Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Sedetik kemudian petir menyambar berulang kali jati raksasa di kebun rumahnya. Lidah api menjulur bercecabang dari mendung pekat. Sesekali bunyi “dyarrr,” bebarengan pletikan api, selebihnya persis berondong mercon renteng, api yang menjilat-jilat, meledak-ledak. Sekitar lima menit serangan petir itu bagai gergaji mesin angkasa, meraung, menderu, mengiang, memekakkan telinga.
Alkhasil jati raksasa itu tumbang terbelah-belah, mulanya dedaunan rontok berhamburan, kemudian ranting dan dahan, lalu batang besar terpotong bergegal-gegal dan terbelah berlonjor keping, meski tak bertumpuk sekalian, namun serakan belahan jati itu tak terlempar jauh dari akar semula tempat ia menghunjam kokoh, tegar, rindang dan menjulang.
Seandainya ada beberapa pasang mata lagi yang menyaksikan peristiwa tersebut, tentulah mereka terpukau. Tetapi hanya Samin sendiri yang mengetahui gergaji angksa itu. Samin warga desa Klopoduwur yang oleh masyarakat terdekat dianggap banyak menyimpan rahasia, ya, lelaki penuh teka-teki.
Sedetik sebelumnya, Samin sambat ke garwane urip-sigarane nyowo: separuh ia bawa, separuhnya digenggam Tuhan. Beda dengan istri yang dianggap dulur tunggal karep-saudari sekeinginan. “Saudaramu ingin membenahi rumah! Apa tidak kau bantu?” Barulah saudara Samin yang di angkasa bertandang dengan gergaji musim hujan. Dari peristiwa itulah anak dan istrinya menjuluki Samin dengan sebutan Kakung Jati Kalong, lelaki yang bergantung pada alam.
***
Esoknya serdadu kompeni berduyun datang hendak menangkap Samin. Ia dituding menebang jati tanpa izin. Sedang satu pohon saja jika dibawa pulang ke Belanda akan menjadi still klasik rumah Eropa yang menor. Kompeni merasa setiap tetumbuhan di ladang Samin, sah direbutnya.
Kompeni tak cukup bukti menangkap Samin. Apalagi penjelasan Samin jika jati itu roboh disambar petir. Dan memang begitu. Di negri Samin, Belanda kerap terpagut dengan ulah seseorang yang tidak terumus dalam analoginya, dan menyimpulkan bahwa Samin bisa mengurangi jatah makan kompeni.
Tak hanya Belanda yang heran, anak dan istri Samin pun tercengang. Tiap anak anaknya makan bersama, istri Samin menyisihkan tiga kepal nasi. Selalu begitu, dan jika anaknya bertanya, “untuk siapa tiga kepal nasi itu mak?” ibunya selalu menjawab, “ untuk bapak kalian.” Padahal keesokan harinya tiga kepal nasi masih utuh, yang dimakan Samin hanyalah sari nasi, bukan ampas. Maka tak pernah dijumpai Samin buang air layaknya orang lain.
***
Selaku pesinggah tanah rantau, Samin menamai desa tersebut Klopoduwur. Ia berharap penduduk sekitar selalu mengeja pohon kelapa. Bahwa untuk mencapai ketinggian-duwur-seseorang harus memanjat. Supaya lebih nyaman memetik kelapa, pemanjat perlu menyamankan posisi di pelepah. Sambil duduk di pelepah, pemetik gampang memecah serta meminum air segar yang tidak tau persis bagaimana cara memasukkan air ke dalamnya, namun ada. Lajur berhelai dedaunan nyiur yang disebut blarak menamsilkan pemanjat agar memaknai arti pengembaraan hidup dalam belantara luas, gak blarah, kecuali selalu rindu kampung halaman. Pucuk nyiur dipenuhi janur perak nan melambai diterpa semilir angin, sangat elok di pelupuk mata. Begitu juga takdir tiap butir kelapa akan jatuh berserakan-sak paran paran-namun tak jauh dari pohonnya.
Sebagai petani tulen, Samin berkeseharian di sawah; membajak, mencangkul, menanam, mengairi, memanen, mencari rumput pakan sapi dan kambingnya, mengusung kotoran ternak untuk ditaburkan ke lahan sebagai pupuk. Awal musim penghujan datang, ia menanam kedelai, kacang ijo, ketimun, atau palawija lainnya yang berumur pendek; 40 hari. Daun kedelai dan kacang ijo yang rontok akan membusuk dan menggemburkan tanah. Selain itu, hama ulat yang hinggap di palawija akan bertapa ke dalam tanah dan mengepompong. Seminggu kemudian kapsul kepompong pecah dan mengeluarkan kupu-kupu yang terbang berhamburan ke taman-taman kota. Itu sebabnya Samin tidak pernah takjub dengan keindahan kupu-kupu, sebab ia tau persis proses terjadinya kupu-kupu yang dibanggakan orang-orang kota.
Setelah hujan sering dan deras, air membanjiri petak-petak sawah. Saat itulah Samin membajak sawahnya. Ia kemudian membedeng benih padi untuk ditanam pada usia yang cukup (antara 20-36 hari). Benih yang bergerombol dan sesak dicabut lalu ditancapkan di area yang luas dengan jarak teratur. Samin paham betul ilmu tersebut, bahwa kehidupan layaknya padi, berhijrah dari tempat semula agar tumbuh lebih matang dan berbuah. Saat tumbuh di Plosokediren distrik Sumoroto kadipaten Pajang, baginya adalah bedeng sesak, maka ia berhijrah ke Randubelatung dan Klopoduwur setelah menyinggahi Bojonegoro, alas Cabak, Jepon. Dan karena benih padi terus dibibit dan ditanam ulang, ia pun tak tahu di mana esok hari dirinya ditancap. Yang jelas, setiap Samin di sawah, ia selalu memakai capil daun jati. Ia berharap selalu menempuh kesejatian hidup, bukan sekedar nunut urip dan pokok urip.
Menginjak usia 40 hari, padi mulai hamil setelah kembang diarak semilir angin. Ujaran kehamilan ditingkepi tak ubahnya manusia. Sesaji khusus yang disuguhkan untuk tileman padi ialah jajan: pleret, uler-uleran, gedang sobo, horog-horog, blendung dan sesudahnya tiap petak sawah ditancapi umbul umbul klaras-daun pisang kering. Terutama gedang sobo, Samin berharap dirinya selalu nyobo, mengunjungi padinya setiap saat, sebab padi bagai anak yang akan tenteram jika sering dikunjungi dan diajak bercanda.
Samin juga sigap bila sewaktu-waktu padinya diserang hama atau penyakit. Keris Caluk Rancang yang berkasiat mengusir hama padi ditancapkan di tulakan-pintu masuk air-ujung sawah. Begitu pula jika hama tikus menyerang, Samin memendam empat ikan klothok di tiap bidang sawah. Kemudian Samin menginjak-injak rata celah padi supaya akar berubah dan menjalar lebih panjang. Akar yang panjang akan membesarkan batang dan memperbanyak bulir. Ia memahami bahwa tikus sangat kerasan di tempat yang tak pernah dijamah manusia.
***
Terasa ada yang aneh malam Jumat Wingit kala itu, balai rumah Samin yang jembar dipenuhi anak dan tetangga sejak sore. Kemumpunian Samin di kampung sekitar, menjadikan ia dianggap sesepuh yang disegani. Sehingga semua warga duduk bersila ngudi kaweruh tiap sebulan sekali. Mereka duduk berjajar dengan khidmat menghadap Samin yang juga dijuluki Raden Kobar. Seperti halnya Samin, mereka berpakaian penadon-serba hitam, celana hitam dan memakai ikat kepala-udeng. Satu pertemuan Samin pernah menjelaskan gambaran udeng. Bahwa dari kain persegi yang luas kemudian dilipat jadi dua dan berbentuk segi tiga, supaya pemakai udeng bisa ubet, memutar kebutuhan yang luas menjadi tersambung antara sesama manusia, alam dan Tuhan.
Seperti pertemuan terakhir malam itu, Samin mengudal wejangan cukup banyak hingga larut. Seperti ada yang tak tuntas dan ingin segera diselesaikan. Dengan suara serak, pelan namun mengalun ke seluruh ruangan, Samin bertutur, “kita ini sedulur sikep, urip sing embat-embatan antarane Eling, Percoyo lan Mituhu. Sebab suatu saat akan ada dari golongan kita yang mengaku Sangkak, Singgah dan Paniten, namun jangan tertipu. Maka yang harus kita sematkan dalam ceruk relung jiwa adalah memahami kembali asal usul manusia, sangkan paraning dumadi. Untuk mengenali kebenaran, camkan rumus: 1. Becik ketitik olo ketoro manggone ono ing gondo. 2. Temen bakal tinemu manggone ono ing pangarungu. 3. Ojo dumeh manggone ono ing paningal. 4. Mok mek awak dewe manggne ono ing roso. 5. Idi pesti wek e Gusti manggone ono ing cipto / pangucap. Untuk menempuh semua hal di atas harus berguru dan mondok di Ponorogo, pono=ngerti, rogo=awak. Supaya hidup punya pegangan dan tidak barang jantur. Saudaraku, kebenaran tidak akan dimengerti kebanyakan orang. Walau begitu, jangan menentang kesalahan dengan perang jantur, gontok-gontokan. Bicaralah dengan bahasa santan, sebab yang dibutuhkan kebanyakan orang hanya buih dan busa percakapan. Misal jika kalian ditanya dari dan hendak kemana? Jawablah dari belakang dan hendak ke depan, cukup.”
Tak terasa, Samin dan seluruh penghuni ruangan melewati pertengahan malam, lingsir wengi. Setiap ucapan Samin melesap ke dalam dingin dan lengang. Membaur bersama siluet tipis yang menerpa nafas dan raut wajah. Semebyar bersama harum wewangian gading kuning yang mengelembak ke belantara malam. Hingga esoknya terdengar kabar getok tular bahwa Samin ditangkap kompeni dan dibuang ke Digul. Samin ditanam ke persawahan yang masih luas menghampar. Dan kelebat bayangannya menerpakan aroma.
*) Cerpen ini hasil kunjungan ke suku Samin saat saya bersama Komunitas Suket Indonesia sedang pentas teater Negri Sungsang di Blora.
http://sastra-indonesia.com/
Sedetik kemudian petir menyambar berulang kali jati raksasa di kebun rumahnya. Lidah api menjulur bercecabang dari mendung pekat. Sesekali bunyi “dyarrr,” bebarengan pletikan api, selebihnya persis berondong mercon renteng, api yang menjilat-jilat, meledak-ledak. Sekitar lima menit serangan petir itu bagai gergaji mesin angkasa, meraung, menderu, mengiang, memekakkan telinga.
Alkhasil jati raksasa itu tumbang terbelah-belah, mulanya dedaunan rontok berhamburan, kemudian ranting dan dahan, lalu batang besar terpotong bergegal-gegal dan terbelah berlonjor keping, meski tak bertumpuk sekalian, namun serakan belahan jati itu tak terlempar jauh dari akar semula tempat ia menghunjam kokoh, tegar, rindang dan menjulang.
Seandainya ada beberapa pasang mata lagi yang menyaksikan peristiwa tersebut, tentulah mereka terpukau. Tetapi hanya Samin sendiri yang mengetahui gergaji angksa itu. Samin warga desa Klopoduwur yang oleh masyarakat terdekat dianggap banyak menyimpan rahasia, ya, lelaki penuh teka-teki.
Sedetik sebelumnya, Samin sambat ke garwane urip-sigarane nyowo: separuh ia bawa, separuhnya digenggam Tuhan. Beda dengan istri yang dianggap dulur tunggal karep-saudari sekeinginan. “Saudaramu ingin membenahi rumah! Apa tidak kau bantu?” Barulah saudara Samin yang di angkasa bertandang dengan gergaji musim hujan. Dari peristiwa itulah anak dan istrinya menjuluki Samin dengan sebutan Kakung Jati Kalong, lelaki yang bergantung pada alam.
***
Esoknya serdadu kompeni berduyun datang hendak menangkap Samin. Ia dituding menebang jati tanpa izin. Sedang satu pohon saja jika dibawa pulang ke Belanda akan menjadi still klasik rumah Eropa yang menor. Kompeni merasa setiap tetumbuhan di ladang Samin, sah direbutnya.
Kompeni tak cukup bukti menangkap Samin. Apalagi penjelasan Samin jika jati itu roboh disambar petir. Dan memang begitu. Di negri Samin, Belanda kerap terpagut dengan ulah seseorang yang tidak terumus dalam analoginya, dan menyimpulkan bahwa Samin bisa mengurangi jatah makan kompeni.
Tak hanya Belanda yang heran, anak dan istri Samin pun tercengang. Tiap anak anaknya makan bersama, istri Samin menyisihkan tiga kepal nasi. Selalu begitu, dan jika anaknya bertanya, “untuk siapa tiga kepal nasi itu mak?” ibunya selalu menjawab, “ untuk bapak kalian.” Padahal keesokan harinya tiga kepal nasi masih utuh, yang dimakan Samin hanyalah sari nasi, bukan ampas. Maka tak pernah dijumpai Samin buang air layaknya orang lain.
***
Selaku pesinggah tanah rantau, Samin menamai desa tersebut Klopoduwur. Ia berharap penduduk sekitar selalu mengeja pohon kelapa. Bahwa untuk mencapai ketinggian-duwur-seseorang harus memanjat. Supaya lebih nyaman memetik kelapa, pemanjat perlu menyamankan posisi di pelepah. Sambil duduk di pelepah, pemetik gampang memecah serta meminum air segar yang tidak tau persis bagaimana cara memasukkan air ke dalamnya, namun ada. Lajur berhelai dedaunan nyiur yang disebut blarak menamsilkan pemanjat agar memaknai arti pengembaraan hidup dalam belantara luas, gak blarah, kecuali selalu rindu kampung halaman. Pucuk nyiur dipenuhi janur perak nan melambai diterpa semilir angin, sangat elok di pelupuk mata. Begitu juga takdir tiap butir kelapa akan jatuh berserakan-sak paran paran-namun tak jauh dari pohonnya.
Sebagai petani tulen, Samin berkeseharian di sawah; membajak, mencangkul, menanam, mengairi, memanen, mencari rumput pakan sapi dan kambingnya, mengusung kotoran ternak untuk ditaburkan ke lahan sebagai pupuk. Awal musim penghujan datang, ia menanam kedelai, kacang ijo, ketimun, atau palawija lainnya yang berumur pendek; 40 hari. Daun kedelai dan kacang ijo yang rontok akan membusuk dan menggemburkan tanah. Selain itu, hama ulat yang hinggap di palawija akan bertapa ke dalam tanah dan mengepompong. Seminggu kemudian kapsul kepompong pecah dan mengeluarkan kupu-kupu yang terbang berhamburan ke taman-taman kota. Itu sebabnya Samin tidak pernah takjub dengan keindahan kupu-kupu, sebab ia tau persis proses terjadinya kupu-kupu yang dibanggakan orang-orang kota.
Setelah hujan sering dan deras, air membanjiri petak-petak sawah. Saat itulah Samin membajak sawahnya. Ia kemudian membedeng benih padi untuk ditanam pada usia yang cukup (antara 20-36 hari). Benih yang bergerombol dan sesak dicabut lalu ditancapkan di area yang luas dengan jarak teratur. Samin paham betul ilmu tersebut, bahwa kehidupan layaknya padi, berhijrah dari tempat semula agar tumbuh lebih matang dan berbuah. Saat tumbuh di Plosokediren distrik Sumoroto kadipaten Pajang, baginya adalah bedeng sesak, maka ia berhijrah ke Randubelatung dan Klopoduwur setelah menyinggahi Bojonegoro, alas Cabak, Jepon. Dan karena benih padi terus dibibit dan ditanam ulang, ia pun tak tahu di mana esok hari dirinya ditancap. Yang jelas, setiap Samin di sawah, ia selalu memakai capil daun jati. Ia berharap selalu menempuh kesejatian hidup, bukan sekedar nunut urip dan pokok urip.
Menginjak usia 40 hari, padi mulai hamil setelah kembang diarak semilir angin. Ujaran kehamilan ditingkepi tak ubahnya manusia. Sesaji khusus yang disuguhkan untuk tileman padi ialah jajan: pleret, uler-uleran, gedang sobo, horog-horog, blendung dan sesudahnya tiap petak sawah ditancapi umbul umbul klaras-daun pisang kering. Terutama gedang sobo, Samin berharap dirinya selalu nyobo, mengunjungi padinya setiap saat, sebab padi bagai anak yang akan tenteram jika sering dikunjungi dan diajak bercanda.
Samin juga sigap bila sewaktu-waktu padinya diserang hama atau penyakit. Keris Caluk Rancang yang berkasiat mengusir hama padi ditancapkan di tulakan-pintu masuk air-ujung sawah. Begitu pula jika hama tikus menyerang, Samin memendam empat ikan klothok di tiap bidang sawah. Kemudian Samin menginjak-injak rata celah padi supaya akar berubah dan menjalar lebih panjang. Akar yang panjang akan membesarkan batang dan memperbanyak bulir. Ia memahami bahwa tikus sangat kerasan di tempat yang tak pernah dijamah manusia.
***
Terasa ada yang aneh malam Jumat Wingit kala itu, balai rumah Samin yang jembar dipenuhi anak dan tetangga sejak sore. Kemumpunian Samin di kampung sekitar, menjadikan ia dianggap sesepuh yang disegani. Sehingga semua warga duduk bersila ngudi kaweruh tiap sebulan sekali. Mereka duduk berjajar dengan khidmat menghadap Samin yang juga dijuluki Raden Kobar. Seperti halnya Samin, mereka berpakaian penadon-serba hitam, celana hitam dan memakai ikat kepala-udeng. Satu pertemuan Samin pernah menjelaskan gambaran udeng. Bahwa dari kain persegi yang luas kemudian dilipat jadi dua dan berbentuk segi tiga, supaya pemakai udeng bisa ubet, memutar kebutuhan yang luas menjadi tersambung antara sesama manusia, alam dan Tuhan.
Seperti pertemuan terakhir malam itu, Samin mengudal wejangan cukup banyak hingga larut. Seperti ada yang tak tuntas dan ingin segera diselesaikan. Dengan suara serak, pelan namun mengalun ke seluruh ruangan, Samin bertutur, “kita ini sedulur sikep, urip sing embat-embatan antarane Eling, Percoyo lan Mituhu. Sebab suatu saat akan ada dari golongan kita yang mengaku Sangkak, Singgah dan Paniten, namun jangan tertipu. Maka yang harus kita sematkan dalam ceruk relung jiwa adalah memahami kembali asal usul manusia, sangkan paraning dumadi. Untuk mengenali kebenaran, camkan rumus: 1. Becik ketitik olo ketoro manggone ono ing gondo. 2. Temen bakal tinemu manggone ono ing pangarungu. 3. Ojo dumeh manggone ono ing paningal. 4. Mok mek awak dewe manggne ono ing roso. 5. Idi pesti wek e Gusti manggone ono ing cipto / pangucap. Untuk menempuh semua hal di atas harus berguru dan mondok di Ponorogo, pono=ngerti, rogo=awak. Supaya hidup punya pegangan dan tidak barang jantur. Saudaraku, kebenaran tidak akan dimengerti kebanyakan orang. Walau begitu, jangan menentang kesalahan dengan perang jantur, gontok-gontokan. Bicaralah dengan bahasa santan, sebab yang dibutuhkan kebanyakan orang hanya buih dan busa percakapan. Misal jika kalian ditanya dari dan hendak kemana? Jawablah dari belakang dan hendak ke depan, cukup.”
Tak terasa, Samin dan seluruh penghuni ruangan melewati pertengahan malam, lingsir wengi. Setiap ucapan Samin melesap ke dalam dingin dan lengang. Membaur bersama siluet tipis yang menerpa nafas dan raut wajah. Semebyar bersama harum wewangian gading kuning yang mengelembak ke belantara malam. Hingga esoknya terdengar kabar getok tular bahwa Samin ditangkap kompeni dan dibuang ke Digul. Samin ditanam ke persawahan yang masih luas menghampar. Dan kelebat bayangannya menerpakan aroma.
*) Cerpen ini hasil kunjungan ke suku Samin saat saya bersama Komunitas Suket Indonesia sedang pentas teater Negri Sungsang di Blora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar