Taufik Ikram Jamil
Kompas, 4 Agu 2014
Mata saya sudah tersangkut di ufuk timur, tempat bulan purnama penuh akan
memperlihatkan wajahnya yang awal. Begitu saja ingin saya rebahkan penat pada
cahaya merah kesumba, membiarkan angin mempermainkan keinginan saya untuk
malam. Kedatangan istri saya bersama Kiki—anak kami–yang segera melosor duduk
di sebelah kanan, kemudian menujukan pandangan pada titik yang sama dengan
penglihatan saya, terasa menambah daya saya untuk menyegerakan purnama.
Genggaman istri saya di pergelangan tangan seperti menyatukan harapan kami
bahwa purnama malam ini harus berhasil, harus terjadi.
”Kiki?” tanya saya, yang langsung dijawab istri saya dengan kerdipan mata,
ditambah sedikit anggukan.
Ia rangkul anak itu, kemudian mencium dua pipinya, yang meresap ke sanubari
saya sebagai taman dengan bunga-bunga semerbak. Ada seekor burung kecil,
bertengger di dahan bunga raya yang menyerahkan lelahnya yang telah sepanjang
siang mempersembahkan keindahan warna. Beberapa ekor kupu-kupu seperti menari
di antara ruang udara, sebelum akhirnya hilang di kerimbunan bunga.
Bersamaan dengan khayalan itu, saya letakkan telapak tangan saya pada
kepala Kiki. Saya membelai-belai rambutnya yang disambut Kiki dengan manja,
bahkan menekukkan leher di pergelangan tangan saya. Muncullah keinginan saya
untuk merangkulnya, mendekapnya ke dada saya, sehingga terasalah bagaimana saya
dengan dia adalah bagian yang tak terpisahkan. Dengan mata yang tetap melekat
di ufuk timur, tak sadar saya berucap, ”Ya, anakku. Suaramu akan keluar bersama
keindahan purnama.”
”Sstt…,” terdengar istri saya berdesis, sambil meletakkan jari telunjuk
pada apitan kedua bibirnya. Matanya seolah-olah berkata agar saya menahan diri
untuk tidak melanjutkan kalimat yang baru saja keluar tadi.
Saya mengiyakan, justru dengan semakin mendekapkan kepala Kiki ke dada
saya. Telapak tangan saya kemudian begitu saja membelai-belai rambut di
ubun-ubunnya. Dengan takzim, saya kecup bagian istimewa tersebut yang secara
serta-merta seperti meluluhkan semua bentuk kesombongan saya dengan satu
pengakuan bahwa tugas saya adalah membuka jalan untuk anak saya bagi
kemaslahatannya setelah jalan tersebut disumbat oleh ambisi-ambisi saya pada
berbagai keserakahan; merasa diri lebih dari segala yang wujud secara
kasatmata, kemudian berhasrat menaklukkannya dalam penjara keakuan saya tanpa
tenggat, tanpa sekat.
Saya segera mengalihkan larutan perasaan itu dengan menancapkan pandangan
ke wajah istri saya. Disadarinya hal itu, ditandai dengan cara kembali membalas
tatapan saya dengan matanya. Tapi hanya sekejap, hanya sekejap. Ia kembali
menyangkutkan pandangan ke ufuk timur, tempat purnama akan memperlihatkan
wajahnya yang pertama. Masih saya lihat seulas senyum yang tersungging di
bibirnya, sebelum saya mengarahkan pandangan serupa: ke timur, ke tempat
purnama memperlihatkan wajahnya yang awal.
”ENGKAU yakin bahwa purnama malam ini akan berhasil, akan terjadi kan?”
tanya saya kemudian, pasti kepada istri saya, meskipun mata saya mengarah
kepada Kiki.
”Abang juga kan?”
Sau, darah menggemuruh di dalam tubuh saya. Tiba-tiba saja di benak saya
menandai pertanyaan balik itu sebagai cetusan keraguan tentang kedatangan
purnama. Cepat saya mencari alasan untuk menolak penandaan tersebut, tetapi
saya juga tidak dapat membohongi secebis pertanyaan yang membalik di dalam
pikiran saya sendiri—bukankah pertanyaan balik dari istri saya tersebut terjadi
karena pertanyaan saya juga? Pertanyaan tentang apakah ia yakin bahwa purnama
akan muncul malam ini, akan terjadi malam ini.
Pertanyaan-pertanyaan itulah agaknya yang membuat saya bingkas dari duduk,
menyebarkan pandangan lebih luas. Awan hitam bergayut pada beberapa tempat,
diseret angin dengan berat. Langkah saya juga ikut terangkat, menuju pagar
serambi kamar tidur kami di lantai dua ini yang memang menghadap ke timur.
Memang, serambi ini diciptakan untuk memetik berkah matahari pagi sekaligus
menimang kehadiran bulan, apalagi pada malam purnama yang seolah-olah muncul
hanya sekitar 15 derajat lebih tinggi dari lantai serambi. Tak pelak lagi,
tempat ini menjadi idola bagi kami sekeluarga ketika sedang sama-sama berada di
rumah.
”Abang yakin kan, purnama malam ini akan berhasil, akan terjadi kan?” tanya
istri saya, meniru pertanyaan saya kepadanya beberapa waktu lalu. Cuma saja,
saya tak mampu menjawab pertanyaan tersebut walaupun hanya melalui pandangan
atau tindakan tubuh lainnya, sehingga pertanyaan itu seperti mengambang dalam
senja yang makin tua. Apalagi angin yang pada awal saya berada di sini, saya
biarkan mempermainkan keinginan saya untuk malam, melalui awan hitam yang
diseretnya, telah mengisyaratkan suatu ancaman. Tirai hitam tebal yang
dibuatnya dari kumpulan mendung, tak mustahil menutup purnama yang awal, sampai
satu bulan berikutnya.
”Jadi?”
Saya tarik pertanyaan yang mengambang itu, pertanyaan yang dapat memberi
pesan sebagai pertanyaan balik atau penegasan suatu kejadian. Pertanyaan balik,
jelas mengulangi keraguan tentang jadi atau tidaknya purnama awal muncul malam
ini. Sedangkan penegasan suatu kejadian adalah bagaimana mungkin purnama awal
akan singgah di sini yang kalau dilisankan maupun dituliskan akan tertera
seperti ini, ”Jadi, purnama awal tidak akan terjadi karena ditutup mendung,
bahkan disertai hujan lebat.”
Alamak, saya tidak berani mengucapkan, apalagi menuliskan kalimat tersebut.
Sebab makna yang dibawanya adalah bagaimana kami terpaksa tidak dapat lagi
mendengar suara anak kami, Kiki. Kami harus menunggu sebulan lagi, sebab suara
Kiki hanya keluar pada purnama penuh yang awal, di antara pukul 18.00 sampai
19.00. Peristiwa yang terjadi hanya sekali dalam sebulan. Waktu sebulan untuk
menunggu sesuatu yang dirindukan, tentulah merupakan hal ikhwal luar biasa.
SYAHDAN, Kiki telah berumur enam tahun. Tapi sejak bayi, kami tidak pernah
mendengar suaranya. Ia tidak menangis, tidak tertawa, tidak mengeluarkan suara
apa pun. Tidak ada yang kurang dari alat ucap dan pendengarannya, termasuk
segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem motorik di tubuhnya. Emosionalnya
pun mantap. Ia menanggapi suatu rangsangan, bahkan memerlukannya. Kesemuanya
ini kami ketahui setelah berkonsultasi dengan berbagai ahli. Cuma itu sajalah
masalahnya, tidak mengeluarkan suara sedikit pun walau sekadar dehemen atau
lain hal yang sejenis dengannya.
Singkat cerita, begitulah kejutan itu terjadi kurang dari setahun lalu.
Kiki mengeluarkan suara, memanggil aku dan istriku, kemudian menuturkan
beberapa kalimat yang masih kuingat betul yang memang berkaitan dengan dunia
anak-anak. Setelah beberapa kali terjadi, kami kemudian mengambil kesimpulan
bahwa Kiki hanya mengeluarkan suara pada bulan purnama penuh yang awal. Tak
ayal lagi, purnama penuh yang awal merupakan waktu yang kami tunggu lebih dari
hari raya. Kami menunggunya, berkumpul di serambi kamar yang di sana-sini telah
kami hias untuk menambah kegembiraan itu.
Cuma saja, beberapa bulan terakhir, purnama penuh yang awal seperti tak
pernah ke daerah kami. Asap telah menyelimuti alam yang menutup penglihatan
dari keindahan ciptaan yang asali termasuk keindahan bintang-bintang, cahaya,
juga bulan purnama penuh yang awal—waktu penungguan kami sekeluarga. Bulan
senantiasa tersaput kabut yang berisi partikel-partikel pembakaran yang kami
sebut jerebu.
Saya dan istri saya telah bersabar menghadapi kenyataan tersebut. Ketiadaan
bulan purnama yang awal akibat ditutup jerebu, menyebabkan kami menunggu bulan
berikutnya. Tetap dengan cara yang sama. Membayangkan keindahan-keindahan
dengan perasaan penuh bahagia. Begitulah sejak sepekan terakhir, jerebu sudah
menghilang, disambut hujan yang mengepung hampir setiap hari. Limpahan air itu
memang lebih selalu mengguyur menjelang malam, seperti juga hari ini.
Suara ikamat dari masjid telah memanggil saya untuk segera meninggalkan
rumah, rukuk bersama-sama orang yang rukuk. Saya berpikir, toh waktu untuk
sama-sama bersujud itu pun tak akan lama. Semacam jadwal Kiki mengeluarkan
suara masih banyak tersisa, usai Maghrib menjelang Isya. Tapi apa hendak
dikata, hujan menderas sewaktu saya di dalam masjid.
Tirai air saya terobos tanpa mengerjakan sholat bakdiah Maghrib. Gelap di
langit terus bergayut yang telah menelan waktu Kiki untuk mengeluarkan suara.
Purnama penuh yang awal, tak jadi lagi malam ini, sehingga kami harus menunggu
bulan depan. Cahaya terang dari alam yang berada di puncaknya, terpaksa tak
dapat kami lihat lagi di bulan ini, sehingga saya dan istri, kembali tidak
dapat mendengar suara Kiki.
”Tak apalah Bang. Suara Kiki agaknya memang hanya untuk purnama penuh yang
awal, cahaya puncak dari alam—tanpa polesan yang memalsukan,” kata istri saya.
Ya, mungkin saja. Saya tak dapat memberi komentar apa-apa, pun tak berbuat
apa-apa lagi, selain hanya mengarahkan pandangan ke ufuk timur, tempat bulan
purnama penuh yang seharusnya memperlihatkan wajahnya yang awal.
***
Selasa, 20 Juli 2021
Suara 2
Label:
Cerpen,
Forum Sastra Jombang,
Taufik Ikram Jamil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar