Kamis, 29 Juli 2021

Memoir dari Kampus Tirani

Esti Nuryani Kasam
Republika, 2 Sep 2007
 
Beberapa hari terakhir aku lebih menurutkan dahaga untuk membaca surat kabar ketimbang perutku yang mulai terbiasa lapar. Aktualita itu tiba-tiba menyeruak seperti banjir penghujan melanda Jakarta. Aku bahkan sengaja memburunya, tak lupa mengklipingnya. Sekurangnya itu menjadi referensi baru untuk memoirku.
 
Sejenak kupandangi dinding kamar kosku: penuh artikel dan slogan peradaban, bersumber pada agama, pendidikan, filsafat, sampai sastra. Semuanya berhubungan dengan kemanusian. Yang paling mencolok adalah slogan Max Havelar yang dirancang Douwes Dekker, "Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia", diikuti seuntai teori Paulo Freire, "Pendidikan adalah proses memanusiakan kembali manusia".
 
Dan sekarang, untuk kedua kalinya, berita pembunuhan dari kampus tirani itu menyeruak. Serasa tumbuh lagi semangatku untuk mempublikasikan catatan harianku, pengalamanku di kampus itu. Hanya dua tahun memang, tetapi rasanya itu cukup menjejali bulu mata, isi kepala dan getar perasaanku mengenai friksi-friksi yang selalu membuatku bergidik.
 
Dan, Bapak? Tiba-tiba ia berubah seperti teman-temanku di kampus. Seringkali menjelma srigala, mengeluarkan taringnya, dan kuku-kukunya perlahan memanjang, siap mencakar siapa saja. Bulu kuduknya menegak dengan gemuruh kegeraman yang siap mencengkeram siapa saja.
 
Dan, kegeramannya itu diletuskannya dalam bentuk tendangan di dada, dengan tumitnya, pukulan perut dengan kepalan tangannya atau sodokan pinggang dengan tempurung lututnya. Lalu kami berjatuhan, mengaduh karena liver yang memar, buah pelir yang pecah atau tulang rusuk yang retak. Sekali aku pingsan karena kepalaku dibenturkan ke tembok. Itu dulu, ketika aku menjadi mahasiswa pemula.
 
Hampir setahun sejak mengalami kekerasan itu, tiba-tiba aku masuk sebagai tim pemlonco mahasiswa baru. Aku harus menjalankannya. Tetapi, aku tidak ingin menyakiti mereka. Membuat pingsan, apalagi merusak organ tubuhnya. Sebab, kata-kata sederhana orangtua, kesadaran belajar, kepintaran, harapan, telah terbiasa mengitari kehidupanku.
 
Tetapi, agaknya, kata-kata besar itu, di kampus kami, lenyap entah ke mana. Syukurlah, tidak di lipatan perasaanku. Rupanya ada ceceran yang tersisa di ingatan dari sekian bacaan yang menemani rentangan waktu senggangku.
 
Kini aku malahan mengkristalkan ingatan-ingatan itu. Sampai pada suatu kesempatan, aku mendapat tugas untuk menghukum seorang mahasiswa baru. Entah mengapa mandat itu menjadi begitu penting. Dan, yang lebih tak kupahami lagi, satu orang itu harus menghadapi kami bersebelas. Aku tak bisa mempertanyakannya. Yang kutahu ia seorang yang kritis.
 
Jadi barangkali benar, adanya kabar ia telah memprotes pemotongan gaji PNS yang sepuluh ribu perbulan itu. Aku tersenyum membanggakannya. Malah ia sosok harapan bangsa. Sebab, manusia atau bangsa, yang ingin besar, membutuhkan keberanian untuk berenang melawan arus.
 
Tetapi, ya Tuhan! Imbauan kesepakatanku agar memintanya push up saja lima kali di hadapan kami menghidupkan kecaman. Aku diteriaki sebagai banci. Mereka mengusirku. Aku tak kecewa. Dengan senang hati aku pergi. Bukan sekedar menjauh, tapi melarikan diri. Dan, sejak itu aku tak lagi menyebutnya sebagai lembaga pendidikan, melainkan kampus tirani. Dan, nasib anak itu? Aku terus saja memikirkannya. Lalu mulai menertawakan diri sebagai pengecut.
 
Pada keluarga Om, seorang ustadz, aku mengatakan itu sebagai pelarian. Tentu, yang pertama dari perasaan berdosa, menyaksikan penyiksaan demi penyiksaan oleh teman terhadap adik kelas yang lain. Selanjutnya, dari bapak yang begitu gagah menjual sawah sebagai uang pelicinku untuk dikirim ke kampus tirani itu. Suaraku dianggapnya angin lalu ketika kukatakan bahwa pendidikan otoriter itu bukan minatku.
 
Bapak menyumpahiku. Akhirnya, aku seperti kerbau dicocok hidungnya. Dan, terapi penyiksaan itu, seolah menyentak kesadaran tentang nilai kemanusiaan dalam sanubariku. Tetapi tentu, bapakku takkan pernah mau tahu. Terang saja, kabar itu segera kudengar setelah Omku datang dari kampung.
 
"Kau jangan pulang dulu. Mas bahkan tak ingin lagi menganggapmu anak." "Ibu bagaimana?"
"Kukatakan padanya, jika ingin menemuimu, aku bisa mempertemukan di luar sepengetahuan mas."
"Tapi, Om tak lupa katakan padanya kan bahwa Bapak tak perlu kembalikan uang pendidikanku di sana? Aku tak apa dianggap mati. Pokoknya bilang saja bahwa aku tak pulang. Saya lebih suka orang berfikir saya mati. Ya, andai saja mereka tahu kampus itu seperti kamp eksekusi."
 
Sudah hampir tiga setengah tahun aku bergulat mempertahankan hidup. Siang aku seorang kuli bangunan dan malam aku belajar dari sanggar ke sanggar. Pada dua iklim kehidupan itu aku mendapat pelajaran yang masuk akal. Berbeda dengan kebanyakan orang sanggar yang hidup demi idealisme, maka idealismeku untuk mempertahankan hidup.
 
Aku bernafas diantara praktisme dan teorisme. Kerja dan bertapa. Dan menulis adalah dokumentasiku mengenai romantika hidup tentang keindahan yang patut dilestarikan, kelucuan yang pantas ditertawakan, kepedihan yang seharusnya mengharukan, dan kebusukan. Aku sedang memotretnya agar orang-orang memahui, mengeyahkannya dan menggantinya dengan yang wangi.
 
Suara sepeda motor perlahan mendarat di telingaku. Aku melongok lewat jendela. Seorang dosen, penulis, wartawan, editor sekaligus teman tempatku berkeluh kesah, terlihat mengisyaratkan harapan. Sekantung makanan, oleh-oleh untukku seperti kebiasaannya, dan beberapa bundel koran.
 
Hal yang tidak biasa, "Ini peliputan terakhir tentang kasus penyiksaan hingga tewas di kampusmu itu. Rasanya, untuk yang kedua kali kasus itu terbongkar, sekarang berbagai pihak mengecam dan mendesak pengusutan tuntas. Bahkan, para pelaku kunci dan penanggung jawab institusi telah dipecat," katanya.
 
"Ayolah! Berikan skripmu itu padaku, aku kerja keras mengeditorinya, naik cetak, dan saat launching buku saja kau buka kartu hidupmu di depan banyak wartawan. Percayalah, tak akan ada masalah!" ceracaunya, sambil memelototi tanganku.
 
Dengan sigap ia lantas menyerobot skripsi. "Nah, nah, pasti niat itu sudah muncul di benakmu. Ya, kan?"
 
Kali ini aku tak berusaha merebutnya kembali. Kubiarkan ia menikmati kegirangan, berjalan menjauh sambil memperbaiki ikatan rambut gondrongku. Akupun menimpalinya dengan derai tawa. Mungkin aku sedang menertawakan sebuah tragedi.
 
***
http://sastra-indonesia.com/2021/07/memoir-dari-kampus-tirani/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar