Peran AP dan PDI-P dalam Mengkudeta Presiden Gus Dur
Virdika Rizky Utama
Saya sudah menulis dua bagian scenario penjatuhan Gus Dur dan termasuk peran-peran tokoh penting di dalamnya. Salah satu yang saya tulis atau buat utasnya di Twitter pada Agustus lalu adalah bagaimana peran AR dan ormas Islam lainnya dalam menjatuhkan Gus Dur.
Hal yang mengejutkan dari utas tersebut adalah banyaknya mention akun telur yang menyerang saya. Saya tak pernah ambil pusing untuk hal itu, tapi yang paling menarik adalah ada yang menyebut bahwa saya simpatisan Joko Widodo dan PDI-Perjuangan.
Situasi politik Indonesia saat ini mungkin yang membuat pandangan itu terjadi. Politik membelah masyarakat antara Jokowi atau Prabowo. Kalau saya tulis AR yang berada di kubu Prabowo, berarti saya simpatisan Jokowi. Mungkin mereka lupa bahwa PDI-P yang justru mendampatkan hasil langsung dari lengsernya Gus Dur.
Pada bagian ketiga dan mungkin terakhir ini, sebelum buku saya terbit nanti. Saya kan menjelaskan peran PDI-P dalam penjatuhan Gus Dur, berikut wawancara yang saya dapat dari beberapa tokoh. Dalam tulisan ini saya akan tulis semua hasil wawancara, dalam buku tidak semua saya tulis karena dalam buku saya harus melewati tahap verifikasi yang ketat.
Bagian yang masuk dalam buku, sudah lolos verifikasi dan konfirmasi. Sedangkan yang tidak, akan tetap saya tulis di bagian ini. Saya tidak mewawancarai M karena saya sudah dapat membayangkan apa saja jawabannya. Karena PDI-P berada pada posisi blessing in disguise, toh inisiator melengserkan Gus Dur dari PDI-P adalah anak-anak kosnya yaitu AP.
Sayangnya, AP tak bersedia diwawancara. Sebagai pengganti, saya memilih NN, bendahara umum untuk diwawancara. Sebab, ia merupakan kader asli PDI-P dan perannya sebagai bendahara sangat vital, ia tahu aliran dana partai.
Kita mulai dari awal reformasi. Meski PDI-P diprediksi oleh para ahli politik akan memenangkan pemilu 1999, nyatanya PDI-P tidak siap menang. Baik secara kader maupun finansial. Hal itu disebabkan, PDI-P banyak mendapatkan represi dari rezim Orde Baru.
Tepatnya, saat PDI mengalami represi saat peristiwa 27 Juli 1996 dan dualisme PDI versi S dan M. “Ya, kami memang tidak siap. Saat pelantikan Anggota DPR RI pemilu 1999. Kami bahkan tidak saling kenal. Siapa pun bisa masuk, asal dapat mau berkontribusi pada partai,” ujar NN, bendahara PDI-P, saat saya wawancara awal Maret 2019 di bilangan Senayan.
Kontribusi yang dimaksud NN adalah komitmen memajukan partai dan dapat menyumbang dana. Oleh sebab itu, banyak pengusaha yang masuk ke PDI-P, salah satu yang terkenal dan memainkan peran penting adalah AP. Kemudian, mereka ini disebut anak kos.
NN memberi contoh betapa pentingnya bantuan finansial bagi PDI-P. Setelah PDI-P memenangkan pemilu, PDI-P seolah yakin akan memenangkan pemilu presiden. Kemudian, yang beredar di media, bahwa M dan PDIP sangat sombong dan jumawa, tak mau berkoalisi.
“Pertama M masih kurang matang dalam politik. Kedua, saat ada kumpul antarsekjen partai, PDI-P diminta untuk selalu mentraktir. Kita sudah habis-habisan berjuang saat Orde Baru, tak ada banyak uang kas. Akhirnya, kami tak pernah kumpul lagi dengan partai lain,” NN coba mengingat.
ak hanya itu, naiknya M menjadi calon presiden juga diserah isu gender dan anti-islam. Saat itu, banyak anggota DPR dari PDI-P yang non-islam. M juga tak banyak memberikan komentar atau pembelaan saat ditanyai wartawan terkait isu anti-Islam.
Singkatnya, M kalah oleh Gus Dur dan menjadi Wapres. Proses pencalonannya pun diinisasi oleh PKB, orang yang dimintai untuk mengurus keperluan teknis pencalonan Wapres adalah KIP. Lalu terpilihlah M menjadi Wapres. Penyusunan cabinet dari PDI-P tak banyak protes seperti AR meminta jatah Menkeu untuk PAN.
Gerilya anak kos berebut pengaruh TK dan M, momen itu mereka dapat saat pemecatan LS dari PDI-P dan JK dari Golkar oleh Gus Dur dengan dugaan KKN. Seorang sumber yang tak mau disebutkan namanya, menceritakan bahwa awalnya M tak marah ketika LS dipecat. “Kenapa M tak marah? Karena LS itu pelit untuk partai. Contoh kalau LS dapat fee proyek 10 Miliar, paling dia hanya kasih 100juta untuk partai,” katanya.
Tapi, yang menentang keputusan tersebut adalah anak-anak kos. Kalian bisa periksa pernyataannya AP, SS, dan PA di media massa saat itu yang megusulkan hak interpelasi kepada Gus Dur. Dalam sebuah dokumen rapat notulensi di rumah AP 22 Juni 2000, AP mengkoordinasi pertemuan dengan sejumlah petinggi Golkar, Poros Tengah, HMI, KAHMI, Polisi, dan tentara.
Aliansi ini kemudian mengubah konfigurasi kekuatan politik yang ada. Jika sebelumnya Poros Tengah (PKB ada di dalamnya) dan Golkar melawan PDI-P, maka setelah pertemuan tersebut aliansi menjadi Golkar, PDI-P, Poros Tengah melawan PKB.
Rencana jangka pendeknya adalah dengan menurunkan pamor Gus Dur lewat isu bruneigate dan buloggate, sambil menaikkan pamor M. Sebenarnya dalam dokumen tersebut ada tiga kandidat yang dapat dijadikan presiden, yaitu AR, NM, dan M.
AR ditolak karena dianggap menikung M dengan membuat poros tengah dan menaikkan Gus Dur pada pemilu 1999. Akhirnya, AR ditugasi untuk mendeskreditkan peran Gus Dur, moral politik AR sebagai tokoh reformasi dirasa berguna. NM tak punya kehendak di bidang politik dan lebih memilih jadi guru bangsa. Calon terakhir yang paling rasional adalah M. Hanya saja isu gender dan anti-islam masih mengganjal poros tengah. Tapi mereka yakin akan berhasil, sebab M pada di tengah jalan akan kembali “digulung” seperti Gus Dur.
Sebelum lebih jauh, dengan ditetapkannya M menjadi calon presiden. AP mulai mengondisikan sejumlah massa PDI-P untuk menyambut isu M akan jadi presiden. AP memobilisasi massa PDI-P Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. AP dibantu oleh politisi PDI-P lainnya yaitu ZL (sekarang di Nasdem) dan JU. Mereka dianggap berhasil memengaruhi massa PDI-P untuk ikut bergabung dalam demonstrasi yang digalang oleh HMI, KAMMI, GPK, PP. Tak hanya itu, dalam sebuah dokumen dituliskan juga AP ikut memborong dollar di Singapura, Hongkong, dan London bersama LSL, BTH, dan FM (Bendum Golkar).
Di kalangan internal, kader asli PDI-P ingin tetap duet Gus Dur-M berlangsung sampai 2004. “Tujuannya biar M belajar dulu dari Gus Dur,” kata NN. Usulan itu paling tidak bertahan sampai Januari 2001, sesaat sebelum Memorandum I.
Anak kos berhasil merebut pengaruh M dan TK, pertama yang dilobi adalah TK. Dengan meyakinkan bahwa M layak jadi presiden karena PDI-P partai pemenang pemilu. Diakui oleh TK dalam biografinya, ia sering bertemu dengan Poros Tengah di Masjid Al-Azhar untuk meyakinkan M bersedia menjadi Presiden.
Namun, meyakinkan M tak semudah yang dibayangkan oleh Golkar dan Poros Tengah. Terdapat sebuah kesepakatan yang kemudian meyakinkan M bersedia menjadi presiden. Pertama, M meminta garansi bahwa ia tidak dijatuhkan di tengah jalan. Ia belajar dari pengalaman pemilu 1999 dan jatuhnya Gus Dur. Imbalannya adalah kasus Buloggate lainnya yang mengganjal AT tak dilanjutkan. Setelah memorandum I, Gus Dur sempat melakukan perlawanan, melalui MMD menyebut bahwa terdapat aliran dana Buloggate 90 M untuk Golkar.
Ketika itu disepakati, PDI-P semakin yakin akan menjatuhkan Gus Dur. Terlebih Gus Dur banyak merombak dan mengintervensi TNI. Hasilnya, TNI jadi lebih bersimpati pada M. Puncaknya, ketika RR, Pangkostrad saat itu melakukan komunikasi dengan M untuk mengarahkan tank ke Istana pada 22 Juli 2001.
Sebelumnya, sejak Memorandum I, hubungan Gus Dur dan M tak kunjung membaik dan tak berkomunikasi. Sebuah sumber menyebutkan Gus Dur sering kali meledek M sebagai orang yang jujur tapi bodoh dalam beberapa kali rapat cabinet. TK mengakui, jika saja M tak datang pada Sidang istimewa 23 Juli 2001, maka Gus Dur masih menjadi presidennya.
Karena ini tulisan bagian akhir, saya akan sebutkan judul buku ini nanti adalah “Menjerat Gus Dur”. Greg Barton menulis kata pengantar dan Wahyu Muryadi menulis epilog buku ini. Semoga Desember 2019 nanti bisa sudah terbit. (*)
https://duta.co/pdi-p-dan-orang-orang-yang-menjerat-gus-dur
Sabtu, 28 Desember 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar