Fahrudin Nasrulloh*
http://www.radarmojokerto.co.id/
Mojokerto tretek terusan
Kali gede dalane prahu
Dadi joko ojok adol kebagusan
Nyambut gawe sing paling perlu
Pada hari Jumat, 25 September 2009, ludruk Brawijaya ditanggap Bapak Supendik asal Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan. Hajatan Pak Supendik ini dalam rangka menyunatkan anak tunggalnya, Alvin Sugiyanto. Acara Khitanan sekaligus ruwatan dimulai bakda Jumatan dengan menampilkan paguyuban ''Cambuk Api" dengan tradisi "ujung"nya yang dipimpin Pak Pardi di Dusun Mbancang. Kelompok kesenian ''adu cambuk rotan" ini telah dirintisnya sejak tahun 1988. Hajatan itu kemudian diteruskan dengan wayang Purwakalan dengan menampilkan dalang Ki Kamim Sarpokenopo, dan malam harinya pementasan ludruk Brawijaya digelar dengan menampilkan lakon ''Wewe Putih Gandrung" yang disutradarai Sawi Gembel.
Sebagaimana biasanya, lawakan ludruk yang dipentaskan merupakan sajian paling memikat yang ditunggu-tunggu penonton. Sekitar seribuan penonton membludak dan berdusel-duselan. Puluhan penjual dari pedagang plembungan sampai Soto Lamongan terjejer panjang dari rumah penanggap hingga memanjang ke timur jalan. Pelawak Memet asal Kecamatan Kabuh, Jombang tampil pertama dengan jula-julian dan salawatan. Lalu menyembullah Wak Jambul asal Tuban yang langsung diteter Memet dengan guyonan dan tebak-tebakan. Ini mengocok perut penonton hingga terpingkal-pingkal. Dua pelawak lantas nongol, Ciplis dan dan Wulung dengan "dagelan bacokan" yang sontak membikin Wak Jambul keringetan karena ditotol berkali-kali oleh kawan-kawannya tersebut. Sungguh gembira, betapa masih saja ada bocah-bocah kampung yang terpukau dan cekakakan saat mereka asyik-larut dalam gojekan dagelan itu dan melupakan tayangan Tawa Sutra, Segeerrr, OKB dan sinetron-sinetron TV yang cengeng dan menumpulkan otak itu.
Perjalanan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah
Ludruk Brawijaya yang bermarkas di Desa Pandanarum, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, didirikan pada 16 Mei 2008 oleh Pak Mulyono dan disokong kakaknya, Abdul Fatah. Pak Mul, demikian panggilannya, lahir 7 September 1966 di Desa Pandanarum. Pada umur 19 tahun, yakni tahun 1985. Dia tertarik menyimak klenengan seni ludruk di paguyuban ludruk Sapta Mandala di Desa Centong, Kecamatan Gondang, yang saat itu dikelola oleh Pak Fatah. Sapta Mandala tidak berumur lama. Tahun 1988, ludruk ini bubar karena pengelolaannya yang bersifat organisasi, tidak berjalan dengan baik.
Pada 1987, Pak Mul bergabung dengan ludruk Sari Wijaya dari Ngoro yang dipimpin oleh Pak Rodal. Ia terus menimba pengalaman ngludruk ke banyak grup ludruk, terutama di bidang pemeranan atau penokohan yang selanjutnya ia dikenal sebagai sutradara ludruk. Sari Wijaya kemudian pecah, dan muncullah pecahannya yang bernama ludruk Perdana yang diketuai oleh Eko Supeno. Pak Mul memilih ikut ludruk Perdana dari tahun 1990 sampai 2007. Perjalanan tanggapan juga tobongan ludruk ini telah merambah dari kota ke kota seperti Malang, Surabaya, Jombang, dan Mojokerto sendiri. Ia juga sering di-job ludruk Sidik Cs, baik sebagai pemeran lakon maupun sutradara, dari tahun 1990 hingga tahun 1996.
Lahirnya ludruk Brawijaya jika dirunut bermula dari ludruk Mulya Budaya yang dirintis Abdul Fatah pada 16 Mei 2007. Sempat nama Mulya Budaya diganti nama dengan sebutan ludruk Gajah Mada. Namun ludruk ini tidak bertahan lama karena beberapa hal, lalu Pak Mul berinisiatif membentuk ludruk sendiri yang selanjutnya dirembug dengan Pak Fatah. Pak Mul berkeyakinan bahwa kemandirian dan kesolidan sebuah grup ludruk itu penting. Pendanaan dan pengaturan serta pengelolaan merupakan hal mendasar yang musti secara interen dimiliki oleh setiap grup ludruk. Dengan modal sekisar 70-an juta, ia dan dengan dukungan Pak Fatah mendirikan ludruk Brawijaya pada 16 Mei 2008. Perjuangan dan kecintaan mereka akan ludruk tampaknya semakin menguat dan terus mereka jalani sebagai bagian hidup mereka dalam berkesenian. Nama ''Brawijaya" yang dipilih menjadi satu pertanda bagaimana mereka ingin mengangkat nama Mojokerto dengan simbol-simbol kejayaan kerajaan Majapahit.
Selama setahun lebih, ludruk ini dibentuk hingga sekarang, tak kurang dari 100-an tanggapan terop yang mereka peroleh. Ini merupakan suatu prestasi yang gemilang. Kendati dalam setiap tanggapan yang rata-rata bernilai Rp 7 jutaan itu mereka sering tekor (merugi) sampai harus tombok (menalangi) sekitar 1 jutaan. Hal ini karena mereka belum sepenuhnya memiliki sarana dan peralatan transportasi ludruk yang layak. Semisal mereka belum punya inventaris berupa sound-system, satu set gamelan dan truk. Kondisi yang serba pas-pasan ini sejak awal telah disadari Pak Mul dan Pak Fatah. Lalu bagaimana mereka masih terus bisa eksis dengan kondisi yang demikian? Tujuan Pak Mul yang terpenting adalah sejauh mana masyarakat dapat mengenal dengan baik ludruk Brawijaya.
Yang kedua terkait dana talangan yang justru dirogoh dari kocek pribadi mereka sendiri. Keguyuban warga ludruk ini juga menyadari kondisi ''mepet" mereka. Maka kerap kali honor mereka rela dipotong 10 persen sampai 25 persen untuk melengkapi dana talangan itu. Semisal untuk bayaran kelas A (pelawak) Rp 300 ribu, kelas B (tokoh peran): 150 ribu, kelas C (gontok, sinden, dan wiyogo, dll) Rp. 50 ribu sampai 100 ribu. Mereka ikhlas dipotong dengan prosentase itu. Meski begitu, kesetiaan mereka dalam bentuk kedisiplinan dalam setiap tanggapan ludruk Brawijaya tetap terjaga, kecuali memang kala ludruk ini tidak ditanggap, para awak ludruk bisa saja ikut grup ludruk lain yang mentas.
Ludruk Brawijaya yang beranggotakan 63 orang, terdiri dari Wayang (tokoh peranan): Sugi, Sulkan, Wandi, Said, Wol, Kastam, Sumadi, Cahyo, Didit, dan Mondro. Tandak terdiri dari: Riska, Mamik, Rara, Dina, Menik, Diah, Mintuk, Candra, Mei, Anik, Daripah, Tini, Susi, Kesi, Tina, Suliati, dan Nuryati. Para gontok: Sariman, Edi, Juni, Yuli, dan Anam. Sinden: Sukeni. Para panjak: yang terdiri dari grup Suwari CS adalah Bambang, Warsito, Santriman, Sarno, Poniran, Ngarso, Kumadi, Sarno, dan Antok. Penata dekorasi: Sonto CS. Sound system: Fata Cs. Ketua juru gamelan: Gembur Cs. Kekompakan awak ludruk ini sungguh benar-benar diperhatikan oleh Pak Mul, lebih-lebih ia pun berpikir keras akan kesejahteraan mereka di kemudian hari.
Sosok Pak Mul sebagai seniman ludruk yang sekaligus bekerja sebagai perangkat desa di desanya sendiri telah mampu menghidupi istri dan membesarkan anak-anaknya dari penghasilan di dunia ludruk. Ia beristri Supiyatun (lahir 14 Juli 1967), sedangkan anak-anaknya: Dian Aprilia (lahir 13 Februari 1992, dari istri pertamanya bernama Fatimah yang pernah ikut grup ludruk Baru Budi), Lia Mulyana (lahir 1 Oktober 1992), Dwiki Indra Lesmana (lahir 10 Oktober 1996). Dua anak yang terakhir ini berasal dari istrinya, Supiyatun. Sebagai sutradara, Pak Mul tetap berupaya menggali kreativitas dalam menciptakan lakon-lakon ludruk, di antaranya adalah lakon: ''Tebu Berduri" yang tokoh utamanya Bajuri, ''Golok Setan", ''Pendekar Gunung Sumbing", dan yang terakhir yang sedang digarapnya adalah ''Rebutan Ajining Sandal Jepit" yang mengangkat kehidupan wong cilik yang berdesak-desakan memperjuangkan pencairan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang beberapa bulan yang lalu ramai diperdebatkan masyarakat Indonesia yang melarat dan terpinggirkan.
Sementara, sosok Abdul Fatah yang lahir pada tahun 1955, menerjuni kesenian ludruknya berawal dari mengikuti wayang kulitnya Pak Leman dari Japanan pada tahun 1969. Lalu ia masuk grup ludruk Irama Baru dari Sidoarjo yang disokong oleh Pak Yassin dari KODIM 0816 Sidoarjo yang selanjutnya pimpinan rombongan ludruk ini diurus oleh Pak Dono. Selama 10 tahun ia bergabung dengan ludruk ini, dari tahun 1970 sampai tahun 1980. Tahun 1980 hingga tahun 1985 ia bergabung dengan ludruk Massa Baru dari Jombang yang saat itu dipimpim Pak Akhmad dari Desa Pacarpeluk Kecamatan Megaluh. Lalu, tahun 1985 sampai 1987 ia masuk grup ludruk Sari Murni Jombang yang dipimpin oleh Pak Gimin dan Pak Kusnan. Selanjutnya ia mendirikan ludruk Sapta Mandala yang eksis dari tahun 1987 sampai 1992. Selain itu ia pernah terlibat dalam siaran ludruk RRI Surabaya (1992-2002), juga pernah di ludruk Karya Baru Mojokerto (2002-2007), dan yang terakhir ia bersama adiknya, Pak Mul, mengembangkan ludruk Brawijaya sejak 16 Mei 2008 hingga sekarang.
Selain sebagai pendamping Pak Mul, mata pencaharian Pak Fatah terbilang tidak jauh dari pernak-pernik di seputar dunia ludruk. Ia merupakan teknisi panggung, pembuat peraga kewan-kewanan (berbagai kostum yang berbentuk aneka macam binatang sesuai lakon ludruk yang dipilih), busana ludruk, busana manten dan tari, busana travesti, dan lain-lain. Usaha ini ia kembangkan di rumahnya bersama keluarganya dan pula tetangganya. Banyak juga pesanan dari berbagai kalangan baik dari grup-grup ludruk maupun dari masyarakat umum. Setiap busana seperti busana pengreman, yang mengandalkan ketelatenan tangan itu, ia kerjakan selama sebulan dengan ongkos pesanan 1 juta hingga 1,5 juta. Meski penghasilan ngludruk tidak seberapa, justru dari home industry inilah Pak Fatah dapat membahagiakan istrinya, Sri Muliyah, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana: Eko Siswodiono (lahir 1980), Irfan Dwi Efendi (lahir 1983, kini dosen SHS bidang perhotelan dan staf inti di Hotel Sangrila Surabaya), dan Triyuda (lahir 1992) yang masih berkuliah di jurusan Informatika Unesa Surabaya.
Ludruk Brawijaya di antara 10 grup Ludruk Lain
Menurut Pak Mul, di Mojokerto telah sejak lama bercokol banyak grup ludruk. Ada sekitar 160-an grup. Tapi kondisi tiap grup ludruk sebagaimana perkembangan jaman terus bergulat dan bertarung dengan hiburan lain terutama ketika muncul televisi swasta di tahun 1990-an yang kian menambah surutnya apresiasi masyarakat khususnya di Jawa Timur terhadap ludruk. Kini, pemerintah kabupaten, semisal di daerah Mojokerto, Jombang, dan lain-lain menerapkan sebuah aturan dalam bentuk ketertiban grup-grup ludruk agar lebih dapat diakomodasi dan diidentifikasi keberadaannya. Penerapan ini semacam pengidentifikasian induk organisasi atau kepemilikan suatu grup ludruk, sebagaimana juga jenis kesenian lain semisal grup orkes dangdut, karawitan, wayang, dan lain-lain.
Dengan adanya ketertiban tersebut di mana setiap grup ludruk harus didaftarkan di kantor dinas Porabudpar setempat, maka, menurut Pak Mul, dari keseluruhan grup ludruk di Mojokerto yang kini tercatat dengan nomor induknya masing-masing berjumlah 10 grup ludruk. Mereka adalah ludruk Brawijaya, ludruk Karya Budaya, ludruk Karya Baru, ludruk Teratai Jaya, ludruk Indah Wijaya, ludruk Cakra Wijaya, ludruk Gelora Budaya, ludruk Karya Mukti, ludruk Sekar Budaya, dan ludruk Among Budaya Roman Cs.
Tak dipungkiri bahwa setiap ludruk di era sekarang saling berpacu untuk meluaskan pengaruh dan tanggapannya dengan sajian-sajian yang inovatif dan dioptimalkan jaringan publikasinya agar tidak disoraki sebagai ludruk yang asal manggung dan karenanya bakal mengecewakan penonton. Ludruk Brawijaya juga tak ingin ketinggalan. Untuk bulan September dan Oktober 2009, mereka telah mengantongi terop sekitar sepuluhan. Angka ini sudah terbilang bagus dibanding sejumlah ludruk lain yang mungkin sejumlah itu, atau sepi sama sekali, atau bahkan lebih banyak dari itu. ''Jika ada ludruk yang sepi tanggapan, itu karena orang-orangnya sendiri yang malas nyari tanggapan. Semua awak saya juga bergerak mencari terop. Ono dino ono upo, ada tanggapan ya ada upah!" demikian seru Pak Mul pada anggotanya.
Catatan: Wawancara dilakukan pada Jumat malam, 25 September 2009 dengan Pak Mulyono dan Pak Abdul Fatah di Dusun Mbancang, Desa Pakis, Kecamatan Trowulan.
--------
*) Peminat ludruk dari Komunitas Lembah Pring Jombang
Senin, 19 Juli 2010
Ayo, Siapa Lagi yang Nanggap Ludruk Brawijaya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar