Serat Kiai Sutara, Taufiq Wr. Hidayat, 2018
Fatah Yasin Noor
Tentu saja banyak orang hebat di dunia ini, tapi yang
paling hebat ialah Kiai Sutara. Di setiap negara, dan ternyata banyak negara di
dunia ini, ada orang hebat yang ditakdirkan Tuhan kelak masuk surga. Selidik
punya selidik, ternyata orang-orang hebat itu setiap saat selalu menanamkan
kebaikan. Menghindar dari segala sesuatu yang dianggap sia-sia dan percuma.
Pikiran warasnya jalan terus. Kesadaran adalah bumi. Nah, salah satu orang
hebat itu tak lain dan tak bukan ialah Kiai Sutara. Saking hebatnya, kadang
banyak orang terkecoh, seakan-akan Kiai Sutara seperti tokoh fiksi. Siapa yang
menyangka bahwa sebenarnya Kiai Sutara seorang wali zaman now? Penggambaran
itulah yang kita tangkap, setidaknya saya, setelah membaca “Kitab Kiai Sutara”
di bagian pertama buku Serat Kiai Sutara (SKS) ini.
Padahal sejatinya, Kiai Sutara adalah tokoh faktual dari
alam bawah sadar Taufiq Wr Hidayat yang sengaja menyembunyikan tokoh itu dengan
nama samaran. Nanti di akhir tulisan ini akan saya bongkar. Dan ketahuilah, di
setiap pondok pesantren pasti ada Kiainya, tapi tidak semua Kiai punya pondok
pesantren, yang sanggup menampung ratusan, bahkan ribuan santri untuk belajar
ngaji. Karena santrinya ribuan, maka terjadilah komersialisasi. Jadi santri
harus bayar. Ponpes yang dulunya dibangun sederhana, dari gedeg lantainya
bambu, seiring perjalanan waktu tiba-tiba berubah jadi ponpes megah dengan
gedung bertingkat. Para santri tidak mandi di kali lagi, tapi di jeding. Kiai
Sutara tidak punya pondok pesantren. Kalau toh punya santri, santri Kiai Sutara
hanya bisa dihitung dengan jari. Santri Kiai Sutara yang sangat sendiko dawuh,
dalam buku ini, adalah si penulis cerita itu sendiri.
Inilah buku tebal “Kiai Sutara”, kumpulan tulisan jenaka
Taufiq Wr Hidayat, tidak melulu membicarakan sosok Kiai Sutara. Cerita tentang
Kiai nyentrik ini hanyalah satu bagian (bab) dari empat bab di buku tebal SKS.
Ada tulisan dengan judul Fatah di halaman 441. Tentu saja isinya Fatah (mungkin
fiktif) bukan se orang tokoh yang ngerti seluk-beluk agama. Fatah di situ
seperti mirip-mirip temannya si penulis (Taufiq Wr Hidayat). Fatah yang di mata
Taufiq sebagai sastrawan hebat. Saya rasa tulisan ini, sejatinya, kurang pas
ikut masuk di buku Serat Kiai Sutara ini (itu). Tapi harus diakui, kelebihan
Taufiq Wr Hidayat menulis biografi seseorang - baik pesanan mau pun yang
spontan tanpa disuruh - lumayan jeli. Ingatannya pada orang yang ditulisnya
melekat. Begitu juga ketika Taufiq Wr Hidayat menulis biografi singkat sosok
temannya yang lain, Yons DD (halaman 510). Taufiq Wr Hidayat sangat terkesan
dengan gaya bicara Yons DD yang teatrikal itu. Inilah untungnya se buah tulisan
yang ditulis dari dalam “tubuh” sendiri.
Cerita Kiai Sutara dengan “santrinya” adalah sebuah
dialog guru-murid kontekstual. Artinya, jika ini dikaitkan fatsun kebangsaan kekinian,
ia tak lain adalah otokritik terhadap badut-badut yang sikap dan perilakunya
enak ditertawakan. Penguasa dan politikus zaman now yang “memuakkan” dibikin
bahan candaan yang satir. Ini seolah menjadi presentasi publik yang tak punya
ruang, suara pinggiran yang dibungkam. Penguasa yang haus tahta harta adalah
“tebelek” yang pantas dikasihani. Mereka justru buta terhadap kenikmatan hidup
yang hakiki. Harta dan kuasa telah memperdaya mereka, dan itu tak disadari yang
endingnya menyesal di ujung hidupnya. Nah, dari situlah kemudian pesan-pesan
sederhana Kiai Sutara mengalir jenaka.
Sejatinya pesan dalam sejumlah tulisan di SKS tidaklah
begitu penting. Justru yang menarik adalah gaya penceritaan Taufiq Wr Hidayat
yang mengalir lancar. Kalimat demi kalimat ia tulis dengan renyah dan pas.
Cerita bisa terinspirasi dari mana saja: cerpen Budi Darma, Hamsad Rangkuti,
Seno Gumira, Rendra, dan yang lain. Taruhlah misal “Imam Samkomar dan Penarik
Gerobak” (hal. 179) mengingatkan kita pada cerpen Budi Darma “Laki-laki
Pengusung Goni”.Tokohnya adalah sang pencabut nyawa yang nyamar sebagai
laki-laki kumuh. Baik laki-laki dalam “Laki-laki Pengusung Goni” Budi Darma mau
pun “Imam Samkomar dan Penarik Gerobak” Taufiq adalah laki-laki yang akhirnya
kita tahu, sangat mengerikan. Dibalik pakaiannya yang lusuh dan gelandangan,
ternyata dia utusan Tuhan yang tugasnya mencabut nyawa. Sekian banyak nyawa dia
masukkan ke dalam goni di cerpen Budi Darma, dan di “Imam Samkomar dan Penarik
Gerobak” nyawa dicampakkan ke dalam gerobak. Matanya merah, seperti menyimpan
api neraka bergejolak. Setiap kali Imam Samkomar bertabrakan mata dengan
laki-laki penarik gerobak, tubuhnya bergidik. Tiba-tiba hatinya ciut, dan Imam
Samkomar merasakan ketakutan luar biasa (alenia 13).
Jadi, buku Serat Kiai Sutara ini boleh dibilang semacam
serba-serbi esai, ditulis dengan gaya bahasa ringan, kadang tampak jenaka di
sana-sini. Taufiq Wr Hidayat nyaris membicarakan pelbagai hal yang berkelebat
diingataannya “di sini dan sekarang”. Ingatan Taufiq sebagai modal utama untuk
menulis, dan selalu kontekstual, selaras dengan bacaan yang dia baca, dan ini
membuat tulisannya meluas: mengatasi kehidupan sehari-hari.
Tapi, bacalah pengantar Dwi Pranoto “Cara Melawan
Orang-orang Kecil”. Pengamatannya sangat
teliti dan mendalam. Saya yakin, sebelum Dwi Pranoto menulis kata pengantar
pastilah (atau nyaris) sudah membaca semua tulisan Taufiq Wr Hidayat sebelum diterbitkan. Dia mampu menangkap
secara tepat esensi dari sejumlah tulisan di buku SKS.
***
24 Feb 2018
https://radarbanyuwangi.jawapos.com/read/2018/02/24/52146/resensi-buku-teror
Tidak ada komentar:
Posting Komentar