Jumat, 25 Juni 2021

Sajak-Sajak A. Muttaqin

cetak.kompas.com
 
Kuda Cahaya
 
Dia hanya kelebat, secepat kilat, tapi rambutnya yang panjang dan pekat, membebat kakiku yang jadi ungu setelah menyebut namamu: Kau yang lebih tinggi dari mimpi, lebih senyap dari sepi, lebih rinai dari bunyi. Dan dengan semua yang berakhir /i/ yang tak juga sampai
 
di watas wiru ini, ia memenuhi panggilanmu. Mencuci luka juga bunga-bunga yang tak jadi madah.
 
Menggenapkan sumpah juga rima setia yang masih kubaca dengan terbata-bata, seperti memburu ringkik kuda yang mengantarnya ke padang habbah.
 
(2008)
 
 
 
Meditasi Kelelawar
 
Tetap kusesap susu gelapmu, seperti rindu yang mengaliri nadiku. Bunga dan buah telah jatuh ke tanah. Dan aku pun menukar kaki dan kepala, lalu bersembunyi ke goa-goa, di mana pernah Kau datangi ia, yang gemetar, sebab di luar burung-burung besar menumpas belibis dan
 
camar,
 
sementara ular-ular menjalar memburu darahku yang paling mawar. Hingga aku pun terus sembunyi, seperti menepis samsu yang menggelapi mata dan kulitku. Lalu malam menjadi ibu, dan aku tetap menyusu gelapmu, menghikmati buah-buah, juga bulan sipit yang tersenyum meminta.
 
(2008)
 
 
 
Metamorfosis
 
Pada mulanya adalah bunga: sekuntum doa yang menggigil di bibir senja. Pada mulanya adalah bunga: kelopak mata yang mekar di kedalaman rahasia. Pada mulanya adalah bunga: setangkai cinta yang akan jadi buah. Rindu
 
menerbangkan kumbang pada luka dan lekuknya. Dan ia meronta, seperti desah, serupa suluk bahagia. Seribu kunang-kunang pun bangkit di duli kuningnya, seperti bayi-bayi cahaya yang menetas dari perut gerhana.
 
(2008)
 
 
 
Menghormati Bunga Bangkai
 
Dengan bau tubuh dan sisa birahimu, kembali kaupikat aku. Batangmu berlendir, daunmu bergigir, dan kelopakmu berdesir seperti sihir yang menyisir setiap sayap kumbang yang kintir. Hidupmu membandang di air. Dan perairan yang menghidupimu terus mengalir seperti sejarah yang tak tahu bagaimana menghilir. Di situlah kelopakmu mekar seperti bibir tuba yang mahir.
 
Sedang aku hanya kupu-kupu dungu yang diterbangkan angin dengan lapar dan luka di bibir. Cinta seperti bir yang menyembuhkan segala anyir. Dan aku pun kembali mencucup getahmu, seperti melupakan sejarah batu dan udara busuk yang memburu. Hingga, aku pun kembali jatuh dan memelukmu yang kini mekar menamparku, seperti maha batu.
 
(2008)
 
 
 
Jamur Tidur
 
Sepucat bulan pasi ia menunggumu, dengan baju terigu ia mendatangiku: putih, terlampau nyeri, seperti kejantanan lelaki yang meninggi, mengutuki bunga-bunga mendung
 
yang berjalan pelan, mirip puan yang melahirkanmu di taman uban, di mana semut dan maut terus bergandengan, menyeret impian dan membunuhku pelan-perlahan.
 
(2008)
 
 
 
Taman Putma
 
Dari pancaroba, dari musim panas nan bertuba, kutemukan selembar Putma: sebidang taman yang menyimpan kuncup madah dan kembang purba. Di tangkainya yang tengadah, tubuhku memerah seperti kuncup doa yang membakar mata senja. Tanganku pun berkobar,
 
terbakar sepasang mawar di dadamu yang mengajar
 
tak gentar, biar di luar, dua unggas besar menanti ajalku. Lalu, pada detik yang luput, pada waktu yang siput,
 
bulan jadi marmut, berjalan melompat seperti menyisipkan maut lain di atas ketelanjanganmu yang tak tersalin
 
sebibir cermin.
 
Birahi adalah beringin, ingin yang menusuk seribu dingin. Dan di atas angin, sepasang maut telah kawin, membikin langit dan nafasku serupa lilin.
 
(2008)
 
 
 
Surat Katak
 
Duh, gerimis yang meniris pelipis. Aku tak ingin menangis dan mengiris kupingku tipis-tipis. Anggur-anggur tak lagi manis. Dan gadis-gadis mencopot mawar dari tempiknya tanpa tangis. Telaga telah merah, dan di kedalamannya yang dulu membuat tuhan datang dengan dendang bunga- bunga, ikan-ikan menggeliat seperti rasa gatal yang melompat dari laut keparat. Kecebong-kecebongku masih
 
hijau,
 
dan entah mengapa ia selalu mengigau, menyebut yang terus terubus dalam tidurku. Hujan telah berwarna ungu. Dan di lembabnya yang meninggikan jamur-jamur waktu, mimpiku memutih seperti doa-doa yang kembali. Langit jadi merih, seperti ada yang merintih. Dan di mendungnya yang lunglai, codot-codot meninggi, seperti keinginan yang terkutuk dari bumi. Seperti suaraku yang kini lerai bersama pelangi yang pucat pergi.
 
(2008)
 
 
 
Lonceng Merpati
 
Setipis alismu, bulan tersenyum padaku, melepas dua merpati yang kini bersarang di bukit jauh, di mana rindu adalah sungai yang melambai dan tak akan kembali.
 
Sementara kunang-kunang terus berhamburan dari mataku, menggertak malam dan bulan tipis yang timbul-tenggelam di ujung pejam.
 
Di sepasang paruku, seekor piyik putih masih menunggu bulan itu mekar, menebar kuntum mawar dan padi liar, tapi
 
sepasang pungguk yang menungguinya terus meringkuk, seperti induk kutuk yang membusuki telur dan tidur tidurku.
 
(2008)
 
 
 
Keluarga Lumut
untuk 100 tahun kesunyian
 
Mula-mula, kakekku hanyalah basah yang mengawini tanah, dan ayahku hanya jamur yang sulit tidur tapi ibuku adalah lumut yang merebut serbuk ayah dari rasa takut dan melahirkanku di bukit kabut. Tapi aku tak menangis. Kepada rumput aku berkata bahwa aku akan tumbuh, mencucup bibir surya yang ditutup daun-daun luka. Batangku keras dan bergetah, akarku menancap di kedalaman rahasia. Hingga, buahku jadi merah
 
dan setiap mata yang melihatnya akan menyala. Burung- burung yang bersarang di sana, akan menetaskan cahaya. Dan gajah-gajah yang memakannya akan melepas gading dan belalainya. Lalu hantu dan drakula yang singgah akan melepas bajunya, seperti ketelanjangan pertama: ketelanjangan yang melahirkan aku dari ibu dan ayah
 
yang tak lagi menggigil karena lupa. Sebab semua akan kembali ke tanah, kecuali anu yang lebih besar dari sependar nama.
 
(2008)

A Muttaqin lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Bergiat di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Teater Institut, serta bekerja sebagai editor pada sebuah penerbit di Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2010/07/sajak-sajak-a-muttaqin-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar