Sabrank Suparno
Pernakah kita berfikir tentang asal-muasal atau apa sebab, dan bagaimana, dan seterusnya, mengapa bisa terjadi adanya peradaban? Taruklah manusia jaman sekarang menganggap telah menemukan titik sentral atau sumbu koordinat peradaban tertinggi. Ambil satu contoh dengan penemuan teknologi sekelas google, yang dengan serta merta membentangkan provider yang benar-benar menjadikan kecepatan informasi dan ngerumpi-nya manusia dari berbagai belahan dunia.
Sisi kenyamanan akibat terkuaknya ilmu pengetahuan dan teknologi memang tak perlu dipertanyakan. Sebab jawabannya pasti hanya satu kata’idem’yakni –kemudahan-efisiensi. Tetapi kelemahan akibat yang ditimbulkan belum tentu disikapi pemakai-fasilitas kecanggihan iptek secara cermat dan bijak.
Untuk menggambarkan perkembangan peradaban kita dapat ilustratifkan pada hal yang sepele misalnya : sebuah balon yang belum tertiup, kita dapat noktahkan banyak titik. Setelah balon ditiup dan makin besar perkembangan balon, makin jauh pula jarak antar titik yang satu dengan yang lain. Titik itu bisa kita tarik ke berbagai idiom sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Pengembalian titik ke jarak posisi semula hanya akan terjadi saat balon dikempeskan lagi dan atau pada posisi kuantum.
Tak tanggung-tanggung meledaknya peradaban yang akhirnya disematkan sebagai titik sentral nilai. Munculnya astrofisikawan semisal Hughross (Amrik), Denis Yanura, Servid Hugo (Inggris) dan bahkan Steven Hoki yang dalam kancah penelitian luar angkasanya menemukan adanya kandungan hidrogen yang selalu berjumlah sama dengan unsur helium sebagai sisa ledakan besar -big bang- awal terjadinya alam semesta.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai “ruh”, peradaban akan melaju. Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 30, atau Adzariat ayat 47 telah meletakkan dasar utama sebagai referensi setiap gejala peradaban. Tahun 1948 John Gemon dari Amerika menandai adanya sisa radiasi dari ledakan besar (big bang). Tahun 1965, Penzia mengemukakan teori alumbenzias yang menyimpulkan bahwa kehidupan berasal dari keajaiban yang tersibak. Sampai pada tahun 1985 pusat penelitian luar angkasa NAZA sanggup menggemparkan kalangan astrofisikawan dengan temuan radiasinya dengan istilah “alsion” yang akan bertemu dalam satu fokus tahun 2012 nanti. Yang kesemua indikator gejala alam tersebut dapat diunduh sebagai bahan dasar replikasi bangkitnya peradaban.
Kembali pada pertanyaan di atas, apa asal-muasal atau yang menjadi genre peradaban, sehingga manusia mampu merambah peradaban yang amat mutakhir? Mungkin kita tidak menyangka dengan apa yang kemukakan Emha Ainun Nadjib dalam pertemuan Padhang Mbulan, bahwa awal terjadinya peradaban hanya karena manusia di anugerahi tulang rahang yang lemah dan dan pita suara yang lembut. Cak Nun menggambarkan secara ilustratif beda antara manusia (yang bertulang rahang lemah) dengan hewan (kera) yang bertulang rahang kuat. Kera akan memakan setiap jenis makanan berdasarkan kekuatan rahang, sehingga dalam dunia kera tidak melahirkan cara yang lebih mudah untuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Disinilah hewan tidak memerlukan peradaban. Karena rahangnya sudah cukup untuk menjadi alat memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan manusia, tulang rahangnya yang lemah membuat manusia mencerdiki suatu cara untuk mengolah makanan agar mudah dikonsumsi.
Dari rahang yang lemah inilah kemudian berkualitas pada pita suara. Timbre -warna suara- mudah di aransemen menjadi berbagai bentuk yang menghasilkan nada-nada yang indah. Tak pelak jikalau akhirnya nada itu kemudian menjadi kekuatan penunjang atas lahirnya peradaban. Keterkaitan bentuk dalam wujud yang dipengaruhi “maka” dan “karena” ini juga disinggung Emha dalam buku “Budaya Tandingnya”.
Pengelolaan rima agar serasi, pada akhirnya menusia menciptakan rumus-rumus khusus. Dalam budaya pondok pesantren dikenal dengan ilmu urud-kitab yang mempelajari tentang kerancakan nada. Dalam ilmu Urud, dapat kita tumukan istilah syair yang bersajak bahar kamil, bahar majaz dan lain-lain. Dalam ilmu jawa disebut –cengkok- atau lekuk peralihan nada.
Menurut penjelasan Mas Blotong, yang hadir dalam rekaman sholawat dengan jama’ah padhang mbulan tanggal 30 Maret 2010 mengatakan bahwa pada dasarnya penggalian ilmu nada dibedakan atas 3 dasar utama, yakni nada dasar, tangga nada, dan ritme. Blotong yang sedang mendalami ilmu seni di ISI Yogyakarta, dan sedang menempuh S2 itu juga menambahkan bahwa ilmu nada dasar diatonik yang dirumuskan dengan do, re, mi, fa, sol (7 nada dasar). Berbeda dengan ilmu nada bagi orang Timur (Asia). Orang-orang Asia mengembangkan nada diatonik ini menjadi warna baru yang disebut pentatonik (pengembangan dari diatonik). Sedangkan ukuran mayor dan minor hanyalah nada-nada bentukan.
Nada pentatonik ini tidak terdapat di dunia Barat. Dalam hubungannya dengan musik Kyai Kanjeng, Mas Jijid yang hadir di padhang mbulan juga melengkapi komentar Mas Blotong. Sebagai pakar seni, mereka menemukan keunikan dalam nada yang diperankan musisi Kyai Kanjeng. Menurut dua pakar seni dari Yogyakarta ini, Kyai Kanjeng mampu tampil atau mengalami perubahan nada dari diatonik ke pentatonik dalam perubahan yang lentur dan serasi namun padat. Kelebihan semacam inilah yang tidak ditemukan dalam alur musikalisasi pada umumnya. Artinya di dalam peramuan aransemen saja, Kyai Kanjeng kental dengan syarat pruralisme rima. Belum lagi dengan jenis musik yang digarap. Aliran musik modern –pop- hingga etnis, diusung juga oleh Kyai Kanjeng. Hal ini sebagai tanda penghubung dua kutub alur permusikan. Perlompatan tangga nada terjadi secara cepat, binal, melunjak-lunjak namun tetap menempuh ruag estetik dan etiknya. Percepatan semacam ini berbeda dengan puisi art yang dirancang Afrizal Malna. Sebagaimana golongan sastrawan yang memilih jalur penuangan puisi dengan teori percepatan, justru tidak memberikan kesempatan audiens sedikitpun mengejar pemahaman atas apa yang dibacakan. Percepatan yang diperankan Kyai Kanjeng, tetap runtut dari tiap peralihan yang memungkinkan pemirsa mampu memetik tujuan aspirasi seni yang digebyarkan.
Keunikan aransemen Kyai Kanjeng ini selaras dengan teori penyelarasan cepat yang ditemukan astrofisikawan George Elis dan Prof John Nagiv. Sebagaimana Al-Furqon ayat 2 mereka mengatakan bahwa “ serpihan yang melaju dengan percepatan tinggi akan segera menjauh”. Ada semacam pergeseran jarak yang dengan sendirinya menjauhi terjadinya benturan. Per-bentur-an yang dimaksud adalah semacam cauvimisme rujukan filsafat yang hanya baku dan ditemukan dengan cara yang sempit. Disinilah Kyai Kanjeng membeberkan keluasan pandang di berbagai lini, agar peradaban berkembang menempati ruang yang luas dan beraneka ragam.
Seniman Barat tentu tidak akan sanggup mengejar seniman Timur yang syarat dengan laras-laras pentatoniknya. Hal ini bukan sekedar nada dasar mereka yang tidak memadai, akan tetapi juga proses eliomentary Yahudi yang merasuki proses ilmu Barat. Dalam pertemuan rutin sastrawan Jombang yang penulis catat, Robin al Kautsar seorang S1 ekonom pernah mengatakan hal eliomentary Yahudi ini dalam lingkup seni (art hemogeni). Contoh sederhana semisal film-film barat selalu mengambil background orang arab atau asia sebagai peran abdi (kawula) atau peran pecundang.
Dalam kesempatan sempit diantara rekaman beberapa tembang sholawat koor yang diambil dengan jama’ah padhang mbulan, Cak Nun menyarankan pada jama’ah agar tetap rapi memenejemen lalu lintas rohani dengan intelektualitas. Manajemen demikian dimaksudkan agar dalam kreatifitas apapun kita tetap menarik hubungannya dengan nilai ke Allohan. Sesuatu yang tidak menyertakan Alloh hanya berakibat “kakean cocot”omong kosong belaka.
Pruralisme aransemen musik Kyai Kanjeng ini selaras dengan apa yang ditulis Andrew Banjamin dalam buku –Pluralism the Cosmopolitan and the Avant Garde- estetikus Inggris ini mengatakan bahwa dalam kreatifitas pluralitas terdapat dua hal sekaligus dalam satu ruang, yaitu “penyatuan” dan “esensi”. Dari sini dapat dicerna bahwa –Barat- yang hanya memiliki nada dasar diatonik itu terlalu hibridity semata.
Keunikan musik Kyai Kanjeng ini tak pelak mampu diapresiasi sebagai musisi yang tour terbanyak dalam melantunkan tembang-tembang aransemennya dan terbanyak pula negara-negara didunia yang dikunjungi dari pada kelompok musik manapun/apapun didunia.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak banyak yang merespon musik Kyai Kanjeng. Sebab pemerintah sudah mengawali kegagalannya dengan memandang sesuatu berdasarkan teori -barat- yang nota bene-nya tolok ukur barat belum tentu cocok dengan teori yang dikembangkan oleh orang-orang Timur. Pemerintah dan pelaku sejarah telah sukses menjadi tangan panjang (tentakel global) dunia –Barat di dalam melakukan pencucian otak ke-timuran.
Dari rahang manusia yang lemah sampai nada-nada pentatonik, sesungguhnya, siapapun, termasuk ilmuan barat mengetahui jikalau Timur adalah peradaban asal muasal dari segala peradaban atau dikenal dengan istilah “sangkan paran dumadi”. Tetapi barat terus menerus membalikkan fakta dengan cara mengakui bahwa Barat adalah awal lahirnya peradaban. Keberadaan inilah yang disebut bahwa orang-orang Barat terus berupaya menerbitkan matahari dari Barat. Barat selalu menentang nochturn kesadaran dan kewajaran alamiah bahwa bagaimanapun matahari hanya akan terbit dari Timur.
Pernakah kita berfikir tentang asal-muasal atau apa sebab, dan bagaimana, dan seterusnya, mengapa bisa terjadi adanya peradaban? Taruklah manusia jaman sekarang menganggap telah menemukan titik sentral atau sumbu koordinat peradaban tertinggi. Ambil satu contoh dengan penemuan teknologi sekelas google, yang dengan serta merta membentangkan provider yang benar-benar menjadikan kecepatan informasi dan ngerumpi-nya manusia dari berbagai belahan dunia.
Sisi kenyamanan akibat terkuaknya ilmu pengetahuan dan teknologi memang tak perlu dipertanyakan. Sebab jawabannya pasti hanya satu kata’idem’yakni –kemudahan-efisiensi. Tetapi kelemahan akibat yang ditimbulkan belum tentu disikapi pemakai-fasilitas kecanggihan iptek secara cermat dan bijak.
Untuk menggambarkan perkembangan peradaban kita dapat ilustratifkan pada hal yang sepele misalnya : sebuah balon yang belum tertiup, kita dapat noktahkan banyak titik. Setelah balon ditiup dan makin besar perkembangan balon, makin jauh pula jarak antar titik yang satu dengan yang lain. Titik itu bisa kita tarik ke berbagai idiom sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Pengembalian titik ke jarak posisi semula hanya akan terjadi saat balon dikempeskan lagi dan atau pada posisi kuantum.
Tak tanggung-tanggung meledaknya peradaban yang akhirnya disematkan sebagai titik sentral nilai. Munculnya astrofisikawan semisal Hughross (Amrik), Denis Yanura, Servid Hugo (Inggris) dan bahkan Steven Hoki yang dalam kancah penelitian luar angkasanya menemukan adanya kandungan hidrogen yang selalu berjumlah sama dengan unsur helium sebagai sisa ledakan besar -big bang- awal terjadinya alam semesta.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai “ruh”, peradaban akan melaju. Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 30, atau Adzariat ayat 47 telah meletakkan dasar utama sebagai referensi setiap gejala peradaban. Tahun 1948 John Gemon dari Amerika menandai adanya sisa radiasi dari ledakan besar (big bang). Tahun 1965, Penzia mengemukakan teori alumbenzias yang menyimpulkan bahwa kehidupan berasal dari keajaiban yang tersibak. Sampai pada tahun 1985 pusat penelitian luar angkasa NAZA sanggup menggemparkan kalangan astrofisikawan dengan temuan radiasinya dengan istilah “alsion” yang akan bertemu dalam satu fokus tahun 2012 nanti. Yang kesemua indikator gejala alam tersebut dapat diunduh sebagai bahan dasar replikasi bangkitnya peradaban.
Kembali pada pertanyaan di atas, apa asal-muasal atau yang menjadi genre peradaban, sehingga manusia mampu merambah peradaban yang amat mutakhir? Mungkin kita tidak menyangka dengan apa yang kemukakan Emha Ainun Nadjib dalam pertemuan Padhang Mbulan, bahwa awal terjadinya peradaban hanya karena manusia di anugerahi tulang rahang yang lemah dan dan pita suara yang lembut. Cak Nun menggambarkan secara ilustratif beda antara manusia (yang bertulang rahang lemah) dengan hewan (kera) yang bertulang rahang kuat. Kera akan memakan setiap jenis makanan berdasarkan kekuatan rahang, sehingga dalam dunia kera tidak melahirkan cara yang lebih mudah untuk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Disinilah hewan tidak memerlukan peradaban. Karena rahangnya sudah cukup untuk menjadi alat memenuhi kebutuhannya. Berbeda dengan manusia, tulang rahangnya yang lemah membuat manusia mencerdiki suatu cara untuk mengolah makanan agar mudah dikonsumsi.
Dari rahang yang lemah inilah kemudian berkualitas pada pita suara. Timbre -warna suara- mudah di aransemen menjadi berbagai bentuk yang menghasilkan nada-nada yang indah. Tak pelak jikalau akhirnya nada itu kemudian menjadi kekuatan penunjang atas lahirnya peradaban. Keterkaitan bentuk dalam wujud yang dipengaruhi “maka” dan “karena” ini juga disinggung Emha dalam buku “Budaya Tandingnya”.
Pengelolaan rima agar serasi, pada akhirnya menusia menciptakan rumus-rumus khusus. Dalam budaya pondok pesantren dikenal dengan ilmu urud-kitab yang mempelajari tentang kerancakan nada. Dalam ilmu Urud, dapat kita tumukan istilah syair yang bersajak bahar kamil, bahar majaz dan lain-lain. Dalam ilmu jawa disebut –cengkok- atau lekuk peralihan nada.
Menurut penjelasan Mas Blotong, yang hadir dalam rekaman sholawat dengan jama’ah padhang mbulan tanggal 30 Maret 2010 mengatakan bahwa pada dasarnya penggalian ilmu nada dibedakan atas 3 dasar utama, yakni nada dasar, tangga nada, dan ritme. Blotong yang sedang mendalami ilmu seni di ISI Yogyakarta, dan sedang menempuh S2 itu juga menambahkan bahwa ilmu nada dasar diatonik yang dirumuskan dengan do, re, mi, fa, sol (7 nada dasar). Berbeda dengan ilmu nada bagi orang Timur (Asia). Orang-orang Asia mengembangkan nada diatonik ini menjadi warna baru yang disebut pentatonik (pengembangan dari diatonik). Sedangkan ukuran mayor dan minor hanyalah nada-nada bentukan.
Nada pentatonik ini tidak terdapat di dunia Barat. Dalam hubungannya dengan musik Kyai Kanjeng, Mas Jijid yang hadir di padhang mbulan juga melengkapi komentar Mas Blotong. Sebagai pakar seni, mereka menemukan keunikan dalam nada yang diperankan musisi Kyai Kanjeng. Menurut dua pakar seni dari Yogyakarta ini, Kyai Kanjeng mampu tampil atau mengalami perubahan nada dari diatonik ke pentatonik dalam perubahan yang lentur dan serasi namun padat. Kelebihan semacam inilah yang tidak ditemukan dalam alur musikalisasi pada umumnya. Artinya di dalam peramuan aransemen saja, Kyai Kanjeng kental dengan syarat pruralisme rima. Belum lagi dengan jenis musik yang digarap. Aliran musik modern –pop- hingga etnis, diusung juga oleh Kyai Kanjeng. Hal ini sebagai tanda penghubung dua kutub alur permusikan. Perlompatan tangga nada terjadi secara cepat, binal, melunjak-lunjak namun tetap menempuh ruag estetik dan etiknya. Percepatan semacam ini berbeda dengan puisi art yang dirancang Afrizal Malna. Sebagaimana golongan sastrawan yang memilih jalur penuangan puisi dengan teori percepatan, justru tidak memberikan kesempatan audiens sedikitpun mengejar pemahaman atas apa yang dibacakan. Percepatan yang diperankan Kyai Kanjeng, tetap runtut dari tiap peralihan yang memungkinkan pemirsa mampu memetik tujuan aspirasi seni yang digebyarkan.
Keunikan aransemen Kyai Kanjeng ini selaras dengan teori penyelarasan cepat yang ditemukan astrofisikawan George Elis dan Prof John Nagiv. Sebagaimana Al-Furqon ayat 2 mereka mengatakan bahwa “ serpihan yang melaju dengan percepatan tinggi akan segera menjauh”. Ada semacam pergeseran jarak yang dengan sendirinya menjauhi terjadinya benturan. Per-bentur-an yang dimaksud adalah semacam cauvimisme rujukan filsafat yang hanya baku dan ditemukan dengan cara yang sempit. Disinilah Kyai Kanjeng membeberkan keluasan pandang di berbagai lini, agar peradaban berkembang menempati ruang yang luas dan beraneka ragam.
Seniman Barat tentu tidak akan sanggup mengejar seniman Timur yang syarat dengan laras-laras pentatoniknya. Hal ini bukan sekedar nada dasar mereka yang tidak memadai, akan tetapi juga proses eliomentary Yahudi yang merasuki proses ilmu Barat. Dalam pertemuan rutin sastrawan Jombang yang penulis catat, Robin al Kautsar seorang S1 ekonom pernah mengatakan hal eliomentary Yahudi ini dalam lingkup seni (art hemogeni). Contoh sederhana semisal film-film barat selalu mengambil background orang arab atau asia sebagai peran abdi (kawula) atau peran pecundang.
Dalam kesempatan sempit diantara rekaman beberapa tembang sholawat koor yang diambil dengan jama’ah padhang mbulan, Cak Nun menyarankan pada jama’ah agar tetap rapi memenejemen lalu lintas rohani dengan intelektualitas. Manajemen demikian dimaksudkan agar dalam kreatifitas apapun kita tetap menarik hubungannya dengan nilai ke Allohan. Sesuatu yang tidak menyertakan Alloh hanya berakibat “kakean cocot”omong kosong belaka.
Pruralisme aransemen musik Kyai Kanjeng ini selaras dengan apa yang ditulis Andrew Banjamin dalam buku –Pluralism the Cosmopolitan and the Avant Garde- estetikus Inggris ini mengatakan bahwa dalam kreatifitas pluralitas terdapat dua hal sekaligus dalam satu ruang, yaitu “penyatuan” dan “esensi”. Dari sini dapat dicerna bahwa –Barat- yang hanya memiliki nada dasar diatonik itu terlalu hibridity semata.
Keunikan musik Kyai Kanjeng ini tak pelak mampu diapresiasi sebagai musisi yang tour terbanyak dalam melantunkan tembang-tembang aransemennya dan terbanyak pula negara-negara didunia yang dikunjungi dari pada kelompok musik manapun/apapun didunia.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak banyak yang merespon musik Kyai Kanjeng. Sebab pemerintah sudah mengawali kegagalannya dengan memandang sesuatu berdasarkan teori -barat- yang nota bene-nya tolok ukur barat belum tentu cocok dengan teori yang dikembangkan oleh orang-orang Timur. Pemerintah dan pelaku sejarah telah sukses menjadi tangan panjang (tentakel global) dunia –Barat di dalam melakukan pencucian otak ke-timuran.
Dari rahang manusia yang lemah sampai nada-nada pentatonik, sesungguhnya, siapapun, termasuk ilmuan barat mengetahui jikalau Timur adalah peradaban asal muasal dari segala peradaban atau dikenal dengan istilah “sangkan paran dumadi”. Tetapi barat terus menerus membalikkan fakta dengan cara mengakui bahwa Barat adalah awal lahirnya peradaban. Keberadaan inilah yang disebut bahwa orang-orang Barat terus berupaya menerbitkan matahari dari Barat. Barat selalu menentang nochturn kesadaran dan kewajaran alamiah bahwa bagaimanapun matahari hanya akan terbit dari Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar