Senin, 19 Juli 2010

Jombang dan Peta Kebangkitan Zaman

Sabrank Suparno

1. Maulid Nabi Muhammad

Dalam buku yang ditulis Haikal dijelaskan bahwa Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul awal. Tanggal kelahirannya sama persis dengan tanggal wafat Beliau. Beberapa pengamat mencatat indikasi metodologi khusus bahwa orang-orang besar itu, hari dan tanggal lahirnya selalu sama dalam hitungan bulan qomariyah (bulan jawa tahun saka ).

Dua belas sesungguhnya adalah simbolik dari posisi interval bumi mengitari matahari dalam tataran satu tahun revolusi. Dalam satu kurun waktu revolusi, bumi memerlukan dua belas interval. Pada interval Ramadhan maka dinamakan bulan Ramadhan. Sebagaimana pada interval Dhulqo’da disebut bulan Zulhijah. Sedangkan bulannya tetaplah satu.

Seandainya imajinasi kita bebas mengintepretasikan mungkin kita perlu sedikit berhati-hati menjelang tahun 2012 nanti. Dalam Al-qur’an dijelaskan “Inna iddada syuhri itsna asyarota fii kilatabillah”. Sesungguhnya hitungan bulan adalah dua belas, dalam kitab Alloh. Dari analisis sejarawan menyimpulkan bahwa setiap tahun yang ditandai dengan hitungan dua belas selalu terjadi perubahan cepat dan menyeluruh dalam sekala besar peradaban manusia.

Dalam buku “Gelora Iman” dijelaskan bahwa pada hari kedelapan setelah lahir di kota Makkah, Muhammad dikirim ke pedalaman untuk disusukan. Hal ini memang tradisi orang-orang arab untuk mengasuhkan anaknya di daerah pegunungan sekitar kota Makkah yang jauhnya satu hari perjalanan onta. Dan bayi-bayi ini akan dikembalikan ke kota setelah berumur delapan atau sepuluh tahun.

Ada beberapa pendapat yang sama dengan yang dikatakan Ibnu Ishaq dalam kitab “Hikayatunnubuah”. Bahwa Halimatussa’diyah pada waktu itu tidak mendapatkan bayi untuk disusui. Namun karena malu dengan tetangganya, akhirnya Halimatussa’diyah membawa pulang bayi Muhammad itu, meskipun lahir dari keluarga miskin dan yatim.

Pada usia delapan tahun Nabi Muhammad diambil pamannya Abdul Muntolib ke pedesaan. Semenjak di asuh Halimatussa’diyah, Muhammad punya saudara sepupu yang bernama Said. Said tidak mengerti kalau yang mengambil Muhammad itu pamannya. Said segera berlarian mencari ibunya. Serentak Said berteriak “Emaaak, saudaraku dicuri…..”. Halimatussa’diyah pucat pasih. Ia ketakutan, kalau-kalau Muhammad kecil itu diculik orang. Ternyata Halimattussa’diah lebih sayang kepada Muhammad ketimbang anaknya sendiri. Saat Halimatussa’diyah kebingungan itulah tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari angkasa “tidaaaak……., dia tidak akan hilang dalam dunia, tetapi dunia yang akan lenyap kedalam dirinya”. Cuplikan kalimat bercetak miring ini akan penulis jelaskan di akhir pembahasan.

2. Isro’ Mi’roj

Kehidupan telah menghantarkan Nabi Muhammad pada usia empat puluh tahun terhitung terbit dan tenggelamnya matahari. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Isro’ ayat 1, pada suatu malam Muhammad mipet dijalankan untuk “melakoni” peradaban ummat manusia.

Sepuluh juta kilo meter tahun cahaya bumi mulai di tinggalkan. Seratus juta meter, berjuta-juta meter tidak hanya bumi, tetapi bulan mulai di tinggalkan.
Muhammad itu manusia biasa, yang bereksistensi natural. Dia punya rasa ‘gamang’ saat di ketinggian. Tak henti Muhammad bergumam dalam hati “ada apa dengan diriku? Akan dibawa kemana aku? dan akankah aku kembali?”

Lima ratus juta kilo meter tidak hanya bumi dan bulan, tetapi matahari juga mulai ditinggalkan. Sepuluh juta kilo meter, berjuta-juta kilometer seluruh gugusan planet (super classter) mulai ditinggalkan. Ia hanya berdua dengan Jibril. Sampailah di satu tempat Jibril berhenti seraya beseru “Muhammad! Aku ini makhluk biasa! tidak sekomplek kamu manusia, silahkan teruskan perjalanan sendiri, karena aku sudah tidak kuwat lagi!”.

Sepuluh juta kilo meter, seratus juta kilo meter, berjuta-juta kilo meter Jibril mulai di tinggalkan. Sampailah Muhammad di suatu tempat yang disebut Sidrotul Muntaha. Muhammad bertemu dengan Alloh. Pertemuan dua kekasih yang bersaut salam, seperti dijelaskan dalam satu ayat yang merupakan do’a tahiyat di akhir sholat.

Mungkin selama ini kita tidak pernah mengamati secara jeli terhadap intepretasi tafsir Al-qur’an dan hadits yang lebih kompleks dan multidimensial. Semisal, kita dapat lontarkan pertanyaan sepele, apa yang dibawa Nabi Muhammad sepulang dari Sidrotul Muntaha? Yang di bawa Muhammad adalah dua hal: yang pertama adalah perintah sholat, yang kedua adalah ‘peta kebangkitan zaman’. Peta ini adalah komunitas pulau di bumi yang jika dilihat dari langit (atas) berbentuk sketsa orang yang sedang berposisi‘akhir’sholat(tahiyyat). Posisi akhir sholat adalah tahiyat akhir. Dalam posisi tahiyat akhir jika dilihat dari langit tergambar jelas bahwa lutut kiri dan lutut kanan menjorok kebarat menjadi Pacitan dan Bojonegoro. Sedangkan posisi pantat menjorok ke timur dan agak melengkung ke utara, menjadi semenanjung Blambangan dan sepanjang pesisir Sritanjung Banyuwangi. Adapun telapak kaki kanan memanjang ke timur disebelah utara badan yang menjadi Pulau Madura. Kalau Nabi Muhammad pernah berpesan bahwa ‘kebangkitan Islam akhir zaman itu di timur, maka peta itu adalah Jawa Timur’.

Tidak heran jika secara inheren Syeh Subakir jauh dari Ubyeikistan datang ke pulau Jawa ini. Sebagai bukti awal adalah kerajaan islam Demak. Dan dari sembilan wali di Jawa, lima diantaranya ada di Jawa Timur pesisir utara. Mitos orang jawa mengatakan bahwa duduknya lima wali di pesisir utara Jawa Timur befungsi sebagai pengimbang ekosistem pulau. Dimana Jawa Timur bagian selatan dihuni gunung-gunung berapi. Agar pulau Jawa tidak miring ke selatan, diimbangilah dengan wali lima di utara. Ini terbukti pulau Jawa berposisi kealaman miring ke utara dengan indikasi mengalirnya setiap aliran air yang pasti ke utara.

Hipotesa kejadian ini di perkuat dengan suatu ayat “kul ayyu syaiin akbaru syahadatan” katakanlah (Muhammad) sesuatu akan terjadi’lebih besar syahadatnya’. Indonesia terbukti sembilan puluh lima persen penduduknya beragama islam. Penduduk muslim terbesar seluruh dunia yang kemudian di ikuti India urutan kedua. Syahadat terdahsyat juga pernah dikumandangkan oleh Bung Tomo dan para pahlawan dalam mengusir penjajah dengan seruan “Allohu akbar!.”

3. Jombang

Kita dapat menggelar sejenak peta Jawa timur yang kita amati dari atas. Ada satu tempat dari bagan keseluruhan peta itu, dimana tempat itu adalah pusat dari titik koordinat yang runtut dari atas berupa fikiran(otak), mata, nafas, hati, jantung, dan sahwat dalam satu koordinat tubuh manusia. Semua item dari fikiran hingga syahwat terus terjadi sinergi konstantif yang menghasilkan transformasi nilai sepanjang hayat. Tempat ini juga sebagai “orbit” dari seluruh gerak grafitasi badan yang kemudian menjadi “watak pandang” jujugan sebagai standart sistem nilai bagi organ tubuh yang lain. Dan tempat itu adalah ‘Jombang’. Arti kata’Jombang’ dalam kamus bahasa Indonesia adalah” tanpak elok/cantik. Dalam peta Jawa timur ini, Jombang dapat kita tarik jarak posisinya berdasarkan perbandingan skala dari berbagai batas wilayah pantai di Jawa timur.

Bukan sekedar afunturis atau feodalis dalam pemahaman tulisan ini, jika kemudian tokoh-tokoh besar lahir di wilayah Jombang, yang 70% berdataran rendah dan panas ini. Sebut saja KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbulloh, KH Wahid Hasyim, KH. Romli Tamim. KH Abdurrahman Wahid, Prof. DR Nukholis Majit, Emha Ainun Nadjib yang mewakili barisan intelektual muslim. Belum lagi kyai dari pondok-pondok salaf semisal KH. Jamal dari Tambak Beras, KH. Aziz dan KH. Muhaimin dari Pacul Gowang, KH. Arif Balongrejo dan 143 pondok pesantren yang menyangga kekuatan Jombang dengan kewalian sufinya dan menjadi energi wisdom, penyangga tanah Jombang. Dan masih banyak dari para arif yang bertoriqoh sebagai wali badal yang kewaliannya tabu untuk diketahui banyak orang. Wali badal ini tersebar dengan hanya sekedar menjadi petani udik jelata (ndeso klutuk) yang diam-diam do’anya mudah terkabul dan efektif menata sejarah dan prahara.

Sementara kisah sejak lahirnya Muhammad, Isro’-Mi’roj, Demak dan Jombang dapat kita peres menjadi setangkup arti esensial. Sebagai kholifah manusia bergerak aktif menempati tugas kerasulannya sepanjang hayat. Dan kerasulan akan terhenti saat lelaku hidup sudah mati. Perjalanan nabi Muhammad adalah toriqoh sosial (syari’at) yang terus bersinergi afiliatif’toriqoh’untuk mencapai afirmasi kognitif ‘ma’rifat’. Maulid nabi Muhammad dan Isro’ adalah perjalanan sosial yang masih memerlukan dan menemui jarak pandang, ruang, waktu, nada, langkah dan situasi. Mi’roj adalah perjalanan menuju intensitas tertinggi yang non-ruang dan non-waktu.

Mengutip dari ungkapan DR. Ali Syariati “islam berbeda dengan sufisme. Seorang sufi hidup ‘dengan nama Alloh’ dan mati “demi Alloh”. Islam adalah bergerak menghampiri Alloh dan bersama dengan Alloh bergerak pula menghampiri masyarakat social”.

Kebangkitan akhir zaman adalah di Jawa Timur, dan Jombang adalah sentral penentu dari kebangkitan tersebut. Mewakili uneg-uneg warga Jombang yang notabenenya warga adalah juragan yang telah menggaji pemerintah sebagai abdi rakyat. Saya bertanya kepada semua pihak! Sejauh mana kesiapan Jombang yang akan menjadi tuan rumah hadirnya kebangkitan zaman kelak? Selayaknyalah mulai dari rakyat jelata, pejabat dan aparat di Jombang menyadari tugas kita di perubahan zaman mendatang. Amatilah ayat yang menghantarkan ke QS:12:20 atau QS:20 ayat 12 sebagai wacana simbol perubahan sosial yang terjadi tahun 2012 nanti. Muatan ma’na ayat ini menyiratkan adanya perubahan baru dalam tatanan “socity space”. Setiap pelaku sejarah dipilih berdasarkan syarat yang dilaluinya. Ruang peradaban baru itu disimbolkan dengan sebuah sinopsis “lembah suci”. Dan untuk memasukinya Jombang harus rela “mencopot sandal” atau segala macam skat mediasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar