Jumat, 09 Juli 2021

Penyelundupan Buku-Buku Pramoedya Ananta Toer

: Telur Ayam Pulau Buru Menetas Jadi Bacaan Dunia
 
Eko Darmoko
Harian Surya, Juli 2015

Pramoedya Ananta Toer, lahir 6 Februari 1925 di Blora, wafat 30 April 2006 di Jakarta. Pembaca yang gemar mengunyah candu sastra pasti mengenal Pram—begitu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia ini akrab disapa. Karya-karya magnum opus Pram justru lahir ketika ia menjadi tahanan politik (tapol) rezim Orde Baru (Orba) di Pulau Buru, 1969-1979.
 
Dari penjara di Pulau Nusakambangan, Pram dilayar ke Pulau Buru. Dalam sebuah surat yang ditulis Pram kepada anak perempuan pertamanya yang akan menikah—surat ini tak pernah sampai ke alamat yang dituju—Pram mengicaukan: “16 Agustus 1969, Kau berbulan madu di happy land yang sudah jelas. Aku ke happy land somewhere: Konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali.”
 
“Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus, kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan Kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia.” begitu bunyi surat yang tak pernah tersampaikan ini, yang dikutip dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I.
 
Di Pulau Buru inilah, lahir karya, antara lain Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Arok Dedes serta Arus Balik. Karya-karya yang lahir di Pulau Buru inilah yang membuat nama Pram berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Namun sayang, Pram tak jadi menerima Nobel lantaran keburu dipanggil Sang Pencipta Semesta.
 
“Antreannya di depan gerbang Hadiah Nobel Sastra sudah semakin dekat, tinggal tiga meter lagi, tapi dia harus pergi meninggalkan Gedung Kehidupan ini.” tulis Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan di Majalah Horison edisi XXXXI/8/2006.
 
Pram masuk Pulau Buru tahun 1969, tapi baru di tahun 1973 Pram diperbolehkan menulis dalam predikatnya sebagai tapol di Pulau Buru. “Pram diperbolehkan menulis (di Pulau Buru) setelah pemerintah mendapat desakan dari dunia internasional,” kata Oei Hiem Hwie, kawan Pram selama mendekam di Pulau Buru, saat ditemui di Perpustakaanya, Medayu Agung, Surabaya, Jumat (24/7/2015).
 
Oei Hiem Hwie dilayar ke Pulau Buru setahun setelah kedatangan Pram, menggunakan Kapal Tobelo bersama sekitar 900 tapol lainnya yang dituduh komunis, November 1970. “Sebelum bertemu di Pulau Buru, saya sudah bertemu Pak Pram beberapa kali di Surabaya dan Jakarta. Di Pulau Buru kami memanggilnya ‘Pak Pram’,” ucap Oei.
 
Diceritakan Oei, ketika Pram belum mendapatkan izin menulis di Pulau Buru, Pram terlebih dahulu mendongengkan novel-novelnya kepada para tapol lainnya. Tentu saja, dongengan ini dilakukan Pram secara sembunyi-sembunyi, sebab selalu diawasi tentara yang berjaga.
 
“Pram menulis dengan tangan, menggunakan kertas bekas wadah semen. Waktu itu, saya bertugas membersihkan kertas semen ini. Lambat laun, Pram diberi mesin ketik,” ujar Oei yang pernah menjadi wartawan Harian Pagi Trompet Masjarakat di kurun waktu 1960-an ini.
 
Mesin ketik ini adalah hadiah dari Jean-Paul Sartre, filsuf dan penulis kondang dari Perancis. Namun, mesin ketik ini tak pernah datang ke Pulau Buru. “Pemerintah menggantinya dengan mesin ketik yang jelek,” tegas Oei.
 
Aktivitas menulis seorang tapol adalah sebuah hal yang berat. Sebab, di Pulau Buru, para tapol harus melakukan kerja rodi. Waktu luang bukanlah satu-satunya kendala ketika menulis. Namun, persoalan bahan baku juga menjadi momok yang harus ditaklukkan. Pram, melalui usaha yang ‘berbahaya’ dibantu para tapol, harus mencari kertas untuk mengetik. Kertas ini berasal dari telur ayam.
 
Dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, diceritakan, Pram didatangi wartawan dan Tim Psikologi Universitas (tak dijelaskan universitas mana). Dalam sebuah wawancara, Tim Universitas ini bertanya kepada Pram: “Dari mana saudara mendapatkan kertas?” Kemudian Pram menjawab: “Saya punya delapan ekor ayam.”
 
Nah, di sinilah letak kecerdikan Pram dan para tapol yang membantunya. Mereka mengubah telur ayam menjadi kertas. “Kami memelihara ayam. Ayamnya bertelur, kemudian telur ini kami tukarkan dengan kertas di pasar Namlea (sebuah ‘kota kecil’ di Pulau Buru). Tentu saja, untuk membawa kertas-kertas ini masuk barak, harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” ujar Oei Hiem Hwie.
 
Persoalan waktu luang dan bahan baku untuk menulis sudah terpecahkan. Kini, yang harus dipikirkan adalah ‘membawa kabur’ manuskrip Pram dari Pulau Buru ke dunia luar untuk dicetak dan diterbitkan. Masih diceritakan Oei Hiem Hwie, penyelundupan manuskrip Pram untuk bisa keluar dari Pulau Buru ditempu melalui beberapa cara.
 
“Manuskrip Arus Balik dibawa Rohaniawan Katolik asal Australia. Manuskrip ini lolos sebab Rohaniawan memiliki ‘privasi’ yang tidak boleh digeledah tentara sewaktu meninggalkan Pulau Buru,” ujar Oei. Alhasil, Arus Balik—sebuah novel sejarah Nusantara berlatar Abad 16—pun terbit dan bisa dinikmati pembaca hingga sekarang.
 
Oei Hiem Hwie juga punya andil dalam menyelundupkan manuskrip Pram keluar Pulau Buru menuju dunia bebas. Oei bebas tahun 1978. Ketika bebas dan meninggalkan Pulau Buru, tapol hanya diperbolehkan membawa pakaiannya dan alat makan. Namun, Oei nakal; ia juga membawa serta manuskrip-manuskrip Pram.
 
“Manuskrip ini, di antaranya Bumi Manusia, saya campur dengan pakaian dan alat makan. Semua saya simpan dalam besek (keranjang bambu) yang dimasukkan dalam karung. Semua bawaan tapol yang bebas digeledah sebelum meninggalkan pulau, tapi saya tidak digeledah. Entah mengapa?” papar Oei yang lahir di Malang, 26 November 1930 ini.
 
Dari keberanian Rohaniawan Katolik, Oei, dan tapol lainnya yang (mungkin) juga ikut menyelundupkan manuskrip Pram, generasi zaman sekarang bisa membaca buku-buku Pram. Tidak hanya Orang Indonesia saja, Orang Asing dari belahan dunia lain juga bisa membaca buku-buku Pram.
 
Sebanyak 50-an buku Pram, termasuk yang ‘menetas’ dari telur ayam di Pulau Buru, sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Karya-karya Pram mendunia dan selalu menjadi bahan kajian para kritikus sastra. Dan buku-bukunya selalu menjadi buruan para pengunyah candu sastra.
***

https://sastra-indonesia.com/2021/07/penyelundupan-buku-buku-pramoedya-ananta-toer/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar