Minggu, 29 September 2019

Mengenal Cucuk Espe, Seniman dan Sastrawan Muda Kabupaten Jombang

Cucuk Espe, seniman dan sastrawan Jombang. (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang).

Editor: Mardiansyah Triraharjo

Seniman asal Jombang ini masih berusia muda. Ia adalah seorang penyair, esais, cerpenis dan penulis naskah drama, juga aktor Indonesia yang dikenal sangat produktif menulis di berbagai media cetak nasional.

Serta beberapa jurnal seni di luar negeri. Keteguhannya dalam berkesenian juga diakui banyak seniman lain di Jombang, sebagai sebuah hal yang patut diapresiasi. Ia adalah Cucuk Suparno yang dikenal Cucuk Espe.

Pria kelahiran Gudo Jombang 19 Maret 1974 ini lebih dikenal dengan nama penanya Cucuk Espe. Rambut gondrongnya menjadi identik setiap tampilannya. Ia memang salah satu seniman yang bergerak di bidang teater, satra menulis dan masih aktif hingga kini.

Saat ditemui Jawa Pos Radar Jombang, dia bercerita tentang kehidupan perjalanan keseniannya. Cucuk mengaku memulai kiprah sebagai seniman dan sastra ketika masuk SMP, diawali dengan menulis. “Waktu itu nulis esay artikel, nulis cerpen, dan dikirim ke berbagai media cetak yang ada. Awalnya saya mengirim di Surabaya ternyata tembus dan dapat uang, sejak itu mungkin saya mulai tertarik menulis,” ucapnya.

Baru masuk bangku SMA, dirinya mulai berkenalan dengan dunia teater sekolah. Hingga kemudian kebiasaan baru itu terus ditekuninya hingga bangku kuliah, dan bahkan hingga saat ini. “Waktu SMA coba-coba teater dan waktu masuk kuliah, kebetulan juga di sastra, sampai saat ini jalan dan Alhamdulillah masih nyaman,” terang alumnus IKIP Malang ini.

Meski demikian, dia menyebut upaya untuk bertahan sebenarnya tidak mudah. Di awal perjalanannya merintis teater sekolah, orang tuanya sempat tidak setuju. “Tentu ini wajar dan banyak orang tua juga merasakan, ketika tahu anaknya masuk teater mungkin bayangan mereka anaknya akan jadi nyeleneh, dalam bahasa kasar dianggap gila,” ucapnya.

Namun dengan pembuktian lain, dirinya tetap bisa bertahan hingga orang tuanya mengikhlaskan. “Tentu dengan kebiasaan menulis, apalagi bisa dimuat di media masa kala itu jadi pembuktian khusus kepada orang tua, saya bisa menjalani  berbarengan dengan sekolah. dan menurut saya teater juga tidak bisa lepas dari buadaya menulis, keduanya tidak boleh dipisahkan,” imbuh Cucuk.

Hingga kini, ayah dua orang anak ini telah menelurkan puluhan karya sastra. Mulai dari naskah drama, tulisan lepas cerpen hingga buku. Sebut saja beberapa naskah drama seperti Para Pejabat (1995), Monolog Sang Penari (1997), Bukan Mimpi Buruk (1998), Mengejar Kereta Mimpi (2001), Rembulan Retak (2003), Juliet dan Juliet (2004), 13 Pagi (2010), dan banyak naskah skenario film hingga buku dan karya novel lainnya.

Sejumlah penghargaan pun pernah disabetnya. Seperti Aktor Teater Terbaik Peksiminas III di Jakarta 1995 hingga terpilih sebagai cerpenis terbaik 2 FolkFEST II Desember 2010 di Bangkok, Thailand. “Untuk saya, teater itu tidak hanya panggung dan pentas, disana ada naskah dan dokuman dan lahan lain yang bisa digarap, kalau memang ditekuni saya yakin bisa. Dan saya membuktikan,” pungkasnya.

CUCUK, memang salah satu orang yang dikenal teguh dalam pendirian. Tetap hidup dari kesenian dan penulisan yang dijalani hingga kini. Hal ini pun diakui sendiri oleh salah satu pekerja seni di Jombang, yang juga bergerak di bidang teater.

Menurut Imam Ghozali, Cucuk Espe semenjak sekolah sudah terlibat dalam pergerakan komunitas Bengkel Pembinaan Teater Jombang (Kelbin Terbang) 980. Dalam beberapa kali pementasan, dirinya melihat Cucuk punya bakat terpendam. “Mas Cucuk itu anak buahnya Nahrowi, jadi diantara kelompok teater Ngoro itu, ia memang terlihat menonjol dari banyak temannya,” jelasnya, ditemui seniman teater senior di Jombang.

Bahkan ia menilai orang yang mudah beradaptasi dengan sistem baru. “Saya masih ingat betul ketika saya menangani pertama, saya dan gurunya Cucuk punya gaya berbeda ketika menyutradarai drama. Dia kan biasa main realis, ketika saya ajak main teater surrealis, ternyata dia bisa menyesuaikan diri dengan cepat, karena memang dia punya sens di situ,” lanjutnya.

Meski demikian, Imam juga menyebut Cucuk memang lebih dikenal sebagai penulis aktif dan produktif hingga sekarang. “Saya lebih mengenal sebagai penulis, baik catatan kebudayaan dan cerpen dan repertoar drama. Dia termasuk orang yang produktif dalam menulis banyak repertoar drama serta catatan kecil kebudayaan. Kalau main teater Cucuk memang lebih bergerilya monolog, sebagai pemain tunggal,” imbuhnya.

Lebih dari itu, Imam juga menyebut kagum dengan keteguhan bertahan di dunia kesenian dan sastra. Karena menurutnya, banyak orang bukan lahan yang menjanjikan terlebih untuk bisa hidup apalagi menghidupi orang lain. “Jejaringnya sudah sangat luas mungkin ya, sebagai seorang kawan tentu saya sangat mengapresiasi gerakannya. Tentu itu sebuah keberanian yang besar,” jelasnya.

Saat disinggung keberaniannya, Cucuk mengakui jika hingga hari ini masih berkecimpung di dunia kesenian peran baik fil maupun teater dan menulis. Namun, menurutnya hal ini susah sangat baginya, bahkan untuk hidup dan menghidupi keluarganya.

“Sampai hari ini saya mengandalkan menulis beberapa buku dan berteater. Beberapa tahun terakhir ini lagi aktif di perfilman dengan kawan-kawan. Dan yang jelas itu masih cukup untuk hidup saya, karena memang dilakukan dengan sungguh-sungguh, itu saja,” pungkasnya.

(jo/riz/mar/JPR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar