya siapa pun yang binasa di Carta Seora kala itu, arwahnya akan senantiasa menyusup dalam puspa wiracarita pada masa mendatang, dari yang terterang sampai yang tersamar. Menjelma jejanin cerita yang berlayapan mengerubung ingatan dan membangkitkan syakwasangka. Dan Ki Brajandalagati memborehkan riwayat tersendiri dalam anggitannya yang berjuluk Sesuluk Surapati. Serat ini, sebelum berkisah dengan pejal dan alot, dibabah dengan sepenggal kidungan:

Sura lelana ing segarani pati
Ageming aji moncering lati
La ilaha byar pet sirna jagat
Illallah byar lhap nggulung wahdat
Getih mili nyurup ing Gusti
Wa ma almautu illa bissyaifi au bighairihi

Bebulu di tengkuk sesengkringan, aliran dedarah bergelegakan. Urat-urat tenggorokan sendut-sendutan. Wajah terpanggang hawa merah, kayak disembur-semburkan geni. Yang menerjang, menyepak, menjegal, menggilas, membacok, meletuskan senapan dan bedil, menikam, menggigit dan menghujami dengan tombak, menusuk, menggejrot kepala yang berkelejat-kelejat sekaratul maut: siapa bercampuh lawan siapa, tak penting lagi serdadu siapa. Lebih cepat darah tersimbah lebih baik. Disebabkan serdadu brengsek macam ini, lama dipasti setamsil kecoa digilas ratusan sepatu besi. Kongkalikong! Asu-lah mereka berbuntut buntung. Mati pun, tak sesiapa menangguk untung.

Apa yang mengawang-awang, yang berliuk-liukan di masjid keraton. Menyala-nyalalah lebat api bebakaran. Mampus ditebus mampus. Ajal dibayar ajal. Popor dipatahkan. Panji-panji disuwek diludahi. Pedang dibengkungkan. Tumbak dicuklekkan. Lihat pula bebangkai serdadu Tack: Letnan Greving dan Sersan Samuel Maurits: rubuh diinjak-injak ternistakan. Arwah mereka berjengkelitan menjerit-jerit diperebutkan malaikat buta dan iblis pincang. Juga 25 pengawal mereka bermandi darah di undakan teras kraton. Menyaksikan itu; gemuruh tubuh Eygel, Vonck, dan Van der Meer bak dikencingi demit gundul dan gendruwo, gatal-panas audzubillah, sebelum Tack nongol dan mripatnya bak tercomplong carang lantas memancarkan cahaya beringas kesumat. Munclak-munclaklah ia. Tapi pancen ia serdadu sejati, tak mlungker nyali. Ia sebar perintah dan taktik rapi-apik sehingga gerombolan Surapati keteter terdesak menghambur ke dalem keraton. Kala itulah, siapa menusuk siapa: jadi kisah indah-nyeri demi dibabar-wartakan ke anak-cucu di tlatah Jawa ini….

Tack ini orangnya waspada benar, tapi kesombongannya bikin gatal hidung. Terasalah ia merogoh diri bakal binasa. Betapa terbaca, ketika ia menggerakkan perwira Herfts bersama 57 prajurit dan 11 pucuk meriam untuk berjaga-jaga di gerbang keraton. ”Awasi juga gerak-gerik Sri Sunan! Penipu licik dan penakut itu bisa-bisa menghasut siapa saja. Dasar munyuk gundhul! Cepatlah kau disambar gledek!” pekik cerca Tack di hadapan serdadu-serdadunya.

Lalu 150 serdadu dijejerkan Tack di loji di bawah komando Kapten Leeman.

”Surapati dan gudel-gudel Bali itu tak bakal bertahan lama. Begitu melihat aku datang, mereka pasti lari kecirit-cirit,” desis Tack, serentak disambut bahak terpingkal-pingkal para prajuritnya.

Demi mata maut tersangit, kesombongan niscaya tergelincir.

Sekonyong-konyong Tack disentakkan oleh laporan Adipati Urawan dan Adipati Jepara soal berandal-berandal Surapati lain yang berhuru-hara membakari rerumah di sebelah timur keraton. Lantaran terlalu berapi-api menumpas para pengacau itu — dan sebab itu perhitungannya tercecer — Tack memerintahkan Letnan Eygel dengan 6 prajurit meluncur ke tempat kejadian. Terkecoh ia. Di sana, alah acuih, tak ada siapa-siapa. Hanya kobaran geni jejilatan menerbangkan lelatu kayu yang mulai bergedebrukan ambruk.

Pasukan Surapati yang terkepung di keraton terpaksa merapat berlindung di belakang tembok istana dan rumah-rumah yang sebagian telah kobong. Mangkuyuda, Singabarong, Surenglelana, dan Suradenta menyusup ke kandang macan. Entah merancang kelicikan apa. Sementara di alun-alun, asap tebal mengabut, menggeliut-geliut, kian merusakkan segala mata yang kalap dan kalut. Lamat-lamat terdengar ada yang menggeremat di kuping, tak tahu dari mana: gendingan Banyu Getih mengalun menggebah wewulu kuduk dan mendidihkan air kencing. Surapati yang tiba-tiba didampingi Singabarong dan Mangkuyuda bersungut-sungut bersiaga dengan senjata terhunus.

Ujug-ujug terdengarlah pekik tempik orang-orang Surapati ”Babat, amuk, babat!”

Serupa macan-macan kesurupan mereka merangsek pasukan Tack. Cacah mereka memang tak begitu banyak. Lantaran teriakan itu bak dihantui geram kesumat, welahwelah, seolah mereka disorong ribuan arwah pencucup ubun-ubun yang ngedan menceleng-buta. Pertarungan bengispun tak terelakkan. Dentingan pedang dan bayonet beradu berpercikan. Bedil dan senapan dibuang. Siapa yang terbrutal itulah yang selamat. Saat kudus seperti ini, nyawa tak lebih sedebrus kentut. Dan musuh harus ditebas-babat bagai anjing pesakitan.

Melihat 12 prajuritnya bergelimpangan, Tack mundur. Menoleh-noleh kanan-kiri-belakang. Berkali-kali. Sedikit gentar. Tapi pijar sorotnya tetap mencorong menantang maut. Bedilnya di tangan kirinya masih mengepulkan asap. Sempat terhirup olehnya dan terasa menyesakkan dada. Seolah ia ingin menyesap kekuatan nyawa-nyawa yang bertumbangan di hadapannya. Pikirannya menembus kekelaman terjahat dan berkejar-kejaran dengan seabrek musuh yang pernah ditumpasnya. Tak jauh darinya, Surapati melesat gesit. Jarak antara keduanya hanya lima tombak. Dua serdadu Tack yang tersisa coba menghalanginya, menghunus dengan sangkur siap tujes. Seketika batang leher mereka ditebang dalam dua gebrakan mahakilat. Surapati mendesis bak ular weling, matanya mecicil ke arah Tack sambil misuh-misuh ia menjilati darah dua korbannya yang menciprati pipi dan mulutnya.

”Kapiten, apakah sira masih bertakabur diri bahwa kami cuma anjing-anjing kumuh yang ciut nyali melabrak bedil, senapan, dan meriam Kompeni? Billahi ingsun bersumpah, riwayat sira kelak akan dicibir menjelma aib lantaran sira mampus di tangan si bandit Surapati. Ya, bajingan kroco kayak ingsun ini. Terbangkanlah jiwa piatu sira, Kapiten!! Sebelum jadi mayat, apa kalimat terakhir sira untuk dikenang di alam baka?”

”Demi tetesan darah Kristus yang tiada surut memancarkan belas kasih di Bukit Golgota, kita akan berlaga lagi di neraka, Surapati!!”

Dengan sigap Tack mencelat menunggang jaran setonya. Menerjang Surapati dengan beringas. Pedang panjangnya dikibas-kibaskannya ke jantung Surapati. Surapati berguling-gulingan di antara mayat-mayat yang berserakan. Ia terkekeh-kekeh berteriak, ”Pertarungan macam apa ini, Tack? Babi kepet pengecut!! Ayo turun! Serdadu sejati lawan begundal kelas teri!!”

Tack tak menggubris. Sekali lagi dengan kecepatan tinggi ia mengentak-entak turangganya sembari memutar-mutar pedangnya di atas kepalanya. Kali ini Tack menghimpun kekuatan penuh. Bersijurus membabatnya bersama gebrakan si jaran. Dalam jarak dua puluhan tombak, Surapati tetap saja berdiri tegap. Ia melolos keris dari warangkanya. Sedang tangan kanannya masih tetap menggenggam pedang. Ia pun menghambur berlari bak digebuk hantu. Membungkukkan tubuhnya lalu menggelesor ke tanah hendak menyambar Tack dari arah kiri. Brass, cress, tang ting tang!! Campuh timpuk bersabetan. Serangan Tack luput. Tapi pedang Surapati sempat menggeres dengkul kanannya. Ia terjatuh tak jauh dari jarannya. Tack meringis getir melihat dengkulnya mengucur darah. Segera ia bangun dan memungut pedangnya yang terpental. Namun sebelum Tack menapakkan kakinya pada sanggurdi jarannya, Surapati yang lebih dulu bangkit melihat peluang ini dan tanpa cas-cis-cus secepat kera gila menyerang Tack dalam jarak tiga tombak.

Andai Tack sempat melihat gerak ngedan Surapati itu, ia mungkin bisa menangkis serangannya. Namun gerakan Surapati melebihi sengal napas Tack. Ia menyogrok leher Tack dengan kerisnya hingga tembus. Mencabutnya kembali. Getih pun bermancuran. Tenggorokannya seperti dihajar bara baja. Tack menyumbat muncratan di lehernya dengan tangan kirinya yang tergetar hebat. Mripatnya berkerjap-kerjap melotot-lotot memercikkan serapah keji yang tak kuasa dibalasnya. Ia terhuyung-huyung limbung. Pedang di tangan kanannya masih disabet-sabetkan ke arah Surapati sebelum ia tersungkur. Saat ajalnya meregang sekarat, ia memandang aroma bangsat raut Surapati yang menjilat-jilati kerisnya yang berleleran darah itu.

Lalu segerombol orang berbaju putih, hitam keklawu-klawuan, dumadakan bermuntahan datang berteriak-teriak bengis dan secara sadis mencocori Tack hingga ia lepas ajal dengan 27 luka mengerikan di sekujur tubuhnya.

Pertempuran brutal dan bersawang teka-teki itu (atau tepatnya mungkin kerusuhan terbejat?) mengakibatkan 68 prajurit Kompeni tumpas. 1 raib. Dan 12 lainnya terluka tapi sempat terselamatkan ke tempat lebih aman. Sementara 40 prajurit Surapati tewas. 20 sekarat. 15 kabur lalu mati dan dikubur di bengawan Sala.

Hanya kematian bersimbah lukalah berbanjir getihlah yang diganjar takzim nan kutukan sekaligus pepletikan api yang dikuduskan Ilahi di palagan alun-alun Carta Seora itu. Jangan nyana lelara dua kelana ini tak bersawan nelangsa sepanjang masa. Tapi aduhai ngilu-pukau bergayut dahsyat cecabang kisah mereka hingga kuasa menerbangkan bebunga khayalan siapa saja.


*)Padepokan Lembah Pring Jombang, 2006-2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar