Selasa, 02 Februari 2021

MONOLOG SOSIAWAN LEAK:

BANAL DEMI KEHIDUPAN, BRUTAL DEMI KEMEWAHAN

Sosiawan Leak
 
Anak kalkunku raib seekor minggu lalu, meski malam sebelumnya didekap induknya di dalam kandang, di dalam deras hujan. Dulu sang kakak yang berwarna serupa (blirik coklat), kutemu terkapar sedepa dari kandang dengan tanda luka diseret paksa lewat sela jerujinya. Entah oleh siapa.
 
Pagi ini sebelum kutemukan tulang-tulang kalkun anakan, 2 kutuk kuning yang menetas (bersama 7 lainnya) 8 hari lalu, terjepit di dasar kandang, rongga antara alas dan tanah. Ditunggui induk hitam yang gundah.
 
Lantai kandang yang tak rapat malih rupa peluang pemangsa mengincar cakar-cakar mungil di atasnya. Hingga seekor terluka parah, hilang satu kaki dan dada bedah, seekor lagi tinggal gembung sepertiga dengan kepala terpisah. Sadis memang! Tapi itulah hukum alam. Siapa lengah, bakal jadi korban yang digdaya.
 
Demi terlacak sejumlah lubang di pagar pembatas yang setiapnya meninggalkan keratan, ditambah liang bundar di tanah tahulah aku biang keroknya adalah tikus kampung yang banal.
 
Kebanalan di kandangku memang kerap terjadi. Tapi lazimnya tak sebrutal ini. Pernah anak entok yang meremaja lemas direncak rombongan angsa saat lepas dari pengawasan induknya. Seekor lagi diperdaya jago merah yang ganas dan trengginas. Sekali patuk dikompliti terjangan taji, semaputlah sang minthi. Walau bernasib lumayan, keduanya mati perlahan usai beberapa kali unjal ambegan ngos-ngosan.
 
Jauh hari, cuma lele yang kupahami bernaluri kanibal, bahkan antar sesamanya asal kelewat lapar. Itulah kenapa di kolam terpal, benih kuseleksi sesuai ukuran sebelum ditebar. Yang besar kupindah ke kolam nila. Meski besarnya sama, aku tetap ragu si lele tak kumat melumat rombongan ikan yang berbeda.
 
Tapi biarlah. Terpenting sudah kuikhtiarkan keseimbangan, selain tak ada waktu mengeduk kolam baru.
 
Begitulah hidup berasas kebinatangan. Kuyakin semua itu atas izin Tuhan. Jadi tak bakal ada dosa dan pahala, sebagaimana tak ada surga pun neraka. Amoral, nir etika, nonsense agama. Semua hanya soal naluri mempertahankan diri sefitrah Gusti.
 
Tentang unggas, yang kupahami kadang memang saling berkonfrontasi sekadar mempertahankan diri. Bukan untuk memangsa alih-alih menghabisi sesama. Terbukti yang di kala siang bersaing memburu pakan serta mempertahankan area, saat malam tidur berdekatan berbagi kehangatan, membangun rasa aman mencegah serangan dari luar.
 
Tapi untuk sang tikus, menurut tetanggaku tak boleh dibiarkan begitu. Apalagi usai berkali-kali kubenahi kandang dan pagar umbaran.
 
"Harus kau racun sampai binasa! Agar berhenti teror kejam itu!" seru tetanggaku yang eksentrik dan lucu.
 
Sambil ngopi bareng kawanan semut yang riang dengan gula sejumput, kulihat mata ibu kalkun dan induk ayam nanar mencari anak-anaknya. Sesekali mereka memanggil dalam nada duka. Terbayang olehku mulut tikus pemangsa yang berlumuran darah sambil tersenyum semringah. Sebagaimana tikus kantor berpesta dengan gairah atau pelesiran ke manca usai mengembat uang negara sembari ber-hihi haha...
 
Tapi, pantaskah tikus kampung yang cuma melakoni fitrah dibinasakan, sementara tikus kantor yang terpelajar dihukum ringan?
 
Terlebih mereka menggila di masa pandemi korona. Sebagai manusia kelewat tak beradab. Di kala bencana alam bertebaran senusantara, di tengah statistik penularan covid tembus sejuta (versi epidemolog 3 juta), seenak udel menggarong bantuan rakyat yang sekarat, tanpa mengindahkan perikemanusiaan.
 
Ironisnya, beda dengan tikus di kandang, mereka melancarkan aksinya bukan untuk bertahan dari gempuran kehidupan, tapi sekadar melunaskan obsesinya yang kampungan. Demi mengoleksi sepatu, tas, jam tangan, jas, mobil, simpanan, dan kebutuhan sepele lainnya dengan standard mewah! Hasrat yang sungguh murahan, cemen, dan rendah! Lebih rendah dari naluri tikus got yang yang tak pernah sekolah!
 
Keterangan:
gembung= badan
minthi= anak entok
unjal ambegan= bernapas satu-satu

http://sastra-indonesia.com/2021/02/monolog-sosiawan-leak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar