Kamis, 15 Juli 2021

50 Tahun Taufiq Ismail Bersastra, Penjaga Moral Sastra yang Teguh

Rakhmat Giryadi, Ary Nugraheni
surabayapost.co.id
 
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Di batas cakrawala
 
Penggalan bait puisi Dengan Puisi Aku yang dinyanyikan grup Bimbo tahun 70-an itu terasa sekali sebagai kredo Taufiq Ismail untuk meneguhkan dirinya sebagai penyair sampai akhir hayatnya. Jarang sekali seniman yang berpendirian seperti ini. Selama 50 tahun sudah, Taufiq telah meneguhkan sikapnya itu untuk tetap bersyair.
 
Keteguhan sikapnya itu ditandai dengan sebuah konser yang dipersembahkan oleh Dwiki Dharmawan bertajuk Tribute to Tauifiq Ismail, Kamis (4/12) di Gedung Menara 165 TB Simatupang Cilandak Jakarta. Konser itu juga melibatkan Bimbo, Achmad Albar, Krisdayanti, dan penyanyi termuda Dea Imut.
 
Dwiki Dharmawan selaku konduktor dalam konser ini mengatakan, momentum ini diangkat sebagai landasan saja. Menurut Dwiki, Taufiq Ismail layak mendapatkan sebuah penghargaan berupa konser. “Dengan konser ini, bakal tumbuh sebuah kebutuhan masyarakat akan adanya acara yang berakar pada kekuatan agamis dan moral serta memiliki makna kearifan dan spiritual,” terang Dwiki.
 
Sebagai penyair, dia tidak saja memperjuangkan estetika belaka, tetapi, puisi-puisinya banyak memberikan inspirasi, ajaran religius, dan juga kritikan yang tajam. Buku puisi semacam Benteng dan Tirani (1966), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1999), merupakan bukti kepedulian Taufik kepada negerinya.
 
Dalam puisi “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” misalnya, Taufiq dengan keras mengkritik kebobrokan hukum di Indonesia. Maka iapun menulis, “.. Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/ Berjalan aku di/Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,/Berjalan aku di Sixth Avenue,/Maydan Tahrir dan Ginza/Berjalan aku di Dam, Champs lys’es dan Mesopotamia/Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/Dan kubenamkan topi baret di kepala/Malu aku jadi orang Indonesia?”
 
Atas pilihannya itu, Taufiq harus menerima risiko. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan (1963), gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor.
 
Kejadian itu justru menjadikan titik balik cita-citanya. Taufiq akhirnya memantapkan diri menjadi penulis di berbagai media, jadi wartawan, dan bahkan mendirikan majalah sastra Horison tahun 1966.
 
Taufiq tidak hanya sekadar menulis puisi kritik sosial. Tetapi yang fenomenal adalah puisi-puisi religiusnya juga dinyanyikan grub Bimbo dari tahun 1960-an. Bahkan hingga kini, grup pimpinan Samsudin Hardjakusumah (Sam Bimbo) masih menyanyikan syair-syai Taufiq. Syair Taufiq tidak hanya dinyanyikan Bimbo, tetapi juga Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurut Taufik kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
 
Sebai penulis puisi religius, karya Taufiq sangat sublim. Sebut saja syair Tuhan, yang populer dinyanyikan Bimbo tahun 70-an itu. Syairnya sederhana tetapi memiliki kedalaman. Simak syair ini “Aku jauh, engkau jauh/Aku dekat, engkau dekat/Hati adalah cermin/Tempat pahala dosa berpadu..”
 
Baginya, puisi baru “memperoleh tubuh yang lengkap” jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di tiga tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
 
Keteguhan Taufiq menjaga moral lewat karya sastra tercermin dalam polemik sastra “Gerakan Syawat Merdeka,” 2006 lalu. Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf.
 
Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 ini mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), lewat sastra yang hanya mengekploitasi syahwat. Pidato itu memancing reaksi sangat keras oleh para sastrawan yang merasa “tertuduh”. Tetapi Taufiq bergeming.
 
Keteguhannya hingga sekarang itulah yang layak dihargai. Dilahirkan di Bukittinggi 25 Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan, Taufiq memang tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca.
 
Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka. Namun ia sukses menjadi sastrawan.
 
“Saya terharu, karena sepanjang hidup, baru kali ini ada konser tribute untuk saya sendiri yang lagu-lagunya diambil dari karya puisi-puisi saya,” kata Taufiq sambil meneteskan air mata di hadapan puluhan wartawan, sebelum konser dimulai kemarin.
 
Pecinta karya sastranya disuguhi lima karya sastra baru yang lirik lagunya sudah dikomposer oleh suami Ita Purnamasari ini. Yakni, puisi berjudul “Dunia Damai”, “Pena” dan Tinta, Dzikir Tak Ada Putus-putusnya, Undangan Tuhan, dan Jalan Menuju Surga.
 
“Syair-syair dalam puisi terbaru itu, saya ambil dari keinginan saya untuk bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat nanti. Insyaallah,” ujar Taufiq dengan suara lirih.
 
“Saya berharap, bagi yang mendengarnya nanti agar diberikan kedamaian dan kesejukan hati di tengah menjalani kehidupan di dunia yang mulai keras ini,” lanjutnya.
 
Harapan Taufiq saat ini sudah tercermin dalam bait “Dengan Puisi” yang diciptakan 40 tahun lalu, “Dengan puisi aku mengenang/Lama nian dia akan datang/Dengan puisi aku menangis/Jarum waktu bila kejam mengiris/Dengan puisi aku mengutuk/Nafas jaman yang busuk/Dengan puisi aku berdo’a/Perkenankanlah kiranya.”
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/50-tahun-taufiq-ismail-bersastra-penjaga-moral-sastra-yang-teguh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar