Fahrudin Nasrulloh
… And what are poet for in a destitute time?
(Friedrich Hölderlin, dalam “Bread and Wine”)
Seorang penyair, suatu hari, dalam senyap perenungan di ambang lengang, bertahan diamuk khayalan tak terbayangkan, diombang-ambingkan waham tentang kefanaan dirinya dan keabadian puisi-puisinya, tentang kenyataan bagaimana dirinya punah dalam rengkuhan peristiwa dan sosokan laksa kata. Betapa ia gelisah diseret bimbang. Sebaris puisi Hölderlin itu demikian mengusik hatinya. Ia menggeram sendiri, boleh jadi penyair hanya melakukan satu hal: merengkuh segala yang ada dan tiada. Saat itu, ia duduk seorang diri di atas kursi di teras rumahnya. Pandangannya kosong, gentar, kalut dalam diam, tersedak desir abu senja. Ia terus mencoba mengheningkan degup kata dan tilas makna yang kerap hadir dan lenyap begitu saja. Mungkin kata tidak memutuskan apapun. Atau sesuatu mengada ketika tidak ada kata, saat kata gagal dan lumat dalam segala hal.
Ia membayangkan semacam dunia batin para penyair yang mati muda dan, mungkin, sia-sia: Chairil Anwar, Frederico Garcia Lorca, Jim Morrison, Sylvia Plath, Sandor Petofi, Mennoster Braak, Forough Farakhzad dan Alejandra Pizarnik. Adakah para penyair ini mati dini demi suatu keyakinan? Atau sekadar membius diri dalam menjelajahi kegaiban hidup? Tampaknya segala tindakan dalam hidup tidaklah mesti membutuhkan alasan. Sepotong puisi, dari sekian puisi yang pernah ia baca (dan ia tulis), ternyata menyimpan anggur Iblis dan serigala bermata juling di dalamnya. Kendati jasad para penyair itu tak bersisa lagi jadi santapan belatung dan rayap, dengan segala kejahatan dan kebaikannya, namun puisi mereka terus bertualang, lebih hidup dari kematian dalam hidup itu sendiri, menjerat napas, mengekalkan hasrat, menyurup dan memburu apa saja dari kerawanan daya hidup manusia.
Sekilas lepas ia sadar, dirinya telah telanjur tandas menenggak candu puisi. Dan memang puisi tak harus menjadi obat kehidupan atau jampi atau khotbah bijak. Ia mungkin saja hanya ampas batin yang diterangi kemurnian panca indra atau yang meruah dari labirin kenikmatan yang melelahkan dan melongsorkan jiwa lalu disawurkan ke mata orang lain dengan setakik nubuat: inilah percik teka-teki mayapada yang tak bakal rampung ditafsirkan manusia. Dan sampai kapan pun, sebelum manusia terakhir musnah, penyair akan tetap ada dengan gelontoran sihir puisinya.
Tetapi siapakah yang membutuhkan penyair? Apakah mereka sosok suci atau pendosa yang kehilangan kesadaran murninya? Betapa, sebagai penyair, dirinya seakan berakhir sendiri, terlempar ke ranah entah.
Sejenak matanya berkilatan saat seekor gagak berkelebat menukik di tubir senja, semerta dua bulir air matanya menetes. Angin berembus malas, dan senja melambat menyambar jelang malam yang pucat. Barangkali ia terpesona diguyah gelisah khayalan dan kegamangan yang menyusup ke raganya. Namun ia kukuh bersetia mengendusi geriap puisi yang terus mengusik, di dasar karang kawah mahabahaya, meregang sendiri, hingga kematian yang menghitam tak kuasa mengheningkan nyanyian sang makhluk dalam gelapnya waktu, seperti getar demam tubuh Bertolt Brecht: “In the darkness, will there also be singing? Yes, there will be singing, about darktimes.”
Setelah itu ia terdiam, melayangkan kesadaran, mengurai sengkarut pikirannya, lalu beralih duduk di bibir jendela, tergerus selaksa bimbang dan resah, mendengarkan dengung gaib batinnya. Dan lamat-lamat, terbersit rasa sepi, secabik cermin dunia tiba-tiba menghampa, dengan seabrek ingatan, dan seleret takwil menyarang dalam benaknya: daya sihir puisi barangkali tercipta justru ketika penyair sekarat diamuk kata-kata, ketika ia bersitatap sekaligus dengan kenyataan dan mimpi, dalam guliran keajaiban peristiwa dan benda-benda.
Peristiwa dan benda-benda, dua hal yang ia tahu tak bakal kekal, dalam ingatan dan dalam ruang. Lantas, apakah dengan begitu puisi hanya memaknai ihwal yang sia-sia? Sekadar menyematkan makna pada segala omong kosong? Tetapi para penyair tetap membikin puisi, terus dan terus, dengan sekian alasan. Jadi, gerangan roh apa yang menitis dalam puisi? Sebuah puisi murni, kuasa bertenang diri, tidak menyepi atau menghambur ke keramaian dunia, tiada berhenti atau desiran maknanya jadi beku dalam kata dan waktu. Karena makna dan kata selalu bertukar tangkap dengan lepas, tak pernah terbuhul dalam satu jeratan pengertian yang mutlak. Meski hanya sementara, deburan makna hadir bak denyar yang meradangkan sekaligus menguatkan jiwa, tak merangsek menghimpit mengepung dengan limburan misteri di dalam atau di luar dirinya.
Ia merasa, mungkin dalam puisi tak ada apa-apa. Yang ada sekadar amuk gentar kepada semesta. Semesta ada, dan manusia tersesap karena membayangkan ihwalnya. Dan penyair tak lebih sekadar menorehkan jejak. Lalu lenyap. Jadi, apa yang dipertarungkan penyair hingga mati-matian melahirkan puisi? Siapa yang peduli kepadanya? Memburu apa, diburu siapa? Penyair hanya merayakan dunia dalam kata-kata dan ketidakpastian tak berhingga.
Kemudian ia beranjak menuju kursi panjang di sebelah kiri kamarnya. Dalam jeda waktu sekian lama, ia menyambar sebuah risalah sastra karya seorang kritikus. Baginya, kritikus sastra adalah sosok kanak-kanak, pesolek genit, atau badut lugu yang menari sedih di atas bangkai pikirannya sendiri, membayangkan dirinya menjadi dewa; penentu dan pewedar kerumun sabda naif terhadap mati-hidupnya puisi. Seraya berusaha meredakan kecamuk batinnya, ia mengkhayalkan unggunan gagasan yang mengamuk hebat dalam benak kritikus sastra itu. Seolah sang kritikus sastra mengomel sendiri di medan puisi yang sedang ia simak, “Wahai lidah halilintar, sambar dan lenyapkan kemabukan para penyair untuk selamanya. Sebab, sumsum kehidupan telah mereka hisap habis ke jurang maya. Mereka hidup bergelandangan di padang gurun mahaluas di mana Iblis dan malaikat bersabung mati memperebutkan takhta akhirat. Wahai kekuatan mahakala, kuburkan para penyair dalam gua lahat berkabut tanpa terang dan gelap. Aku tidak peduli lagi akan puisi mereka, dan di mataku tak ada yang lebih buruk dari itu.”
Baginya, kritikus sastra adalah penyebar wabah berjubah putih dengan segala kelancungan pikiran, melahirkan persepsi, onggokan gagasan, dan sengkarut tafsir yang meruyak lantas didesakkan menjadi kebenaran tunggal. Baik dan buruk. Mulia dan hina. Apakah mereka berpikir tentang puisi dengan cara yang sama sebagaimana orang berpikir tentang Al-Quran, Alkitab, epik akbar, atau karya-karya besar peradaban dunia (tragedi Yunani, Dante, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Li Tai Po, Goethe, Shakespeare, William Blake, dan lain-lain)? Tetapi, tak seorang pun di dunia ini kuasa bersumpah bagi dirinya sendiri bahwa dirinya abadi dalam kebenaran yang hakiki. Tak ada kebenaran. Yang ada hanyalah kilasan perenungan yang segera pudar. Ah, biarkan saja kritikus sastra bersinting ria dalam khayalan terkutuk mereka. Tercekat pekat dalam dering keheningan.
Namun kini, dunia masih saja berdenyut. Kehidupan tetap berjalan apa adanya. Dan para penyair yang masih hidup senantiasa melahirkan dan menghidupi karya-karyanya. Menziarahi cahaya batin masing-masing, menajamkan kekuatan imajinasi dan daya baca, merawat puisi dengan segenap cinta, dengan segala yang telah hilang, dengan semua kepedihan dan kebahagiaan yang tak mungkin direngkuh kembali. Di akhir perenungannya yang terdalam, sang penyair itu bergumam lirih, “Tanpa puisi dalam pikiranku, selamanya aku tak ingin hidup di antara kumpulan manusia yang menyedihkan ini.” Pandangan matanya tampak berbinar, tetapi masih saja ada keraguan yang mengganjal di benaknya. Kemudian ia membatin, ”Sebenarnya, sesuatu yang tak kuasa kupuisikan, lebih baik kujaga dalam diam.”
Suara Merdeka, 28 Agustus 2005.
Minggu, 18 Juli 2010
Dunia Batin Sang Penyair
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar