Harian Analisa, 5 April 2020
Tak ada bir, tak ada kapak, yang ada harmonika di tangan. Namun Sutardji Calzoum Bachri, dalam usianya ke 79 tahun, masih tetap menyihir puluhan sastrawan dan sekitar seratus undangan, guru dan mahasiswa, yang memenuhi Pendopo Umar Baki, Binjai Sabtu (14/3)
Meski fisiknya tak lagi setegar saat membacakan sajak-sajak mantranya tahun 1980-an, namun gesekan harmonikanya yang mengalir dan menandai saat ia beralih dari satu larik ke larik lain dari sajaknya, Tanah Air Mata, ia terdengar seperti tengah mengerang penuh rasa luka, meratap, meraung…
Tanah airmata tanah tumpah dukaku/mata air airmata kami/airmata tanah air kami/di sinilah kami berdiri/menyanyikan airmata kami/di balik gembur subur tanahmu/kami simpan perih kami/di balik etalase megah gedung-gedungmu/kami coba sembunyikan derita kami/kami coba simpan nestapa/kami coba kuburkan duka lara/tapi perih tak bisa sembunyi/ia merebak kemana-mana/bumi memang tak sebatas pandang/dan udara luas menunggu/namun kalian takkan bisa menyingkir/ke manapun melangkah/kalian pijak airmata kami/ke manapun terbang/kalian kan hinggap di air mata kami/ke manapun berlayar/kalian arungi airmata kami/kalian sudah terkepung/takkan bisa mengelak/takkan bisa ke mana pergi/menyerahlah pada kedalaman air mata/
Sajak itu dicipta tahun 1991, saat di tanah air, ujung tahun 1990, marak terjadi penggusuran tanah-tanah petani yang di-backup aparat bersenjata. Atas nama “pembangunan” dan pahlawan pmbangunan, petani Kedung Ombo, Cimacan, Badega harus merelakan tanah mereka digusur. Sekali lagi demi pembangunan. Paradoks pembangunan ala Orde Baru ini melahirkan sajak Perlawanan dan Tentang Sebuah Pergerakan dari Wiji Thukul yang sangat populer di kalangan aktivis mahasiswa dan aktivis LSM pergerakan tahun 1980-an.
Penyair adalah saksi zamannya, terutama saat jurnalisme bungkam terhadap realitas penindasan. Itu juga yang membuat Seno Gumira Ajidarma menulis sejumlah cerita pendek, yang lalu dibukukan dalam Saksi Mata, saat majalah tempat ia bekerja dibreidel. Saat ia tak lagi bisa menulis realita sesuai narasi versi kekuasaan resmi. Jadilah fiksi sebagai narasi.
Mata Air Peradaban
Tatan Daniel menyebut, karya sastrawan, budayawan, adalah sumber mata air peradaban sebuah bangsa. Tapi siapa yang sudi menghargai mata air peradaban itu? “Padahal negara ini lahir, NKRI ini diukir lewat puisi,” tegas Sutardji Calzoum Bahri.
Presiden Penyair Indonesia itu tampil di Binjai. Mungkin ini jadi penampilan yang mengakhiri kemarau panjang penyair nasional di Sumut. Dan Sutardji datang atas undangan Kosambi, komunitas penggiat sastra di Binjai yang dimotori penyair Tsi Taura, Suyadi San, Saripuddin Lubis dll. Sutardji tak hanya tampil membacakan satu puisi karyanya. Bersama Tsi Taura dan Shafwan Hadi Umry, ia turut membincang sosok Damiri Mahmud dan dunia perpuisian.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap kiprah (alm) Damiri Mahmud, Kosambi tak hanya memberi santunan untuk keluarga Damiri Mahmud, mereka juga menerbitkan buku Antologi Puisi Mengenang Damiri Mahmud, Mahligai Penyair Tiitipayung.
Buku antologi puisi itu berisi 120 judul puisi dari 74 penyair. Sejak disebar undangan ke publik untuk menulis puisi mengenang ketokohan Damiri Mahmud, kurang dari 2 minggu ( 7 20 Januari 2020), tim Kosambi menerima 205 puisi karya 137 penyair. Cukup mengagetkan. Setelah dikurasi Tsi Taura dan Saripuddin Lubis, dari 205 puisi, terpilih sebanyak 120 puisi.
Para penyair yang mengirimkan karya mereka berdatangan dari berbagai provinsi seperti Aceh, Sumut, Riau, Kepri, Sumbar, Sumsel, Lampung, Banten, Jakarta, Jabar, Yogyakarta, Jateng, Kalti, Kalsel, Sulut, Maluku dan Maluku Utara. Ada juga dari Kuala Lumpur, Malaysia.
Antologi Artikel Sastra Damiri Mahmud
Tsi Taura, penyair yang telah menerbitkan buku kumpulan puisinya, Pengantin Kabut Laut, menyebut almarhum Damiri Mahmud sosok sastrawan langka. Damiri mengabdikan seluruh hidupnya untuk sastra. Tak ada lagi pekerjaan lainnya yang dilakoni seperti sastrawan lain, selain pernah jadi guru di sebuah madrasah. Meski sudah mengenal almarhum sejak 1980-an, terutama lewat kritik-kritik sastra almarhum yang dimuat di beberapa surat kabar Medan, namun baru tahun 2011 ia berkenalan langsung.
Beberapa puisi karya penyair senior seperti Sutardji Calzoum Bachri, D. Zawawi Imron, Yudhistira ANM Massardi, Fakhrunnas MA Jabbar, Rida K Liamsi, Isbedy Stiawan ZS, Foeza Hutabarat, terdapat dalam buku yang dicetak menggunakan hard cover itu.
“Saya memang suka berkawan dengan orang-orangtua, kebetulan kami juga sama-sama penyuka Rumi dan Laotze,” ujar Tsi Taura saat ditemui usai acara peluncuran buku. Sebagai sesama penyair, meski awalnya Tsi Taura sejak tahun 1980 lebih banyak menulis cerita pendek, baru belakangan menulis puisi, Tsi Taura mengaku kagum dengan kepiawaian almarhum membuat kritik sastra. Terutama terhadap puisi.
Saat membedah puisi-puisi karyanya, almarhum melakukan wawancara panjang dengan dirinya selaku penyair. “Jadi dia mengkaji puisi saya sampai ke akar-akarnya, bukan berangkat dari teks semata,” ujarnya. Teks dan konteks memang salah satu metode dalam kritik sastra.
Kosambi menurut Tsi Taura tak hanya berhenti memberi apresiasi terhadap almarhum dengan menerbitkan buku antologi puisi. Mereka kini tengah berancang-ancang menerbitkan artikel-artikel yang pernah ditulis almarhum di berbagai media massa. Tulisan-tulisan itu sudah terkumpul. Jumlahnya cukup banyak, berkisar 800 artikel. Jika dibukukan, mungkin sekitar 400 halaman buku.
Di tengah defisit penghargaan pemerintah terhadap para sastrawan yang karya-karyanya ikut memberi kontrubsi bagi keadaban bangsa, inisiatif Tsi Taura dengan Kosambi, mendapat tanggapan positif. Salah satunya dari Tatan Daniel, penyaksi sekaligus kelompok seniman TIM yang menjadi korban “perseteruan” dengan Pemrov DKI Jakarta dalam proyek revitalisasi TIM.
“Bayangkan sewa gedung untuk kegiatan seni mau disamakan dengan kegiatan swasta semata demi pundi-pundi PAD,” ujar Tatan geram. Sebuah pelecehan nyata-nyata terhadap seniman. Tak heran saat ada undangan untuk menulis puisi mengenang kiprah kesastraan almarhum Damiri Mahmud dari Kosambi, ia langsung trengginas, bahkan datang ke Binjai saat acara peluncuran buku kumpulan puisi ode untuk Damiri Mahmud dibesut.
“Siapa yang mau ambil perhatian terhadap bang Damiri, kecuali Mat Kilau,” ujarnya. Setuju, jadi wahai puan tuan, jangan biarkan air mata para penyair negeri ini kering. Sebab dari mereka juga mengalir air mata peradaban. Air mata yang takkan habis direguk meski jasad sudah terbaring di tanah seperti kata Sutardji Calzoum Bachri: “Tak ada penyair mati/selama masih dibaca sajaknya/
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar