Kamis, 27 Agustus 2020

Belajar (Lagi) Pada Kata

 Amien Kamil

Dari segala macam pengalaman puitik, aku teringat pada apa yang dikatakan oleh karakter John Keating yang dimainkan dengan sangat apik sekali oleh Robin Williams dalam film “Dead Poet Society”, sebuah film Amerika produksi 1989. Adegannya di dalam kelas. Ia bercerita tentang seorang pengajar bahasa inggris di sebuah sekolah khusus laki laki pada era 1950-an yang memberi inspirasi pada murid-muridnya untuk selalu membuat perubahan dalam hidup mereka dan mengajak mereka untuk selalu tertarik dan mencintai puisi. Ia bilang;

“Kita tak membaca ataupun menulis puisi karena hal itu unik. Kita membaca ataupun menulis puisi karena kita sadar bahwa kita adalah anggota dari ras manusia. Menjadi manusia haruslah diisi dengan gairah. Segala macam ilmu entah itu Kedokteran, Hukum, Bisnis ataupun Teknik adalah mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Namun Puisi, Keindahan, Asmara dan Cinta adalah alasan kita untuk selalu, selalu, selalu dan berusaha untuk tetap hidup!”

Dalam menghadapi dan menghayati kehidupan serta bergumul dengan dunia kesenian dan kesusastraan, akhirnya aku mendapat pelajaran dan pencerahan. Aku bilang pada diriku sendiri bahwa "Puisi itu bagai doa yang membasuh dosa, Puisi itu bisa menjadi kunci pagi, siang dan malam, yang akan membuka gembok langit yang menyimpan berbagai rahasia dan harta karun mutiara kehidupan. Niscaya walaupun kau dalam kegelapan ada secercah cahaya yang akan menuntunmu menemu jalan terang yang menggali kebenaran. Bila puisi menjadi ibu bagi penciptaan orkestra, maka nada-nadanya adalah spektrum warna-warni yang ketika diurai akan menjadi rangkaian gerak indah berupa tari yang tak hanya akan menjadi repetisi komposisi gerak mati tanpa muncul kesadaran yang mengacu kepada hakikat jiwa. Karakter kata dalam puisi dan segala interpetasi didalamnya bisa didedahkan dengan menjahit aneka simbol untuk menjelajahi kedalaman makna hingga seakan tercipta bias bias cahaya transparan yang akan memberi asosiasi, juga impresi hingga sampai pada greget, soul, jiwa dan taksu yang bermuara pada keindahan hakiki serta pengalaman puitik yang takkan kau lupakan dan sudah pasti memberi pencerahan!"

Puisi mungkin membuat kita dari waktu ke waktu sedikit lebih sadar, perasaan lebih dalam yang tidak bisa dirumuskan dan disebutkan namanya yang membentuk lapisan bawah dari eksistensi kita.  Sering kita jarang menembusnya, karena hidup kita sebagian besar merupakan penghindaran yang konstan terhadap kita sendiri. Kadang puisi dapat berkomunikasi sebelum dimengerti.  Puisi adalah sebuah Oracle. Puisi adalah juga sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia untuk membuat hidup lebih berarti. Pada akhirnya, puisi itu bukan hal yang kita lihat. Lebih tepatnya, cahaya yang dengannya kita dapat melihat dan apa yang kita lihat adalah kehidupan. Puisi adalah pikiran yang bernapas, kata-kata yang membakar. Puisi tak bisa diberangus dengan sabda ataupun senjata, karena puisi itu cahaya. Puisi seringkali lebih halus dan lebih filosofis dari sejarah, sebab puisi mengungkapkan dengan universal dan sejarah hanyalah sebuah versi dari peristiwa masa-lalu lantas banyak orang memutuskan untuk menyetujuinya.

Perlu kau tahu dan coba mulailah dari sekarang untuk membaca puisi agar hidupmu jadi lebih segar dan berwarna serta lebih lengkap. Lewat larik larik puisi kau bisa dapatkan pencerahan, inspirasi dan pengalaman batin serta tamasya ke negeri yang tiada dalam peta dunia. Bila kau enggan, juga tak apa. Itu hak dan kebebasanmu sebagai seorang manusia.

Namun perlu kau tahu, bila kau tak menyukai dan membaca puisi bukan tak mungkin kau akan tersesat dan hanya akan berputar putar dalam labirin dan setelah itu akan masuk dan terjerembab serta terkurung dalam perangkap yang kau buat sendiri!

Salam dari Distrik Puisi, Kepulauan Kata, Republik Bahasa

27 Agustus 2020

kamilamien@rocketmail.com

http://sastra-indonesia.com/2020/08/belajar-lagi-pada-kata/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar