Arie MP Tamba
sinarharapan.co.id
Buruh menginginkan perbaikan upah minimum dan tunjangan lembur. Para
mahasiswa menginginkan pergantian penguasa. Para aktivis lingkungan
menginginkan pergantian menteri lingkungan hidup yang memiliki visi lingkungan
sehat. Para pekerja profesional yang menggelar demonstrasinya di depan Bursa
Efek mengharapkan adanya ketegasan pemerintah tentang arah kebijakan ekonomi,
tegaknya supremasi hukum, dan “pembersihan” para politikus dari rezim lama.
“Gawat! Seluruh penjuru kota kini tercekam oleh demo, demo, dan demo!”
“Dan jangan lupa. Ada puluhan ribu massa yang mulai mendekat ke arah
perkantoran kita? Hallo? Hallo?!”
“Iya, apa lagi? Sudah menemukan narasumber?”
“Narasumber banyak, Pak. Beberapa sudah saya wawancarai, termasuk para
mahasiswa dan wartawan yang terkena peluru nyasar. Saya nanti akan
mengerjakannya di rumah. Tapi sekarang saya dan teman-teman wartawan lainnya sedang
membentuk lingkaran pertahanan?. Dengar-dengar banyak sniper yang sengaja
mengincar para demonstran?. Entah dari pihak mana. Kami para wartawan yang
selamat akan melingkari para mahasiswa yang sedang terjepit. Kami akan
mengarahkan mereka ke tempat terbuka, agar dapat disaksikan orang banyak dari
gedung-gedung dan jembatan di daerah sini!”
“Hati-hati! Tapi, bukannya semakin berbahaya kalau di tempat terbuka?”
“Yah? adduhh! Saya kena lemparan batu! Duuh!”
“Hallo? Hallo?!” Bonang sontak berdiri gemetar, dengan tangan yang juga
gemetar mencekal gagang telepon. “Hallo? Halllo Rifi? Rifi, ada apa?”
Bonang memusatkan pendengarannya. Tak ada sahutan dari Rifi kecuali
suara-suara galau, dan lamat-lamat terdengar juga teriakan-teriakan yang
berbaur dengan suara tembakan. Lalu, trak, traak! Hening menyekap!
Bonang terduduk dengan pikiran kalut. Cemas. Pikirannya menerka-nerka apa
yang sedang terjadi di seberang sana. Dan serentak, ia pun benar-benar merasa
sendirian di ruangan redaksi yang terhampar luas itu.
Para wartawan telah lama pulang, dan sebagian sengaja bertugas di lapangan
untuk melengkapi berita utama dengan perkembangan politik terbaru. Lalu sebagai
redaktur yang bertanggung jawab untuk penyusunan berita utama kali ini, Bonang
harus bertugas menjaga kantor. Menunggu setiap berita terbaru yang bisa saja
langsung dikirimkan oleh teman-teman wartawannya melalui internet atau fax.
Sejak pagi segalanya berjalan lancar. Bayangan akan memperoleh berita
hangat menyemangati para wartawan untuk meliput beberapa demonstrasi yang
serentak menggoncang Jakarta. Dan Rifi, salah seorang wartawan mereka yang
paling “nekat”, telah berjanji secepat mungkin akan menyetor berita-berita
“khas” yang tak akan diperoleh media lain.
Dan kabar dari Rifi sejak sore hari adalah, ia dan beberapa wartawan dari
media lain tanpa sengaja ikut terkepung petugas keamanan dan massa, di dekat
sebuah jembatan besar yang diapit oleh jajaran gedung-gedung perkantoran.
Pembakaran kendaraan umum dan pribadi, perusakan gedung-gedung perkantoran dan
toko-toko, saling lempar antara demonstran dan petugas keamanan, dan juga massa
yang semakin banyak jumlahnya, telah berlangsung sejak sore.
Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Sementara hubungan dengan Rifi baru
saja terputus!
Maka, setelah mengembalikan gagang telepon ke pesawatnya, lamat-lamat
Bonang pun mulai mendengar suara-suara “massa” yang semakin mendekat dan
menggelegar ke arah gedung perkantoran mereka itu. Suara-suara itu agaknya
sudah muncul sejak beberapa menit lewat. Cuma, karena Bonang sempat termenung
memikirkan Rifi, ia terlambat mendengar suara-suara itu.
“Bakar! Bakar! Bakar majalah kapitalis! Bakar!”
Dari ruang kerjanya di lantai dua, sambil merapatkan wajah ke dinding kaca
yang menjadi pembatas dengan teras kecil di beranda lantai dua itu, Bonang
memandang jauh ke bawah, ke halaman dan ke luar pagar, memperhatikan betapa
sibuknya para satpam yang kali ini tampak “siap dan tegang”, mondar-mandir
mengantisipasi setiap kemungkinan. Lalu terlihat juga sebuah truk penuh petugas
keamanan datang menghampiri dan tampak berkoordinasi dengan para satpam. Mereka
telah siap dengan berbagai peralatan. Para satpam bersiaga dengan pentungan,
linggis, dan tentu saja dengan beberapa ekor anjing-anjing herder yang
tegap-tegap dengan moncong-moncong yang sesekali menggeram dan menengadah
membaui udara malam. Sementara para petugas keamanan telah berjaga dengan
alat-alat pelindung antihuru-hara dan juga pentungan!
Bonang tercekat oleh semua itu. Ia tak menyangka akan ada semacam
pengamanan darurat yang menyertakan petugas keamanan untuk gedung perkantoran
mereka. Kalau ia mengetahui akan ada penjagaan ketat seperti itu, ia akan
mengusulkan agar para Satpam tidak menggunakan anjing-anjing herder.
Gagasan siapa itu? Usul para satpam atau ketetapan si Bos? Sungguh ceroboh!
Hal demikian akan menimbulkan antipati massa. Sementara itu, gelombang massa
sudah mulai terlihat memasuki mulut jalan besar sana. Suara-suara mereka
semakin terdengar utuh. Mereka bergerombol dan juga tampak membawa peralatan “perang”
masing-masing. Kelompok mana mereka? Mengapa mereka mengibar-ngibarkan slogan
“antimajalah kapitalis?”
Gedung besar itu kini seakan terjepit dalam situasi “medan perang”. Bonang
tak mampu berbuat apa pun kecuali sesekali menggerutu dan menyesali nasibnya!
Sebagai seorang redaktur mestinya ia bisa melengkapi berita utama kali ini
dengan tulisan sendiri. Dan itu dapat dikerjakannya di rumah. Tapi segalanya
sudah terlambat. Ia kini hanya menjadi seorang pegawai yang harus menerima
konsekuensi dari sebuah pekerjaan “24 jam”. Bukankah tak ada libur bagi seorang
wartawan? Sekalipun ia terancam akan kehilangan segalanya malam ini? Kehilangan
keluarga? Kehilangan teman-teman? Karena serbuan massa yang membenci koran
kapitalis?
Hanya beberapa menit Bonang termangu memandangi halaman kantor yang dijaga
ketat oleh para satpam dan petugas keamanan itu, ketika telepon berdering
nyaring. Untuk sesaat Bonang kaget juga. Pasti Rifi! Kalau memang Rifi, ia akan
menyuruhnya segera pulang saja ke rumah. Nanti mereka akan saling mengontak
dari rumah masing-masing. Biarkan Rifi mengerjakan apa yang sudah diperolehnya
di rumah dan Bonang akan melengkapi kekurangannya dengan opini. Daripada
mempertaruhkan nyawa di bawah udara malam dan ancaman sniper dan massa yang
kalap!
“Hallo Rifi?!” Bonang menyapa.
Untuk sesaat tidak ada sahutan dari seberang. Hampir saja Bonang menutup
gagang telepon, karena mengira seseorang baru saja salah sambung. Hingga
tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalnya, terdengar jelas di telinganya.
“Hallo? Mas Bonang!”
“Heh! Bung Lukman?!” teriak Bonang. Sementara, di seberang sana Lukman
pastilah agak menjauhkan telinganya dari gagang telepon genggamnya untuk
menghindari “seruan” Bonang.
“Tak usah teriak-teriak, Mas! Gugup sih gugup, tapi jangan membentak orang
lain dong!”
Bonang dongkol dan agak tersinggung atas gerutuan Lukman itu. Tapi secara
aneh, semacam keingintahuan menggerakkan kesadarannya untuk menahan diri dan
menunggu. Tidak seperti biasanya, setiap kali berdialog dengan Lukman melalui
telepon, Bonang cenderung “menyalahkan”.
“Kamu di mana, Bung Lukman? Tumben menelepon malam-malam begini. Dan kok
tahu saya masih di kantor?” Bonang melanjutkan pembicaraan, sekali lagi, dengan
pikiran dan perasaan harus mampu menahan diri. Kali ini Bonang memang
membutuhkan teman bicara untuk menetralisir kegugupannya.
Tapi, bagaimana Lukman mengetahui kegugupannya?
Dengan keakraban yang jelas sekali dibuat-buat, Lukman kemudian menjawab
kaku, “Barusan saya menelepon ke rumah. Kata istrimu Mas jaga malam, dapat
giliran menyiapkan berita utama. Dan kuharap Mas tidak terkejut. Saat ini saya
dekat sekali dengan kantormu. Saya berada di antara massa yang sekarang menuju
kantormu! Biasalah, Mas, kami ingin membereskan masalah-masalah lama!”
“Sial kau! Jadi mereka itu kelompokmu ya?” sergah Bonang tak sabar. Lalu
segera memperbaiki nada bicaranya. “Maksudku, Bung terlibat ya?”
“Bukan kelompokku saja, Mas. Tapi gabungan dari beberapa gerakan perlawanan
untuk menumbangkan media-media kapitalis? hahaha!” sahut Lukman dengan tawa
mengejek.
Kalau tidak sedang membutuhkan teman bicara, dan sekaligus ingin ?menggali?
berita dari Lukman, Bonang sebenarnya sudah ingin meletakkan gagang telepon dan
melupakan saja sosok Lukman; sekalipun Lukman saat itu sudah mendekat ke arah
kantornya.
Hutang lama! Itulah ungkapan Lukman. Ya. Karena Lukman dan kelompoknya
pernah mendapatkan pemberitaan “miring” di majalah mereka. Padahal, pemberitaan
“miring” tersebut, tentu saja menurut sisi pandang Lukman dan kelompoknya.
Sementara majalah Bonang ketika itu, berbulan-bulan lewat, secara kebetulan
menjadikan petugas kemanan sebagai narasumber utama. Dan masa itu, secara
kebetulan semua petugas keamanan masih berseberangan dengan kelompok perlawanan
yang dipimpin Lukman. Dan kini, apakah kelompok Lukman telah seiring sejalan
dengan sebagian petugas keamanan? Bonang tak tahu pasti. Yang jelas, isu
semakin santer, bahwa kali ini gerakan-gerakan perlawanan justru didukung oleh
sebagian petugas keamanan. Untuk apa? Kenapa? Inilah berita yang harus digali
dan dibeberkan untuk publik. Ya. Publik, atau masyarakat luas, harus mengetahui
secara jelas apa yang sedang bergejolak di tengah-tengah kehidupan mereka!
Bonang melepaskan napas kesal. Untuk sesaat suara yang terdengar hanya
dengus dan sisa tawa mengejek Lukman di ujung sana. Bonang mencoba membaca
situasi. “Oke, oke, Bung Lukman menang. Tapi mengapa harus malam-malam begini?
Dan kalau hanya kelompokmu yang menuntut hutang lama, mengapa harus bersama
kelompok-kelompok lain? Dan, Bung sendiri kan tahu, semua media massa kan
memang miliknya para kapitalis. Apa kalian mau menutup semua media?”
“Persis! Kita buka-bukaan saja. Semua media memang milik kapitalis. Tapi di
antara para kapitalis itu, media tempat Mas bekerjalah paling kapitalis. Seenaknya
membuat berita-berita yang merugikan gerakan perlawanan, agar laku di pasar.
Bosmu itu biangnya KKN dengan modal asing dan penguasa korup. Mau nggak mau, ya
Mas juga bagian dari mereka!” ujar Lukman berapi-api. Kalau sudah kalap, Lukman
memang akan ceplas-ceplos tentang apa saja.
Bonang jadi teringat peristiwa tiga tahun lewat, ketika ia memperkenalkan
Lukman si tokoh mahasiswa yang getol meneriakkan yel-yel reformasi dan anti KKN
itu, kepada si Bos pemilik majalah mereka. Lukman datang dengan proposal
permintaan sumbangan dana untuk sebuah proyek penelitian. Tentu saja Lukman
diterima baik dan dipersilakan mempresentasikan proyek penelitian yang akan
dilakukannya bersama kelompoknya.
Tadinya presentasi berjalan lancar. Angka-angka bantuan dan kerja sama
mulai didiskusikan. Termasuk kesiapan majalah Bonang untuk ikut menerbitkan
buku hasil penelitian yang akan dilakukan Lukman dan teman-temannya. Lalu acara
presentasi tiba-tiba saja sungsang, ketika tanpa sengaja, entah siapa yang
memulai, si Bos mulai berdebat tentang politik dengan Lukman. Puncaknya, si Bos
secara halus menarik semua dukungan yang beberapa menit sebelumnya sempat
disanggupi. Dan untuk itu, Bonang sendiri memperoleh teguran, agar lain kali
tidak sembarang membawa tokoh mahasiswa mana pun untuk meminta bantuan dari
majalah mereka.
“Saya mengerti, Bung Lukman. Tapi, bagaimanapun kita hanyalah manusia biasa
yang sama-sama memperjuangkan agar hidup kita menjadi lebih baik?”
“Hmkh! Kita tidak sama, Mas!” Lukman memotong.
Tapi Bonang meneruskan. “Dan perlu Bung ketahui, kalian sudah ditunggu oleh
para satpam dengan anjing-anjing herdernya. Petugas keamanan juga sudah
berdatangan. Bukan saya mau menakut-nakuti. Maksudku, cobalah pikirkan para
satpam yang akan menghadapi kalian. Mereka juga orang-orang kecil seperti kita,
yang sedang berusaha meningkatkan kehidupan mereka”. Apa tidak ada jalan lain
kecuali penyerbuan yang akan kalian lakukan??
Seakan menyadari adanya semacam kontradiksi, Lukman terdengar menarik napas
panjang dan mengganti topik pembicaraan. “Sudahlah, Mas tidak akan mengerti
bagaimana posisi kami. Mas tahu apa yang kami lakukan kemarin? Kami berhasil
mengumpulkan sumbangan dari sebuah kampung di Jawa Barat, untuk perjuangan
kami. Kau tahu apa kata mereka? Kalahkan orang-orang kota itu! Mereka telah
mengeruk semuanya, sementara kita di kampung-kampung sini hanya kebagian yang
kecil-kecil saja”. Jadi, jangan katakan kami memusuhi orang kecil. Kami hanya
memusuhi orang-orang kapitalis dan kelompoknya. Artinya, yah, Mas dan para satpammu
tetap saja kapitalis, meskipun kapitalis kecil? hahahah!? Lagi-lagi, terdengar
tawa Lukman yang mengejek panjang.
Kali ini, Bonang tak tahu lagi mau bicara apa. Mau diteruskan berdebat,
pasti ujung-ujungnya adalah kebuntuan. Dan lagi, di tengah malam yang serba
panik saat itu, Bonang tak memiliki keinginan untuk berdebat panjang lebar
tentang orang-orang kecil dan kapitalisme!
Jadi Bonang hanya dapat mendesah perlahan. Apa lagi yang dapat
diperbuatnya?
Untuk sesaat mereka berdua terdiam, seakan saling termenung dalam arus
pemikiran masing-masing, di tempat masing-masing yang semakin dekat jaraknya.
Lukman mulai terdengar gelisah seakan ingin mengakhiri pembicaraan. Bonang
sendiri sudah mulai enggan menggenggam pesawat teleponnya lebih lama lagi.
Akhirnya keheningan terpecah. “Sudahlah, Mas Bonang. Sampai jumpa di
tempatmu. Kalau mau dialog, kuharap Mas mau keluar menemui kami. Saya akan
menahan teman-temanku, asal Mas mampu memberikan pernyataan-pernyataan yang
memuaskan.”
“Tentang apa?” tanya Bonang.
“Yah apa saja! Mungkin semacam jaminan bahwa selanjutnya majalahmu akan
berpihak dan menyuarakan tuntutan kami. Dan tentu saja?kalian juga harus minta
maaf!” desak Lukman.
“Itu yang saya tak bisa, Bung Lukman. Wewenang saya malam ini hanya menanggung-jawabi
berita utama?demonstrasi mahasiswa!” jawab Bonang.
“Kalau begitu, jadikan kami berita utama! Sampai jumpa di tempatmu!” Trak!
Lukman memutuskan hubungan telepon.
Bonang tercenung dan meletakkan gagang telepon. Ia tak menyangka kalau
Lukman akhirnya berhasil menekannya.
Dan baru saja Bonang meletakkan gagang telepon, Om Joko kepala satpam, yang
biasanya sering melontarkan obrolan ringan dan guyonan ala Madura itu, sudah
menerobos masuk ke ruangan redaksi dengan wajah tegang.
Dengan tersengal-sengal Om Joko berbicara, “Cepat, Pak Bonang. Pak Bonang
disuruh pulang oleh Bos. Lewat pintu belakang. Mobil bos sudah menunggu!” Om
Joko menarik napas panjang, “Harus cepat! Karena Bos akan langsung terbang
dengan helikopter bersama keluarganya ke pulau!”
Bonang gelagapan. “Bos masih ngantor?” tanyanya bingung.
Om Joko menjawab tak sabar. “Bukan. Bukan begitu. Sejak siang Bos sudah
pulang. Tapi bos terus memantau keadaan di sini, termasuk meminta bantuan para
petugas keamanan. Dan barusan, karena tahu Pak Bonang masih ada di sini, ia
sengaja mampir mau menjemput. Pak Bonang akan diantarkan pulang!”
Bonang segera mengerti situasinya. Rasa terima kasih membias di benaknya
karena si Bos ternyata masih menyempatkan diri “menyelamatkannya”. Tapi,
bagaimana dengan Rifi dan wartawan lainnya. Bagaimana kalau mereka menghubungi
lagi? Siapa yang akan menampung “berita” dari mereka?
Bonang kembali gelagapan setelah telinganya menangkap suara alarm
menjerit-jerit membahana ke seluruh ruangan dan areal gedung. Bahkan beberapa
lampu sorot berkekuatan ratusan watt di halaman telah dinyalakan, menjadi
penerang bagi para satpam dan para petugas keamanan yang kini tampak bersiaga
penuh seraya mencari-cari penyebab aktifnya alarm itu. Sementara, anjing-anjing
herder mulai menggeram-geram dan menyalak menusuk-nusuk udara malam, sekalipun
leher mereka terikat rantai yang dipegang kencang oleh para satpam.
“Cepat, Pak Bonang!” ujar Om Joko khawatir.
Dari arah halaman mulai terdengar bunyi pecahan kaca dan lemparan-lemparan
batu. Lalu beberapa botol molotov telah meledak dan mengeluarkan asap tebal di
beberapa bagian halaman dan luar pagar yang luas itu. Bonang berpikir cepat,
menyadari bahwa gedung perkantoran itu pasti telah terkepung rapat oleh massa
yang sedang mengamuk dan dapat membahayakan jiwanya. Tanpa pikir panjang
diambilnya rangsel dan laptopnya, dan segera bergegas mengikuti langkah Om Joko
menuju pintu belakang yang selama ini belum pernah dilewatinya.
Berdua mereka keluar menyusuri lorong-lorong di sisi gedung percetakan, dan
keluar menuju pintu gerbang kecil di halaman belakang yang selama ini sumpek
oleh barang-barang tak terpakai atau sisa-sisa majalah yang salah cetak atau
tidak laku di pasar.
Om Joko menolak ajakan Bonang untuk ikut menyelamatkan diri dari amukan
massa. Om Joko dan teman-temannya diharuskan tinggal bersama para petugas
keamanan untuk melindungi gedung perkantoran dan isinya sedapat mungkin. Pikir
Bonang, mau menyelamatkan apa lagi dari amukan massa yang benar-benar datang
penuh kemarahan?
Si Bos mengangguk kecil ketika melihat Bonang memasuki mobil. Begitu mobil
bergerak belasan meter menyusuri jalanan gelap di belakang areal gedung
perkantoran itu, telepon genggam Bonang menyala. Rifi!
“Hallo Rifi?? Bagaimana??” belum habis Bonang bertanya, Rifi sudah memotong
ringkas. “Saya sedang menuju kantor, Pak. Sampai jumpa! HP saya terinjak massa.
Ini HP teman!” Trak! Rifi memutuskan hubungan.
Bonang panik. Ia semakin panik lagi ketika melihat si Bos menoleh ingin
tahu. “Wartawan kita?” tanya Bos.
“Iya, Pak. Rifi!” jawab Bonang.
“Oh si nekat itu?”
Bonang mengangguk. Dan segera memanggil ulang HP temannya Rifi.
“Hallo?” terdengar suara seorang gadis menyahuti.
“Hallo, tolong sambungkan dengan Rifi!” kata Bonang.
Lamat-lamat terdengar suara memanggil-manggil nama Rifi. Lalu kembali
terdengar suara si gadis. “Maaf, Pak. Rifi baru saja berangkat dengan teman
lainnya. Katanya mau meliput gerakan massa di kantornya, dan langsung
menuliskannya malam ini?. Sudah, Pak, kami juga mau bergerak ke istana! Di sana
masih banyak demonstran!” Trak! Hubungan diputuskan.
“Hallo! Hallloo!” Bonang memanggil-manggil. Tak ada sahutan. Dan di
wajahnya segera membayang wajah Lukman yang saat ini pastilah kecewa karena tak
menemukan Bonang di kantornya. Tapi, tak lama lagi Lukman dan kelompoknya akan
“bersua” dengan Rifi!
Ah, Rifi, si wartawan nekat itu. Mudah-mudahan ia lolos melewati demo kali
ini! Bonang memandang kegelapan jalan di depan sana dengan bimbang.
***
Selasa, 20 Juli 2021
DEMO
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar