(Wawancara dengan Agus Riadi, Ketua DKJ periode 2010-1014)
Fahrudin Nasrulloh
Selama beberapa tahun belakangan, sejak tahun 1993, upaya pembentukan Dewan Kesenian Jombang telah dilakukan oleh kalangan pemerhati budaya di Jombang, salah satu inisiatornya adalah Agus Juadi, namun tidak menemukan kesepakatan yang aklamatif serta karena perbedaan pandangan yang beragam. Kemudian pada sekitar 2004 diadakanlah semacam Dialog Budaya dengan narasumber Shoim Anwar (sastrawan asal Jombang yang kini tinggal di Surabaya) dan Halim HD (budayaan dari Solo). Dialog ini kemudian ditindaklanjuti oleh Inswiardi (pemerhati kesenian) dan didampingi Nasrul Ilahi untuk merintis DKJ kembali. Upaya ini mandek. Dan tiap komunitas bergerak di kolong masing-masing dengan segala kreatifitasnya. Beberapa kali dialog ihwal DKJ disulut lagi oleh Nasrul Ilahi, tapi mentok juga.
Tampaknya ada sedikit titik akhir dari sekian ikhtiar itu, ketika Disporabudpar pada 5 November 2008 mempertemukan lagi seniman dan budayawan Jombang dalam sebuah acara Dialog Budaya dengan tema “Restrukturisasi dan Revitalisasi Dewan Kesenian Jombang”, di Taman Tirta Wisata Jombang. Herry Lentho dan Abdul Malik dari Dewan Kesenian Jawa Timur dihadirkan untuk berbagi saran. Setelah dialog usai, forum menyepakati terlebih dahulu untuk membentuk tim formatur yang akan membincang dan mematangkan hal-hal paling mendasar terkait konsep, strategi, pandangan ke depan, dan bagaimana DKJ berperan dengan baik dan terasakan manfaatnya. Tapi hal itu tidak terjadi, dan sebaliknya, entah ada skenario apa, tiba-tiba kepengurusan sudah dibentuk oleh sekelompok panitia tertentu dengan memilih Wiwik Suyanto (istri Bupati Suyanto) sebagai Ketua Umum DKJ. Asas demokrasi yang bertolak dari saling menghargai pendapat, jujur, adil, dan keterbukaan tampak ironik di sini.
Dan itu cerita kuno yang berkelok dan bertelikung dalam riwayat pembentukan DKJ. Ini bisa menjadi refleksi bagi siapa pun. Terkadang yang kerap luput dipikirkan adalah seperti apakah “kesenian Jombang” sehingga banyak kepentingan yang bermain di sana dan di sisi lain seni-budaya sebagai kebutuhan yang kodrati dalam konteks manusia Jombang terabaikan. Adakah juga kesenian hanya bisa maju jika pemerintah daerah turut serta dalam pengembangannya? Tentu saja, kita berharap semua komponen dari yang seniman, pejabat, pemda, budayawan, akademisi, kawula muda, maupun lembaga sosial lain yang non-government dapat bergerak bersama untuk menyorong kemajuan kesenian di Jombang. Persoalan-persoalan di dalamnya memang tidak sekedar dipecahkan, tetapi musti diselesaikan denga pemikiran yang benar, tepat sasaran, tidak untuk kebutuhan sesaat, dan memiliki arah ke depan yang jelas.
Maka, dibentuklah DKJ dengan Agus Riadi (pejabat Beppeda Jombang) yang terpilih sebagai ketua. Selanjutnya atas terbentuknya kepengurusan itu DKJ telah dikukuhkan kepengurusannya oleh Bupati Suyanto pada malam 25 Februari 2010 di alun-alun Jombang. Ada harapan besar dari situ bahwa DKJ “harus” mampu berpikiran ke depan dalam memajukan dan mengembangkan seni-budaya di Jombang. Bagaimanakah jati diri dan building character kebudayaan Jombang dirancang sebagai konsep dasar untuk membangun fondasi yang menguatkannya. Semua warga Jombang berhak memliki jawaban sebagai sebuah kesadaran berwarga yang baik.
Sebagai salah satu bagian terpenting dari semua itu, di bawah ini saya hadirkan hasil wawancara khusus saya terhadap Agus Riadi (yang kini menjabat sebagai Kepala Bapeda Kabupaten Jombang yang akan segera pensiun setahun lagi) pada siang pukul 11: 45 menit sampai 13: 23 menit, tanggal 25 Februari 2010, sebelum pengukuhan DKJ dilaksanakan:
FN: Bagaimana anda melihat kesenian di Jombang dan apakah masyarakat Jombang sendiri membutuhkan kesenian?
AR: Saya melihatnya seni dalam konteks hiburan, tapi kita tidak ingin hanya sekadar hiburan. Yang terpenting adalah nafas dari seni sebagai karakternya. Kalau kesenian tidak diperhatikan, bisa jadi hilang, tatkala dihadapkan pada benturan pengaruh lain. Karena itu, bagaimana kita melihat perkembangan apresiasi masyarakat terhadap seni dengan asumsi apakah masih mereka membutuhkan itu. Misalnya seperti apa kondisi ludruk saat ini di mata masyarakat. Perlu kita memperhatikan dan menganalisa sejauh mana sih kepentingan dua belah pihak antara seniman ludruk dengan penontonnya. Ludruk harus mempunyai inofasi juga dalam berbagai bentuknya agar tetap menjadi daya tarik. Nah, di sanalah kita nanti akan memulai mengidentifikasi setiap persoalan bersama-sama.
FN: Sebagai ketua Dewan Kesenian Jombang (DKJ) yang terpilih, apa bayangan anda sebelum mencalonkan diri atau dicalonkan ataukah ada kepentingan yang sifatnya politis?
AR: Sejak 2 tahun terakhir ada yang menyarankan saya untuk terjun ke kesenian. Ini dari berbagai kalangan di teras kabupatenan. Terus terang saya nol putul dalam memahami kesenian di Jombang. Tidak ada unsur politik dalam kepengurusan ini dan juga ke depannya nanti. Saya merasa ada rasa balas budi yang harus saya abdikan demi Jombang. Anak-anak saya lahir dan tinggal di Jombang, meski saya sendiri kelahiran Madiun. Hal yang mendasar bagi saya bahwa hingga saat ini seni belum menjadi bagian proses pembangunan daerah secara maksimal. Yang selama ini dilakukan masih persial, sekedar memfasilitasi, belum menggarap pada yang fondasi. Kita nanti akan memulai dari segi pendidikan formal dan informal. Sebab seni di medan pendidikan ini penting sekali sebagai upaya memperkenalkan, bukan perkara menjadikan anak didik sebagai seniman. Tapi itu nanti yang menentukan adalah individu masing-masing. Seni lahir dari seniman tidak karena untuk mencari nafkah, tapi bagaimana proses seseorang jika kemudian ia menjadi seniman itu yang perlu dilihat. Contohnya Gombloh, lahir di Jombang, sekolah arsitektur ITS, jadinya seniman. Tidak ada yang tidak ada ruang untuk ke situ. Misalnya juga membaca puisi, itu kan yang selama ini hanya dilakukan untuk memperingati hari-hari besar. Seharusnya kesadaran akan seni dan berkesenian dapat menempat pada ruang dan waktu yang terus musti ditanamkan.
FN: Apakah kesenian di Jombang tidak berkembang dan mungkin karena itu menyimpan sekian permasalahan sehingga dianggap perlu untuk membentuk Dewan Kesenian Jombang?
AR: Jadi bukan begitu. Pembentukan DKJ tidak berangkat dari sekedar untuk memecahkan masalah. Tetapi bagaimana DKJ membangun seni budaya Jombang kembali. Nah, fase-fasenya nanti bagaimana? Bahan dari langkah-langkah DKJ bisa berangkat dari persoalan-persoalan yang terjadi dan ditemukan itu, bisa juga berangkat dari potensi, atau cita-cita DKJ mau ke mana. Itu komitmen semua pihak di DKJ yang akan kita matangkan dalam rapat kerja.
FN: Pemikiran fisioner yang bagaimana untuk memajukan kesenian Jombang? Dan strategi kebudayaan yang bagaimana yang akan anda lakukan nanti dalam kepengurusan DKJ?
AR: Prinsip kita kesenian itu menjadi keunggulan daerah. Menjadi daya saing dalam berbagai kapasitas, terutama SDM-nya. Bukan musti dimaknai dalam tingkat akademis tapi kualitasnya itu yang penting. Seseorang yang utuh, yang punya roso, tidak melihat kehidupan semata-mata dari segi materi. Strategi kebudayaannya adalah setelah mengetahui persoalan-persoalan yang nanti kita temukan di dalamnya, juga apa saja kendala-kendalanya. Sehingga DKJ nanti betul-betul menjadi wadah untuk menyatukan persepsi dan komitmen. Perkara strateginya bisa macam-macam. Periode ini adalah membangun fondasi itu dulu, sampai nanti pada bagaimana yang akan kita lakukan, tapi yang penting kita harus memulai.
FN: Apa tanpa difasilitasi, DKJ tidak bisa berjalan?
AR: Kalau tanpa itu mana bisa berjalan sendiri. Yang menjembatani pemerintah dengan DKJ adalah lewat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menejemen SKPD masuk entertainmen, tidak bisa. Makanya ini sebagai simbol, tempat berdialog antar komunitas. Nanti, lewat DKJ juga, bagaimana lembaga kesenian dapat bekerja sama dengan instansi lain, atau dengan pengusaha, misalnya, dan lain-lain.
FN: Setiap daerah tentu memiliki persoalan-persoalan kesenian yang bermacam-macam, contohnya ludruk di Jombang yang kerap dijadikan kendaraan politik, bagaimana anda mencermati persoalan ini?
AR: Yang pertama kuncinya kepada kita sendiri. Mau nggak kita. Kita pun menutup rapat-rapat ya tidak bisa sepenuhnya demikian. Tapi jangan sampai kemudian semata-mata itu target politik. Targetnya yang harus kita fokuskan adalah pada perhatian dan kepentingan kesenian. Tapi jika sudah masuk pada ranah individu yang berkaitan dengan politik kita juga tidak bisa lagi menghalangi. Misalnya grup ludruk ini ditanggap oleh ini oleh itu, hal ini yang di luar jangkauan kita. Kita tidak bisa menutup rapat-rapat itu. Rasanya soal itu di masa depan sudah tidak laku. Artinya di sisi lain bisakah tiap komunitas atau grup kesenian menjaga integritasnya. Jika tidak bisa menjaga, maka dengan sendirinya kelompok tersebut tidak akan berkembang.
FN: Ada wacana agak lawas tapi tetap hingga kini menjadi dilema terkait soal kesenian sebagai sebagai kesenian dengan industri kesenian, ekonomi kreatif, dan politisasi kesenian. Bagaimana anda memandang persoalan ini?
AR: Memang tidak bisa terkotak-kotak seluruhnya begitu. Butuh ruang-ruang ekspresi yang menjembatani. Demikian juga tatkala seni berkaitan dengan ranah politik. Juga penjajahan terhadap seni-budaya kita harus diantisipasi karena perkembangan globalisasi dan pengaruhnya yang tak terbatas itu, kita harus punya filter. Bukan kita alergi, tapi bagaimana mengantisipasi dengan tindakan konkrit. Setidaknya nanti dalam kebijakan dirumuskan ada perlindungan yang dilakukan pemerintah untuk karya seni dan karya cipta kesenian Jombang.
FN: Banyak dewan kesenian memiliki problem internal, misalnya tipisnya hubungan antara dewan kesenian dengan komunitas seni. Selama ini yang ada hanya relasi birokrasi. Padahal secara kesejarahan eksistensi dewan kesenian tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kesenian dan seniman yang mewujud dalam kehidupan kebudayaan yang nyata. Apa pendapat anda?
AR: Saya pikir itu letak kuncinya pada jangka panjang di dalam menentukan keberjalanan dewan kesenian itu. Kalau membentuk dewan kesenian hanya berangkat dari pemikiran belum adanya gedung kesenian, karena itu perlu dibentuk, ini yang sempit cara berpikirnya. Maka visi menjadi penting. Kan janggal kalau adanya dewan kesenian kok tidak ada keterlibatannya dengan seniman dan kesenian. Selanjutnya dewan kesenian mau apa dan mau ke mana, harus difokuskan ini. Lalu, ada muatan dan kepentingan lain, artinya harus ada bismillah, bahwa dewan kesenian dibentuk untuk apa yang benar dan demi kebaikan bersama. Persoalan-persoalan dewan kesenian memang beragam. DKJ karena itu bersama pihak-pihak terkait nanti harus berbagi peran. Saling bersinergis gitu. Bgaiamana DKJ itu jadi lembaga yang dibutuhkan untuk kesenian Jombang dan seniman-senimannya. Itu yang penting. Jika tidak, untuk apa DKJ dibentuk.
FN: Apakah anda punya banyangan soal agenda konkrit yang akan anda lakukan bersama 7 komite DKJ yang telah dikukuhkan pada malam 25 Februari 2010?
AR: Saya belum bisa mengutarakan secara pasti. Yang penting kita kumpul dan saling mendengar antar anggota di DKJ. Jangan sampai saya melakukan sesuatu yang bukan sebagai pemecahan masalah. Saya pingin tahu, artinya yang penting saya ingin tahu dulu dalam raker nanti. Saya ingin pada ke depannya ini, istilahnya, “kutahu apa yang kau mau”, nanti solusinya bagaimana, kita rembuk bareng. Diskusinya nanti harus fair, terbuka, dan berpijak pada data.
FN: Menurut anda seperti apakah pemikiran kesenian Bupati Suyanto?
AR: Yang saya tahu, dulu ia mendorong saya untuk mau membantu memikirkan seni dalam konsep dan rancangan undang-undang peraturan daerah. Saya diminta merumuskan dan bagaimana pengembangannya ke depan. Oleh karena itu DKJ menjadi harapan yang menurut Pak Yanto ini penting dilakukan.
FN: Terkait dengan penyusunan sejarah Jombang sebagai upaya untuk pembentukan karakter dan jati diri sebuah kabupaten, bagaimana menurut anda?
AR: Secara persis saya belum tahu soal itu. Tapi ada baiknya nanti DKJ akan menjadikan itu sebagai bahan untuk digodok.
FN: Apa bacaan favorit anda? Siapa tokoh yang anda teladani?
AR: Hahaha, bacaan yang saya sukai adalah komik Ko Ping Ho, seperti “Pendekar Bodoh”, dan lain-lain. Tokoh yang saya teladani yang utama adalah Rasulullah.
FN: Kaitannya dengan tradisi menulis dan membaca anda?
AR: Wah agak repot ini, saya seneng membaca tapi tidak bisa menulis. Karena bahasa saya selama ini lebih banyak bahasa birokratis. Tapi saya terus berusaha tidak berhenti membaca, dan ingin juga belajar menulis dengan baik.
FN: Apa motto hidup anda?
AR: Selamat dunia akhirat…
Simpulan utama dan mendasar dari pemikiran Agus Riadi selain beberapa poin wawancara di atas adalah bagaimana membaca persoalan-persoalan kesenian di Jombang yang paling mendasar, selanjutnya adalah bagaimana membangun fondasi kesenian itu. Tentu ini merupakan kerja besar dan butuh waktu yang tidak sekali jadi. Dan dana 500 juta telah siap pertahunnya hingga 2014 bukanlah jaminan. Tinggal apakah bisa DKJ bekerja dengan konsep kebudayaan yang jelas. Tidak a-historis atau sekedar menghabiskan dana tanpa manifestasi yang riil. Ada 7 komite dalam tubuh DKJ yang kelak ikut menentukan instrumen dan potret DKJ. Sebab, kesenian akan mati tatkala kesenian hanya dijadikan alat untuk kepentingan sesaat atau ditunggangi kepentingan individu maupun kelompok politik tertentu, maka lembaga semacam DKJ harus berangkat dari niatan untuk pengembangan kesenian yang sesungguhnya.
Jombang, 25 Februari 2010
Kamis, 15 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar