Kamis, 19 Agustus 2021

Membaca Pulau Tanpa Cinta Karya Jasni Matlani

Sunu Wasono *
 
Sebuah novel ditulis sastrawan untuk tujuan tertentu: mengekspresikan diri (penulis), menghibur pembaca, mempropagandakan (program, ideologi), mengkritik lembaga, mengkritik (tingkah laku) penguasa (yang korup, tamak, bengis, otoriter). Dengan tujuan apa pun, karya sastra pada dasarnya membutuhkan pembaca. Oleh karena itu, hampir tidak ada seorang sastrawan yang menulis hanya untuk diri-sendiri.
 
Naskah “Memang Jodoh” karya akhir Marah Rusli, misalnya, setelah sekian lama tersimpan, akhirnya —atas sejumlah pertimbangan— diterbitkan juga.[1] Pertimbangan itu antara lain pastilah dilandasi oleh pemikiran agar gagasan yang terkandung di dalam novel tersebut diketahui pembaca meskipun dari aspek tertentu Memang Jodoh bisa dipandang sebagai upaya pribadi Marah Rusli untuk menjelaskan mengapa dirinya menikahi gadis Sunda dan menolak jodoh yang disediakan orangtua serta kerabatnya di Padang. Begitu diterbitkan sebagai buku, kisah dalam Memang Jodoh menjadi milik publik. Pengalaman pribadi Marah Rusli seakan (juga) menjadi pengalaman pembaca.
 
Dalam konteks itu, sebuah karya sastra, khususnya novel, justru memperlihatkan kekayaan maknanya ketika tidak direduksi sebagai pengalaman pribadi penulisnya semata. Niat dan maksud pribadi penulis tidak menjadi ukuran untuk menentukan harga (makna) dari sebuah karya sastra. Pembaca mempunyai hak untuk memberi makna pada karya yang dibacanya. Di tangan pembaca, bisa jadi karya sastra seakan menjauh dari niat penulisnya dan mendekat pada (tafsir) pembaca, baik pembaca yang “akrab” maupun “jauh” dari realitas yang dirujuk karya itu. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa mendekat dan menjauhnya karya pada pembaca tidak semata-mata dikaitkan dengan kualitas karya itu, tetapi juga berkaitan dengan sikap (keaktifan) pembaca.
 
Bagaimanapun, untuk menyingkap makna karya sastra, dibutuhkan keaktifan pembaca. Di sinilah letak soalnya ketika kita berhadapan dengan Pulau Tanpa Cinta karya Jasni Matlani. Bagaimanapun novel ini berpijak pada tempat asal karya itu berada. Persoalan-persoalan yang diusung dalam karya itu adalah persoalan-persoalan yang “hidup” di lingkungan diterbitkannya karya ini. Jasni Matlani adalah sastrawan Mayasia kelahiran Kampung Kebatu, Beafourt, Kedah , Malaysia pada 16 November 1962. Ia mulai menulis secara serius pada 1982. Penulis serbabisa dan produktif ini telah menghasilkan ratusan puisi, puluhan cerpen dan esai, serta beberapa novel. Karya tersebut telah dihimpun antara lain dalam tiga kumpulan puisi (Kabus, Skrip Aneh, Dongeng Perkebunan), tujuh kumpulan cerpen (Dunia Iris, Hujan Putih, Laron, Cerita Kota Kami, Negeri Malam, Pemburu Matahari, Pembunuh Anarki), tiga novel (Cinta Lestari, Burung Merah, dan Pulau Tanpa Cinta). Ia juga menerbitkan kumpulan esainya yang diberinya judul Refleksi. Sebuah buku yang berupa panduan menulis, Cara Mudah Menghayati dan Menulis Cerpen juga telah diterbitkan. Penerima SEA Write Award 2015 ini dikenal sangat progresif di Kedah. Ia menjadi pegiat sastra di Kedah dan tergabung dalam Ikatan Penulis Kedah. Bersama sejumlah penulis Indonesia, ia menjadi penggagas berdirinya Perhimpunan Sastrawan Budyawan Negara Serumpun (PSBNS).
 
Pulau Pandora —latar tempat atau arena permainan tokoh-tokoh rekaaan yang diciptakan penulis— dengan segala aspek yang melingkupinya berada jauh nun di sana. Terus terang, saya sebagai pembaca memiliki keterbatasan dalam menghadapi novel ini. Saya belum akrab dengan latar dan segala persoalan yang muncul di sana. Hal ini akan membawa implikasi tersendiri. Namun, untunglah karya sastra memperlihatkan sisi universalitasnya di samping menunjukkan kekhasan dan keeratannya dengan persoalan-persoalan tempat dilahirkannya karya itu. Dalam konteks itu, saya akan menempatkan diri sebagai orang awam dalam membaca dan menikmati novel ini. Apa pun catatan yang saya berikan di sini adalah hasil dari pertemuan langsung saya dengan Pulau Tanpa Cinta. Saya tidak disaranai tulisan/tinjauan orang (sebelumnya) lain.
 
Secara tematik novel setebal 382 halaman —384dengan biodata penulis— ini berbicara tentang kekejaman suatu rezim di Pulau Pandora yang sekilas seakan-akan menuntut pemahaman pembacanya, khususnya terkait dengan “fakta” atau “realitas” yang dirujuk. Masalahnya, Pulau Pandora sebagai nama latar dalam kisah ini merujuk ke (negara) mana? Tentu saja sebagai pembaca, kita bisa menebak dan menduga-duga, tetapi apakah hal itu diperlukan. Barangkali yang tepat adalah memperlakukan karya ini sebagai barang rekaan yang terbuka untuk ditafsirkan.
 
Nama Pulau Pandora pastilah bukan nama yang sebenarnya. Dalam konteks itu, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, menganggap novel ini sebagai karya imajinatif yang bisa mengait/dikaitkan dengan realitaa di mana pun merupakan jalan yang aman daripada menganggapnya sebagai fiksi yang sarat dengan kejadian faktual yang hanya berlaku, relevan, dan tepat untuk dikaitkan dengan peristiwa tertentu di suatu tempat tertentu. Dengan demikian, tak ada beban untuk mengusut fakta apa pun ketika seorang penikmat dan pengkaji “membaca” karya ini sebab yang terlukis dalam novel ini adalah sesuatu yang bisa saja terjadi dan berlaku di mana pun. Perilaku penguasa yang tamak dan lalim sebagaimana terlukis dalam Pulau Tanpa Cinta tidak hanya (mungkin) terjadi di wilayah Pulau Pandora —apa pun yang dimaksudkan penulis— tetapi juga bisa terjadi di mana pun di bumi ini. Berangkat dari sinilah, saya akan mencoba untuk mengulas novel ini.
***
 
Pulau Tanpa Cinta berkisah tentang seorang penulis yang mengalami tekanan dan tindakan represif dari penguasa Pulau Pandora. Kisah dibuka dengan adegan ditangkapnya seorang penulis (Muhammad Iqbal) —narator yang dalam novel ini menyebut diri Aku— yang tengah menikmati minuman capucino di bawah sinar cahaya rembulan di sebuah kafe di Pulau Pandora bagian selatan. Ia ditangkap oleh orang-orang upahan Tuan Presiden —dalam kisah ini mereka disebut serigala— dan dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya. Dalam perjalanan menuju lokasi itu, ia teringat pada masa kecilnya di kampung bersama neneknya. Ingatan-ingatan itu muncul sebagai kisah tentang dirinya: mulai dari masa kecil di kampung, masa sekolah, hingga ia menjadi penulis yang dibenci Tuan Presiden di Pulau Pandora.
 
Dikisahkan bahwa Aku terlahir dari seorang ibu yang menikah pada usia muda (13 tahun). Yang berperan besar dalam pembentukan jiwa dan karakter Aku adalah neneknya. Sejak kecil ia tinggal bersama neneknya yang penuh kasih sayang (h. 34—35). Saat masih kecil, Aku menderita sakit berkepanjangan. Ia menangis terus dan baru diam saat ia tidur. Kondisi seperti inilah yang membuatnya tidak tinggal bersama ayah dan ibunya. Menurut kepercayaan orang kampung, ia tidak serasi dengan ayah-ibunya. Oleh karena itu, ia harus tinggal dan dirawat oleh orang lain. Khawatir akan mendapat perlakuan kurang baik apabila tingggal dan dipelihara orang lain yang bukan famili, sang nenek mengasuhnya.
 
Di bawah didikan nenek, ia menjalani kehidupan sehari-hari sebagai anak kampung yang jauh dari kemewahan. Kampung Aku terpencil dan berada di Pulau Pandora selatan, tepatnya di pinggir sungai yang airnya mengalir jernih dan dikelilingi hutan. Di kampung ini ia tumbuh sebagai anak yang tidak menyerah dengan keadaan. Ia memiliki cita-cita mulia, yakni menjadi seorang penulis. Ternyata apa yang diinginkannya tercapai. Ketika cita-cita itu terwujud (berhasil), ia mendapati realita baru: harus berhadapan dengan tangan besi penguasa Pulau Pandora, yaitu Tuan Presiden.
 
Apa yang membuat Aku dibenci Tuan Presiden sehingga ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan? Tidak lain karena ia berani mengkritik Tuan Presiden melalui karya-karyanya (h.44). Lewat karya-karyanya ia telah merekam kejahatan Tuan Presiden di Pulau Pandora (h. 52). Aku adalah seorang penulis yang berani dan idealis. Katanya, “Penulis yang berani akan terus hidup seperti matahari yang muncul pada setiap pagi, selepas melalui perjalanan malam yang panjang.” (h. 47—48). Ditambahkannya bahwa ia harus menjadi penulis yang berani menyatakan kebenaran pada dunia dan tidak takut terhadap kekejaman politik. Sikap inilah yang membuat dia mendapat sebutan (digelari) penulis terkutuk yang jahanam. Sikapnya yang berseberangan dengan kehendak Tuan Presiden di Negeri Malam[2] (nama Negara di Pulau Pandora) mengakibatkan ia harus meringkuk di dalam tahanan.
 
Selama dalam tahanan orang upahan Tuan Presiden, Aku disiksa secara kejam dan diinterogasi. Bermacam-macam pertanyaan diajukan kepadanya. Namun, jawaban apa pun yang diberikan, direspon serigala upahan Tuan Presiden dengan siksaan yang lebih kejam. Akibatnya, ia pingsan. Dalam kondisi semacam itu, ia (jiwanya) seakan melayang dan masuk ke dunia lain, dunia yang diselimuti kabut. Ia bertemu dengan Manora, wanita-penyair yang sangat ia kagumi. Mereka mengadakan perjalanan menuju hutan lebat yang dijaga ahli sihir. Konon di tempat ini banyak orang bersembunyi, menghindar dari kekejaman Tuan Presiden. Orang-orang yang berseberangan dengan Tuan Presiden, juga para penjahat, berada di sini untuk berlindung dari kejaran Tuan Presiden. Di sini Aku dan Manora menemukan pemandangan aneh. Misalnya saat melintasi kampung, mereka dilempari batu anak-anak. Mereka —anak-anak itu— sangat menikmati dan merasa tidak bersalah atas ulahnya itu.
 
Ada perdebatan antara Manora dan Aku terkait dengan fenomena itu. Muncullah sejumlah nama (Shakespeare, Sayidina Abubakar, Nabi Muhammad SAW) dalam perdebatan mereka tentang perilaku anak-anak itu. Di tempat ini pula ia bertemu dengan lelaki tua. Dari perbincangan mereka dengan orang tua diketahuilah bahwa sebelum Aku datang ke situ, sudah ada penulis lain yang datang pula untuk bersembunyi.
 
Melalui dunia itu pula, kisah-kisah yang terkait dengan hubungan Aku-Manora dan percintaan Aku dengan perempuan sebelumnya (Mazilah) diceritakan. Manora adalah seorang perempuan yang tadinya bekerja di surat kabar, tetapi akhirnya keluar karena media itu menjadi alat Tuan Presiden. Lalu ia pun bergabung dengan Partai Gerakan Rakyat. Setelah pemimpin partai ditangkap Tuan Presiden, Manora menyamar sebagai penyair dan menulis sejumlah puisi. Dalam pandangan Aku, Manora adalah penyair terbaik di Pulau Pandora.
 
Pendek kata, adegan penyekapan dan penyiksaan Aku oleh serigala suruhan Tuan Presiden melahirkan kisah-kisah yang terkait dengan riwayat hidup Aku sejak kecil hingga menjadi penulis tenar di Pulau Pandora serta perjuangan dia bersama Manora dalam melawan kekejaman Tuan Presiden. Di samping itu, adegan itu telah melahirkan juga kisah-kisah tentang kekejaman Tuan Presiden sebagaimana dikisahkan dalam Negeri Malam —karya Aku— yang di dalamnya disisipkan 18 dongeng yang kesemuanya sarat dengan sindiran terhadap Tuan Presiden.
 
Kisah akhirnya ditutup dengan penggambaran Aku yang masih dalam kurungan serigala upahan Tuan Presiden. Meskipun fisiknya sudah dalam kondisi hancur, ia merasa bahwa jiwanya masih hidup. Ia tidak takut karena (dengan siksaan-siksaan yang dialaminya) ia telah menaklukkan ketakutannya. Ia akan terus berjuang untuk menggerakkan hati Tuan Presiden agar kembali kepada keadilan, kejujuran, dan kebenaran. Di ujung cerita, Aku pun berucap, “Aku percaya, seni dan sastera lebih abadi, lebih mendalam menghubungkan masa hadapan daripada politik atau ekonomi yang sentiasa berubah.” Sebuah keyakinan yang menyatakan idealisme dan optimisme penulis.
***
 
Itulah kurang lebih garis besar kisah Pulau Tanpa Cinta. Sengaja saya deskripsikan agak panjang lebar kisah novel ini agar terbayang bagaimana Matlani mengemas apa yang hendak diutarakannya lewat novel. Dari deskripsi yang mirip penceritaan kembali itu terlihat betapa kisah ini tersusun berlapis-lapis. Pulau Tanpa Cinta menampilkan tokoh Aku (Muhammad Iqbal) sebagai narator sekaligus pelaku yang terlibat dalam kisah yang dituturkannya. Cara bertutur dengan menampilkan tokoh Aku yang sepenuhnya terlibat dalam kisah tentu membawa konsekuensi tersendiri. Yang jelas tidak ada kisah sekecil apa pun yang tidak melibatkan atau luput dari pantauan tokoh Aku. Di sini Aku hadir dan melaporkan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialaminya. Jadi, yang tampil di hadapan kita sebagai pembaca adalah segala sesuatu yang tertangkap dan diketahui Aku. Apa pun yang dikisahkan Aku tentang kejadian atau orang-orang yang mengenal atau dikenal Aku tidak terlepas dari pandangan subjektif Aku. Sepanjang kisah, khususnya pada bagian bukan dongeng, Aku sebagai pencerita harus senantiasa hadir untuk berkisah dan menyampaikan sikap subjektifnya pada pembaca.
 
Di sinilah kepiawaian Matlani diuji dan terlihat. Tampaknya ia tidak kehilangan akal dan tak kehabisan bahan untuk menyajikan kisah melalui mulut Aku (Iqbal), tokoh rekaan yang diciptakannya. Tokoh Aku yang terus-menerus dalam siksaan fisik serigala upahan Tuan Presiden tidak kehabisan stamina untuk bertutur, bahkan ketika yang bersangkutan dalam kondisi tak sadar masih sanggup menuturkan pengalamannya. Dalam konteks itu, patutlah Matlani diacungi jempol sebab ia seperti tak kehabisan strategi bercerita. Ketika tokoh utama novel ini “hilang” kesadarannya ia ciptakan kisah “petualangan” Aku di alam ketidaksadaraanya. Pada bagian ini justru ia manfaatkan untuk menyingkap kisah/peristiwa sebelum penangkapan tokoh Aku. Munculnya tokoh lain, seperti Manora, dalam novel ini justru disaranai peristiwa/kisah yang berlangsung di jagat ketidaksadaran tokoh Aku.
 
Hebatnya, Matlani bisa menjaga keeratan dan keutuhan peristiwa yang dilukiskannya lewat penuturan tokoh Aku meskipun peristiwa yang digambarkannya terjadi di alam sadar dan ketidaksadaran tokoh Aku. Keluar-masuk tokoh Aku ke dunia sadar-tak sadar atau ulang-alik peristiwa dari dan ke dunia sadar dan tak sadar dalam novel ini terlukis dan tertata sedemikian rapi sehingga secara keseluruhan bangunan cerita terjaga keutuhannya.
 
Saya kira keunggulan karya ini terletak di situ. Kelebihan lainnya terletak pada kesanggupan Matlani melukiskan tokoh secara irit dan bertahap. Tokoh tidak serta-merta hadir, lengkap dengan ciri dan karakternya, di hadapan kita. Tokoh Aku yang dalam kisah ini bertindak sebagai narator baru ditunjukkan namanya setelah perkenalan dan aksi tokoh itu, khususnya terkait dengan penangkapan yang dilakukan oleh orang upahan Tuan Presiden, berlangsung sekian lama. Nama Muhammad Iqbal yang tidak lain adalah Aku —sang narator— baru dimunculkan Matlani di halaman 48.
 
Kejadian-kejadian yang berkaitan dengan tokoh Aku pun dimunculkan secara bertahap di sela-sela kisah penangkapan dan penyiksaan tokoh Aku. Penyisipan cerita ke cerita utama penangkapan dan penyiksaan tokoh Aku sedikit demi sedikit mengisi dan membentuk cerita bulat tentang Aku. Kisah-kisah dengan informasi yang menyertainya membentuk sulaman/anyaman cerita sehingga merata di keseluruhan cerita.
 
Memasuki halaman 152, Matlani menambahkan dongeng —ada 18 dongeng— ke dalam kisah utama yang tampaknya berfungsi untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang perilaku dan kekejaman Tuan Presiden. Dongeng-dongeng itu dikatakan tokoh Aku sebagai bagian dari novel Negeri Malam yang membuat ia dijebloskan oleh orang upahan Tuan Presiden ke dalam tahanan.[3] Sebuah dongeng umumnya berkisah tentang orang-orang atau tokoh-tokoh di masa lalu yang jauh dari kehidupan kini. Namun, tampaknya hal itu tidak berlaku di dalam novel ini.
 
Dongeng yang dimasukkan dalam kisah ini adalah dongeng-dongeng yang dikaitkan dengan Tuan Presiden. Jika dikaitkan dengan tema kisah, dongeng-dongeng ini tampaknya berfungsi menjelaskan siapa dan bagaimana tindakan Tuan Presiden. Bagaimana Tuan Presiden bertindak otoriter, menganggap penulis sebagai musuh, melihat sesuatu dengan mata sebelah, dan lain-lain dikisahkan di bagian ini.
 
Kisah atau dongeng yang sarat sindiran itu rupanya tidak selalu dituturkan oleh pencerita Akuan, tetapi juga oleh pencerita lain, bahkan kelihatannya hanya pada Dongeng 1 pencerita Akuan hadir. Selebihnya (dongeng-dongeng lainnya), disampaikan oleh pencerita Diaan. Di sini terjadi perubahan sudut pandang karena penutur dongeng adalah orang ketiga yang berdiri di luar arena. Namun, siapa pun penceritanya, kisah yang disampaikan masih berkisar pada kehidupan Tuan Presiden. Dengan demikian, sindiran-sindiran yang hadir di situ juga ditujukan atau terkait dengan perilaku Tuan Presiden.
 
Diperlukan 224 halaman (h. 152—376) untuk menampung 18 dongeng. Jumlah dongeng sebanyak itu, yang menghiasi novel Negeri Malam karya Aku yang menyebabkan ia meringkuk dalam tahanan serigala upahan Tuan Presiden, muncul dalam lamunan dan ingatan Aku saat yang bersangkutan berada dalam cengkeraman serigala upahan Tuan Presiden. Menimbang porsi yang disediakan untuk menuturkan dongeng sebanyak itu, rasanya tidaklah tepat bila bagian ini disebut sisipan belaka sebab kisah sebelumnya (non-dongeng) “hanya” mendapat ruang 151 halaman untuk menampung 7 subjudul (bagian). Jika ditambah bagian penutup yang ditempatkan di belakang —setelah dongeng 18— maka menjadi 8 subjudul (bagian).
 
Jadi, secara keseluruhan novel ini terdiri atas 26 bagian (subjudul), 18 bagian di antaranya diisi dongeng tentang Pulau Pandora yang di situ nama Tuan Presiden senantiasa disebut. Saya lebih senang menyebut bagian ini sebagai kisah tambahan, bukan sisipan, yang tidak terpisahkan dari bagian sebelum dan sesudahnya. Secara tematik kisah di bagian dongeng fungsional. Mengingat bagian itu erat dengan bagian sebelum dan sesudahnya, kiranya juga tidak tepat disebut sebagai “isi” yang “dibingkai” oleh kisah sebelum dan sesudahnya.
***
 
Sampai di sini pembicaraan masih berkisar pada teknik penyajian. Aspek tematik novel ini belum disinggung. Jika ditelusuri lewat penuturan tokoh Aku, jelaslah bahwa persoalan yang disorot dalam novel ini adalah kebengisan Tuan Presiden, penguasa Pulau Pandora. Seluruh kisah ini sebenarnya bertumpu pada apa yang dilakukan Tuan Presiden dan orang-orang upahannya serta apa yang dialami/dirasakan Aku dari kelakuan penguasa Pulau Pandora tersebut. Bagian non-dongeng jelas mengisahkan proses tertangkapnya Aku oleh orang upahan Tuan Presiden, sedangkan bagian dongeng mengisahkan perilaku Tuan Presiden sebagaimana tersurat dalam dongeng yang dikenal oleh penduduk Pulau Pandora. Baik 7 bagian di depan, 18 dongeng, maupun satu bagian penutup cerita berkisah tentang Tuan Presiden: perilaku, sikap, dan sifat atau karakternya yang keseluruhannya mencitrakan pribadi tanpa cinta, arogan, tamak, dan bengis.
 
Novel —apa pun gaya penyampaiannya— pastilah berpijak/berakar pada realitas tertentu. Di sini muncul pertanyaan: siapakah Tuan Presiden dan Pulau Pandora itu? Penulis novel ini sengaja tidak menyebut nama tertentu. Ia memilih jalan penyamaran, khususnya untuk tokoh-tokoh jahat seperti Tuan Presiden dan orang-orang upahannya. Ia lebih senang menyebutkan perangai tokoh itu daripada menyebut nama tertentu. Pembaca yang akrab dengan sastra Malaysia tentulah lebih bisa merasakan sindiran-sindiran yang terdapat dalam 18 dongeng pada novel ini dan bisa membayangkan siapa orang-orang yang muncul dalam kisah ini.
 
Saya yang tidak memiliki referensi yang cukup tentang Malaysia rasanya tidak cukup mantap —walaupun ada sejumlah isyarat dalam novel, seperti penyebutan tahun kemerdekaan dan adanya menara kembar, misalnya— untuk mengatakan bahwa Pulau Pandora tidak lain adalah Malaysia dan Tuan Presiden adalah orang yang paling berkuasa pada suatu masa di negeri jiran itu. Kalaupun “tebakan” itu benar, masih ada hal lain, yakni persoalan-persoalan yang dibincangkan antartokoh, khususnya dialog Manora dengan Aku, yang —bagaimanapun— kurang terhayati dengan baik. Oleh karena itu, rasanya lebih tepat bila persoalan-persoalan yang muncul dalam novel ini saya keluarkan dari bingkai dan konteks Malaysia untuk kemudian ditempatkan dalam konteks yang lebih luas.
 
Bagaimanapun, ide yang terusung dan terlukiskan dalam karya sastra, khususnya novel, universal sifatnya. Dalam konteks itulah, saya kira apa yang digambarkan Matlani dalam Pulau Tanpa Cinta bisa terjadi di mana-mana. Maksudnya, ketamakan dan kebengisan seorang penguasa seperti yang tergambar dalam novel ini bisa berlaku atau muncul di tempat atau negara mana pun, termasuk Indonesia. Dalam konteks banyaknya pejabat di Indonesia yang masuk bui beberapa tahun ini, rasanya apa yang dilukiskan Matlani dalam Pulau Tanpa Cinta sangat relevan dengan keadaan di negara kita. Ketamakan dan kesombongan tokoh-tokoh yang terlukis dalam novel itu juga dijumpai atau terjadi di negeri ini.
 
Sepanjang masa tema yang muncul atau digarap sastrawan rasanya berkisar pada masalah yang itu-itu juga. Masalah yang dihadapi dan melekat pada kehidupan manusia berkisar pada soal cinta, kebebasan, kemiskinan, religiusitas, kesewenang-wenangan, keserakahan, kemunafikan. Masalah-masalah itu pulalah yang senantiasa diusung sastrawan dalam karya-karyanya, baik yang lahir di masa lalu maupun kini. Yang senantiasa bergerak dan membedakan tentulah bagaimana penggarapan masalah-masalah tersebut dalam karya sastra. Dengan kata lain, kalau karya sastra bisa dipandang dari dua aspek: bentuk dan isi, sesungguhnya yang senantiasa dinantikan pembaca adalah hadirnya cara penyajian (bentuk) yang “baru”, dalam arti yang berbeda atau khas, dari karya yang dibaca sebelumnya.
 
Dalam konteks itu, saya sudah berusaha menunjukkan kelebihan Pulau Tanpa Cinta pada tulisan ringkas ini. Seperti disinggung sebelumnya, dalam pandangan saya, kekuatan novel ini terletak pada strategi penulis dalam menata peristiwa yang muncul dari aksi para tokoh rekaan yang diciptakan Matlani. Kalaupun ada yang perlu mendapat catatan khusus, barangkali soal tempo cerita. Secara keseluruhan kisah memang utuh dan bulat, tetapi ada aspek yang terlewatkan pada kisah ini, yakni tempo kisah yang terkesan lamban. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sesungguhnya hal ini merupakan konsekuensi dari model pengisahan yang menempatkan tokoh Aku sebagai narator yang tak bisa berpisah atau mengambil jarak dengan apa yang dikisahkan.
 
Akhirnya, tantangan bagi pembaca novel ini adalah kesabaran. Dibutuhkan kesabaran untuk bisa membaca kisah ini hingga selesai karena secara keseluruhan kisah berpusat pada diri Aku yang menyampaikan pandangan subjektifnya mengenai perilaku Tuan Presiden. Memang pada bagian dongeng terdapat perubahan cara bertutur sebagai konsekuensi dari munculnya pencerita diaan. Akan tetapi, topik/persoalan yang dikisahkannya masih berkisar pada tindak-tanduk Tuan Presiden. Dongengnya boleh beraneka ragam, tetapi semuanya mengenai tingkah polah Tuan Presiden. Baik kisah yang dituturkan Aku maupun pencerita lainnya cenderung datar yang tidak berujung pada klimaks.
 
Selain ditekankan perlunya kesabaran bagi pembaca, tampaknya juga perlunya ditanamkan kesadaran bahwa tiap novel memiliki kekhasannya masing-masing yang menuntut sikap terbuka bagi pembacanya. Horison pembaca harus siap berubah untuk menyesuaikan diri dengan karya yang senantiasa bergerak sepanjang masa. Para pembaca yang menunggu-nunggu kemunculan rumitan, tegangan, dan klimaks dalam menghadapi novel, mungkin akan sedikit kecewa ketika membaca Pulau Tanpa Cinta. Sebaliknya, para pembaca yang luwes dan tidak punya target tertentu dalam menghadapi novel, boleh jadi akan menemukan keasyikan dan kenikmatan tersendiri saat membaca Pulau Tanpa Cinta. Terlepas dari persoalan itu, Pulau Tanpa Cinta telah hadir di tengah-tengah kita. Tugas kita untuk menyambut dan menghargainya sebagai bukti bahwa kita mencintai sastra dan peduli dengan apa yang dilukiskan di dalamnya.
***
 
Dalam sebuah tulisannya, Budi Darma mengatakan bahwa karya sastra yang baik justru mengungkapkan dunia yang seharusnya menurut moral tidak terjadi. Di bagian lain, penulis novel Rafilus itu menambahkan bahwa karya sastra yang baik diwarnai oleh kritik sosial. Akan tetapi, menurutnya, karya sastra semacam itu menjadi baik bukan karena kritik sosialnya, melainkan unsur estetikanya.[4] Matlani lewat Pulau Tanpa Cinta telah menyampaikan banyak kritik sosial terkait dengan realita yang dijumpai di negerinya yang seharusnya secara moral tidak terjadi. Kritik yang dikemas secara estetis dalam novelnya itu kiranya juga relevan dengan keadaan di negeri kita yang perilaku sebagian elit politiknya memperlihatkan kemiripan dengan tokoh-tokoh yang dilukiskan Matlani dalam Pulau Tanpa Cinta. Marilah kita renungkan dan petik pelajaran yang terkandung dalam novel ini agar Indonesia tidak menjadi negeri tanpa cinta.
***

*) DR. SUNU WASONO, Lahir di Wonogiri, 11 Juli 1958. Menamatkan S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1985), S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987 diangkat sebagai staf pengajar di FIBUI. Ia pernah menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia (1992). Sejumlah tulisannya (resensi, kritik, esai) telah dipublikasikan di jurnal ilmiah (Wacana, Susastra, Jurnal Kritik), antologi, dan di berbagai media massa: Suara Karya, Kompas, Pelita, Republika, Jawa Pos, majalah Horison, Bende, Syir’ah. Bukunya yang telah terbit adalah Sastra Propaganda (2007). Sejumlah hasil penelitiannya yang dikerjakan, antara lain, bersama Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta, Saini K.M., Jakob Sumardjo, dan Bakdi Sumanto dibukukan dalam Membaca Romantisisme Indonesia (2005), Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2006), dan Absurdisme dalam Sastra Indonesia (2007). Sejumlah tulisan kritiknya juga telah dibukukan dalam Konstelasi Sastra (1990), Sastra untuk Negeriku (2004), Dari Kampus ke Kamus (2005), Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern (2003), H.B. Jassin Harga Diri Sastra Indonesia (2001), Membaca Sapardi Djoko Damono (2011), dan Mahaguru yang Bersahaja (2016). http://sastra-indonesia.com/2018/03/membaca-pulau-tanpa-cinta-karya-jasni-matlani/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar