Rakhmat Giryadi, Ary Nugraheni
surabayapost.co.id
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Di batas cakrawala
Penggalan bait puisi Dengan Puisi Aku yang dinyanyikan grup Bimbo tahun
70-an itu terasa sekali sebagai kredo Taufiq Ismail untuk meneguhkan dirinya
sebagai penyair sampai akhir hayatnya. Jarang sekali seniman yang berpendirian
seperti ini. Selama 50 tahun sudah, Taufiq telah meneguhkan sikapnya itu untuk
tetap bersyair.
Keteguhan sikapnya itu ditandai dengan sebuah konser yang dipersembahkan
oleh Dwiki Dharmawan bertajuk Tribute to Tauifiq Ismail, Kamis (4/12) di Gedung
Menara 165 TB Simatupang Cilandak Jakarta. Konser itu juga melibatkan Bimbo,
Achmad Albar, Krisdayanti, dan penyanyi termuda Dea Imut.
Dwiki Dharmawan selaku konduktor dalam konser ini mengatakan, momentum ini
diangkat sebagai landasan saja. Menurut Dwiki, Taufiq Ismail layak mendapatkan
sebuah penghargaan berupa konser. “Dengan konser ini, bakal tumbuh sebuah
kebutuhan masyarakat akan adanya acara yang berakar pada kekuatan agamis dan
moral serta memiliki makna kearifan dan spiritual,” terang Dwiki.
Sebagai penyair, dia tidak saja memperjuangkan estetika belaka, tetapi,
puisi-puisinya banyak memberikan inspirasi, ajaran religius, dan juga kritikan
yang tajam. Buku puisi semacam Benteng dan Tirani (1966), Malu Aku Jadi Orang
Indonesia (1999), merupakan bukti kepedulian Taufik kepada negerinya.
Dalam puisi “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” misalnya, Taufiq dengan keras
mengkritik kebobrokan hukum di Indonesia. Maka iapun menulis, “.. Langit akhlak
rubuh, di atas negeriku berserak-serak/ Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/
Berjalan aku di/Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,/Berjalan aku di
Sixth Avenue,/Maydan Tahrir dan Ginza/Berjalan aku di Dam, Champs lys’es dan
Mesopotamia/Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/Dan
kubenamkan topi baret di kepala/Malu aku jadi orang Indonesia?”
Atas pilihannya itu, Taufiq harus menerima risiko. Karena menandatangani
Manifesto Kebudayaan (1963), gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di
Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor.
Kejadian itu justru menjadikan titik balik cita-citanya. Taufiq akhirnya
memantapkan diri menjadi penulis di berbagai media, jadi wartawan, dan bahkan
mendirikan majalah sastra Horison tahun 1966.
Taufiq tidak hanya sekadar menulis puisi kritik sosial. Tetapi yang
fenomenal adalah puisi-puisi religiusnya juga dinyanyikan grub Bimbo dari tahun
1960-an. Bahkan hingga kini, grup pimpinan Samsudin Hardjakusumah (Sam Bimbo)
masih menyanyikan syair-syai Taufiq. Syair Taufiq tidak hanya dinyanyikan
Bimbo, tetapi juga Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok
Harahap. Menurut Taufik kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik
puisi lebih luas.
Sebai penulis puisi religius, karya Taufiq sangat sublim. Sebut saja syair
Tuhan, yang populer dinyanyikan Bimbo tahun 70-an itu. Syairnya sederhana
tetapi memiliki kedalaman. Simak syair ini “Aku jauh, engkau jauh/Aku dekat,
engkau dekat/Hati adalah cermin/Tempat pahala dosa berpadu..”
Baginya, puisi baru “memperoleh tubuh yang lengkap” jika setelah ditulis,
dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan
Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad
sebelumnya, di tiga tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar.
Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung
kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga
terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Keteguhan Taufiq menjaga moral lewat karya sastra tercermin dalam polemik
sastra “Gerakan Syawat Merdeka,” 2006 lalu. Di depan Akademi Jakarta pada 20
Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah
pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka”
yang berisi 37 paragraf.
Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 ini mengeluhkan dan merisaukan
munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan
oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), lewat sastra yang hanya mengekploitasi
syahwat. Pidato itu memancing reaksi sangat keras oleh para sastrawan yang
merasa “tertuduh”. Tetapi Taufiq bergeming.
Keteguhannya hingga sekarang itulah yang layak dihargai. Dilahirkan di
Bukittinggi 25 Juni 1935 dan dibesarkan di Pekalongan, Taufiq memang tumbuh
dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca.
Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan
sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki
bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI
Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di
sebuah pulau di Selat Malaka. Namun ia sukses menjadi sastrawan.
“Saya terharu, karena sepanjang hidup, baru kali ini ada konser tribute
untuk saya sendiri yang lagu-lagunya diambil dari karya puisi-puisi saya,” kata
Taufiq sambil meneteskan air mata di hadapan puluhan wartawan, sebelum konser
dimulai kemarin.
Pecinta karya sastranya disuguhi lima karya sastra baru yang lirik lagunya
sudah dikomposer oleh suami Ita Purnamasari ini. Yakni, puisi berjudul “Dunia
Damai”, “Pena” dan Tinta, Dzikir Tak Ada Putus-putusnya, Undangan Tuhan, dan
Jalan Menuju Surga.
“Syair-syair dalam puisi terbaru itu, saya ambil dari keinginan saya untuk
bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat nanti. Insyaallah,” ujar Taufiq dengan
suara lirih.
“Saya berharap, bagi yang mendengarnya nanti agar diberikan kedamaian dan
kesejukan hati di tengah menjalani kehidupan di dunia yang mulai keras ini,”
lanjutnya.
Harapan Taufiq saat ini sudah tercermin dalam bait “Dengan Puisi” yang
diciptakan 40 tahun lalu, “Dengan puisi aku mengenang/Lama nian dia akan
datang/Dengan puisi aku menangis/Jarum waktu bila kejam mengiris/Dengan puisi
aku mengutuk/Nafas jaman yang busuk/Dengan puisi aku berdo’a/Perkenankanlah
kiranya.”
***
Kamis, 15 Juli 2021
50 Tahun Taufiq Ismail Bersastra, Penjaga Moral Sastra yang Teguh
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar