Sabrank Suparno
http://media-jawatimur.blogspot.com/
**
Sang Mentari.
Aku selalu datang penuhi janjiku. Sosok lelaki kekar itu tak sekedar bersumpah serapah. Perawakannya yang dempal tak asing lagi menyapa seribu kekasih yang selalu menunggu belaian kemesraan. Dia lelaki pantang. Tak sedetikpun waktunya terhadang. Rona wajah merahnya bukanlah guratan marah, malah senyum ditebar seluas pesona. Kepalanya bersorban ufuk. Sebentuk tubuhnya serupa bola mata. Ia merangkak ke bumi, menapaki perbukitan, memanjati pepohonan, menyusuri tebing, menyelinap di antara dahan, mengintip dari celah dedaunan. Sejenak kemudin bertengger diatas bebatuan, dan ngangkang di sawah-sawah, di atas kota, di antara gunung.
Aku pecinta sejati. Kehangatan cintaku terpancar moncer. Menerpai setiap lipatan. Membelai seluruh kerisauan. Aku singkap selimut hitam. Aku telanjangi bulat-bulat eksotis tubuhmu yang aduhai! Dan tinggallah aku gerayangi separuh tubuhmu dengan kegairahan cintaku yang membara. Kesetiaanku adalah sinar yang aku pancarkan sejak berjuta-juta tahun lalu , yang hari ini menyentuhmu.
** Kepada malam.
Kepada malam aku berkata. Gulunglah selimut kabutmu yang kau gelar setiap aku hendak pulang. Menyingirlah, berlari dibalik umpatan. Bukankah tugasmu membuai mimpi telah usai! Kau elus elus kelalaian dalam timangan cecap, redam gelembung pendaran. Sembunyikan juga binatang malammu di balik ketiak daun pisang atau di goa sekalian. Kornea mata mereka tak bersahabat dengan tatapanku. Silau- silau. Kemaslah burung hantumu lolong srigala, garayang musang, sebab mereka akan berbalik tingkah. Pudarkan niat lacut si bandit, para maling, wts jajahan, waria jalanan, antrian kigolog, agar mereka tak tertangkap pengelihatanku. Ingat malam! Aku selalu datang tepat waktu, mengikis usia di ujung rambut, menyusut rona jadi keriput.
**Kepada pohon.
Kepada pohon aku memohon. Cernai sesuatu yang aku bingkis kusus buatmu.Olah bingkisanku ditungku klorofil. Meski aku bukanlah warna, jadikan aku hijau. Biar aku dapat meresap masuk ke pori indera dan relung hati. Aku berkapasitas tak tentu ketika aku nyekoki isap lidahmu. Seberapa jatuh miringku, disitu tolak ukur baikku. Ka kutungguimu hingga bunga bermekaran, dan buahmu bergelantungan. Atau hanya sekedar rindang, tempat seju berlelahan.
**Kepada air.
Gemercik riakmu berkilauan saat kutempa dijatuh miringku. Aku tak bisa mencumbuimu selain meninggikanmu menjadi uap saat kubakar dengan panasku. Aku selalu melirikmu dalam setiap perjalanan yang kau tempuh. Hulu, ke muara jalan berliku. Mengucur deras ketitik rendah. Kau tidak bisa dipecah. Kau tidak bisa dilukai. Dibelah berkali-kalipun! Kau tetap kembali. Dihantampun, gelombang lingkarmu menari-nari. Tiap kali aku panasi, kau menjelma menjadi uap, titik-titik air yang berterbangan. Dan pada ahirnya uappun menggumpal menjadi awan.
**Tenatang awan.
Kepada awan, Sang Mentari tak pernah berbicara. Awan berkhotbah dengan bahasa bisunya.
Aku awan berarak. Yang selalu tampak putih di kejauhan. Aku terbang melintasi pulau-pulau dan benuah. Angin memboncengku kesana kemari. Dari samudera Pasivik sampai lautan Hindia. Dari awang-awang sini aku menyaksikan ribuan mata memandang, dan mereka menyangka bahwa dirinya kelak akan berubah seperti aku. Aku memang bersama angin, tapi aku lebih kerap bersahabat dengan hawa. Acapkali aku melakukan perundingan panjang dengan hawa untuk memutuskan aku turun di suatu tempat. Aku tak pernah turun sendirian. Aku selalu kerahkan pasukan. Dan ketika pasukanku bergumpal merampak, serdaduku dijuluki “sang mendung”. Satu persatu kami tejun ke permukaan dengan telanjang tanpa parasut. Kami hanya setitik, meski berupa jarum. Sebutirku dihantar satu cahaya pembagi makna.
**Tentang hujan.
Akulah hujan yang dilahirkan sang matahari. Aku bersembunyi dibalik awan dan mendung bergayut. Hanya saja jika jendela awan terbuka, aku biaskan matahari menjadi lukisan pelangi. Itupu jika angkasa memesannya, dan sesekali saja. Setiap saat aku ingin bermanja dengan bumi yang tidak pernah sama aku singgahi rautnya. Namun digaris belah ini aku hadir dalam masa separuh putaran bumi. Aku kirim kabar ke kulit katak, yang lalu kemudian berdendang untuk semut. Semut berduyun-duyun hijrah dari lubang gua ke atas tangga. Barisan semut dicermati laba-laba yang kemudian berbalik kepala. Tak lama kemudian serdadu burung terik berputar-putar mengali sumur di angkasa. “wahai sang bumi! Enam purnama sudah aku berkelana. Aku kangen mencintaimu. Aku kembali untukmu. Akan aku curahkan seluruh milikku padamu. Aku lepas dahagamu. Aku guyur kering kerontangmu. Aku sejukkan panasmu. Aku saput debumu. Resaplah aku kedalam jiwamu. Biar aku gemburkan kerasnya hatimu. Da tumbuhlah bebijian dari perutmu. Wahai sang bumi! Pohonmu kalaparan. Daun berguguran. Ranting berserakan. Pulihkan dahan yang ringkih. Rindangkan daun yang tercukur. Sementara aku akan mengaliri sepanjang sungaimu yang keset. Aku juga akan tambarkan asinnya aram lautmu. Aku genangi lubang-lubang telagamu. Wahai bumi! Aku risih ulah para dukun yang mengusikku. Ulah mereka hanya membuat alam cidera. Saatnya aku turun menjamaimu dengan derasku.
**Tentang bumi.
Ketabahan bumi adalah menunggu waktu. Ia bersetia membopong setiap apa yang pundaknya.kesetiaan bumi adalah revolusi, mendampingi matahari ditengah ganesa. Pengabdian bumi adalah rotasi, berputar melingkari nasib manusia. Rotasi kemudian lahirkan siang dan malam, gelap dan terang. Dan hidup hanyalah tak lebih berjalan dari gelap mencari terang. Siang- malam lahirkan waktu yang dihitung berdasarkan terbit dan tenggelamnya matahari. Dan dari waktu inilah semua jatah selalu dikurangi. Waktu kikis diujung rambut, digugur daun, dan jemputan bermacam prahara.
Bumi yang dulu cantik kini bopeng. Keriput tuanya menggurat wajah. Kekebalan tubuhnya kian merenta. Penyakit dalam mulai mulai bersarang. Sering murus dan batuk dahak. Tempramennya kian tinggi, gampang tersinggung dan uring-uringan.
“Wahai hujan! Aku tak sanggup lagi bergairah cinta seperti dulu. Aku sekedar saja meladenimu. Tenagaku loyo, dan kensentrasiku rancu. Aku kelelahan hujan. Hari-hariku dipaksa meladeni nafsu. Disenggamai tanpa henti oleh beribu kalamin yang kian menjulur. Aku ditelanjangi bugil. Gunungku yang montok dijilati bibir. Pepohonan rambutkupun gundul tercukur. Sungaiku, yang aku pakai membagi derasmu tak muat lagi. Karna gundukan sampah menyumbat alirmu.
**Tentang prahara.
Bumi dan hujan, mendung dan awan, matahari dan malam, air dan akar, diam-diam menyelenggarakan rencana-rencana panjang. Panderitaan, kekecewaan, dendam dan amarah yang lama terpendam meletu-letup. Ubun-ubun cakrawala berpengap pengap. Angin yang lembut jadi beringas. Berputar-putar, meliuk-liuk. Mengeram serak bergemuruh. Gelegar petir membentak-bentak. Matanya tajam berkilat-kilat. Mendung menggalang likatan pekat.
Tepat di suatu tanda yang disebut prahara, mereka bertemu dalam suatu pusaran muara. Bumi, hujan, mendung, awan, angin, pohon dan air, meminta restu Matahari, untuk menjadi prahara. Prahara berkata! “kita harus bersatu, bekumpul di suatu tempat dan bertamasya bersama. Kita telusuri hutan, lereng dan jurang, sungai perdesaan, kampung dan kota-kota. Serempak ditabuhi genderang petir, disko kilat, irama siluet gemuruh angin, dan jerit tangis bersautan. Mula-mula kita akan melakukan gerakan kecil, hujan deras tanpa henti. Kemudian kita beratraksi banjir bandang, demonstrasi tanah longsor, joget bergoyang gempa, tarian angin puting beliung. Kita juga berjingkrak-jingkrak sampai arena ludes luluh lantah.
Kita akan rubah warna baru agar tampak lebih menor. Langit pasti tersenyum, rembulan mengintip dari balik jendela. Ia tersenyum anyir nyinyir. Sementara bintang gemintang bertaburan menghalau do,a. kita kubur angan dan cita-cita. Kita tenggelamkan nama sejarah. Kita libas segala yang berdaya hendak menghancurkan. Baik dan buruk kita aduk-aduk. Soal perhitungan kita kerjakan belakangan.
Kemarahan kita adalah curahan kasih sayang. Sedang pengumbaran kita adalah penjerumusan. Tidklah lebih apa yang kita kerjakan, kecuali ini memang yang mereka inginkan. Kita tinggal mengabulkannya.
Aku berpesan pada kalian. Jangan libas seluruhnya. Tinggalkan kenangan untuk cerita. Tempat ibadah seperti masjid, gereja, pure, wihara tinggalkan saja. Dengan cacatan, dibangun di atas sandaran Tuhan. Dan bukan agama sebagai lencana.
Kita leburkan setiap sel atom. Sebab setelah kematian di mungkikan tumbuh kehidupan baru yang lebih bersahaja. Kehancuran bukanlah sekedar bencana dan prahara. Tetapi apa sebenarnya yang menyebabkan bencana dan prahara itulah yang harus disibak rahasianya.
Matahari, bumi, awan, dan hujan tetaplah bergerak sealamiah. Tetapi untuk bertingkah, terserah persahabatan kita. Kalor yang dilepas sebandig degan kalor yang diterima. Sedangkan rerumputan yang tak mengerti apa-apa hanya bisa bertengadah.
Jagat raya hanyalah lukisan fana. Hendak dibingkai, dipajang di dinding rumah, dicoret, atau dimusnahkan, itu terserah Pemiliknya.
*) Penulis cerpen, esai, opini, buku. Petani, aktif di Jama,ah Padhang mBulan, Komunitas Penulis Jombang.dan berkreasi di Lincak Sastera Dowong. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep, Kec, Sumobito, Kab. Jombang Jawa Timur. Hp:081-359-913-627
Kamis, 15 Juli 2010
M e t a b o l i s m e
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar