Rabu, 15 Agustus 2012

Identifikasi Babad ”Banyuarang” Dalam (Cerita Rakyat)

Agus Sulton
_Radar Mojokerto, 29 Juli 2012

Banyuarang adalah sebuah desa masuk dalam kecamatan Ngoro Jombang. Awalnya, sebelum tahun 1922 desa Banyuarang terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Banyuarang, dusun Balungbiru, dan dusun Sumberagung. Ditahun berikutnya desa Banyuarang menjadi enam dusun, yaitu Banyuarang, Balungbiru, Sumberagung, Plemahan, Ketanen, dan Kuncung. Desa ini sebagian penduduknya hidup dari bertani, sisanya sebagai pedagang, pegawai, industri rumahan dan sebagainya.

Siapa sangka desa Banyuarang menyimpan cerita panjang tentang seorang tokoh penyebar agama Islam dari anak turun kerajaan Pajang. Konon saat perselisihan antara Jaka Tingkir melawan Ngabei Loring Pasar tahun 1582, sebagian anak buah dan saudara keluarga Jaka Tingkir ada yang melarikan ke pedalaman bekas kerajaan Majapahit, termasuk Pangeran Jenu atau Raden Mukhtar dan beberapa anak buahnya. Dalam pelarian, Pangeran Jenu singgah di bekas kerajaan Majapahit yang sebagian wilayahnya masih berupa hutan belantara. Kamudian bersama pasukannya, Pangeran Jenu menebang hutan untuk dijadikan hunian dan mendirikan mandala, semacam tempat dakwah (pesantren) atas dasar menyiarkan agama Islam.

Sumber manuskrip kitab Pararaton (32 halaman), kerajaan Majapahit waktu itu, tahun 1527 sudah lenyap dari muka bumi saat kepemimpinan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana diserang panglima Toh A bo putra dari Tung Ka Lo (dari Demak). Dari manuskrip Babad Tanah Jawa, Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Demak menguasai bekas wilayah Majapahit sampai kesultanan Muk Ming tahun 1546. Kemudian kerajaan Pajang berdiri dibawah kekuasaan Jaka Tingkir, termasuk kerajaan Mataram masa Ki Ageng Pemanah masih dinaungi kekuasaan Pajang. Tahun 1575 Ki Ageng Pemanah meninggal, setelah itu Mataram digantikan oleh Ngabei Loring Pasar yang dikenal membandel tidak patuh pada kesultanan Pajang. Sepeninggalan Jaka Tingkir, Pajang mengalami gonjang ganjing. Pangeran Banawa (anak Jaka Tingkir) tidak bisa mewarisi ayahnya untuk menjadi sultan di Pajang karena dilahirkan dari selir Jaka Tingkir. Ada usulan lain, yang menggantikan Pajang yaitu dari putri Jaka Tingkir yang dinikahkan dengan Adipati Demak. Dan, Pangeran Banawa sebagai Adipati Jipang. Usulan itu—membuat Pangeran Benawa tersinggung sampai akhirnya merangkul Ngabei Loring Pasar untuk menumpas Adipati Demak. Kalau berhasil menumpaskan, akan dihadiahi menjadi kesultanan di Pajang. Setelah berhasil menumpas Adipati Demak, Ngabei Loring Pasar menjadikan Mataram sebagai kesultanan.
***

Dalam cerita rakyat yang berkembang, Pangeran Jenu adalah keturunan dari kerajaan Pajang. Saat perpecahan itu, Pangeran Jenu mengasingkan diri dengan maksud untuk menyebarkan agama Islam. Dalam beberapa edisi teks Babad Tanah Jawa, setelah runtuhnya Majapahit kerajaan-kerajaan tersebut di atas adalah masih terkait. Petinggi raja dan pasukkannya sudah banyak yang memeluk agama Islam.

Menurut kepercayaan dari penduduk desa Banyuarang, pada saat pangeran Jenu mendirikan pesantren ada salah seorang yang sering mengusik keberadaan pesantren, yaitu Kebokicak. Sampai suatu ketika terjadi perlawanan antara pangeran Jenu dan Kebokicak termasuk beberapa pasukannya. Perlawanan keduanya dimenangkan pihak pangeran Jenu, akhirnya tidak berselang lama mereka besanan. Putra pangeran Jenu yang bernama Nur Khotib menikah dengan Wandan Wanuh. Menurut Informan, Kyai Hafidz yang dilakukan sdr. Fahrudin Nasrulloh pada tahun 2008, nama istri Nur Khotib adalah Wandan Manguri cucu dari Brawijaya V dari istri Wandan Kuning.

Beberapa hari setelah pernikahan, Nur Khotib pindah mengikuti istrinya ke Dapur Kejambon. Pada saat itu pula Banyuarang di tempati oleh keluarga Pangeran Jenu dan para santrinya. Suatu ketika ada keanehan dari satu santri Pangeran Jenu. Santri tersebut tidak bisa mengaji karena terlalu bebal tetapi hanya bisa menghafal surat Al Fiil, surat Makkiyah, surat-surat ke 105 yang terdiri dari 5 ayat. Namun, suatu hari saat santrinya melafalkan surat Al Fiil, Pangeran Jenu menyuruh supaya lengna (dipahami betul-betul) dengan maksud agar santri tersebut mau melafalkan dan belajar surat-surat lainnya.

Bukan kata lengna lagi yang ditangkap telinga santri itu, tetapi lenga (minyak). Karena perintah sang Kyai, santri tersebut dimalam berikutnya mengambil air dalam sebuah wadah kamudian meletakkan Al Qur’an di atasnya sambil melafalkan surat Al Fiil semalam suntuk. Pagi harinya seusai sholat Subuh Al Qur’an itu diambil, ternyata ada keanehan dari wadah tersebut. Air yang ada dalam wadah menjadi kental seperti lenga (minyak), para santri lainnya menamai sebagai lenga Al Qur’an. Dari minimnya air dalam wadah itu kekaguman Pangeran Jenu, santri pelafal surat Al Fiil, dan santri-santri lain beranggapan, air yang sebelumnya penuh kemudian berubah menjadi sedikit dan menjadi lenga mengental menyebutnya sebagai ”banyu arang” Sehingga para santri lain memanggil pelafal surat Al Fiil itu dengan nama Mbah Alamtara.

Mungkin berawal dari itulah—cerita rakyat yang berkembang secara turun-temurun sampai akhirnya diabadikan menjadi sebuah nama desa. Cerita rakyat lainnya menyebutkan bahwa pesantren Pangeran Jenu atau Raden Mukhtar dulu berada di barat dusun Banyuarang. Pangeran Jenu meninggal pada tahun 1605 Masehi, dan dimakamkan di sebelah barat dusun Banyuarang dekat komplek pemakaman umum. Sebelah baratnya makam Pangeran Jenu terdapat makam Mbah Alamtara, termasuk makam dari sanak keluarga Pangeran Jenu.
***

1 komentar:

  1. semoga yg kuasa selalu merahmati mbah mukhtar dan anak cucunya yang muslim

    BalasHapus

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar