Minggu, 24 Mei 2020

MAS DIDI KEMPOT SEBAIK-BAIKNYA PINDAH DIMENSI

Kesaksian kecil Dian Sukarno *

"Wis Mas, sampeyan muliha! Aku ora bakal balik menawa durung bisa ngluwihi sampeyan." (Didi Kempot kepada Mamik Podhang)

Mengawali tulisan ini perasaanku mengharu-biru dan ambyar sak walang-walang, meskipun tidak menjadi anggota komunitas paling fenomenal menandai rebornnya sang tokoh yang hampir sepanjang hidupnya tidak mau ditokohkan. Sosok yang kumaksud adalah Mas Didi Kempot alias Mas Didi Prasetyo yang memang tetap ngugemi prasetya atau menunaikan janji kehidupannya kepada semesta, kepada Sang Maha Hidup. Wabil khusus kakak kandungnya Mamik Prakoso atau Mamik Podhang, seorang pelawak papan atas group Srimulat yang lebih dulu berpindah ke alam langgeng.

Cuplikan kalimat pembuka, "Wis Mas, sampeyan muliha! Aku ora bakal balik menawa durung bisa ngluwihi sampeyan." (terjemahan bebas : Sudahlah Mas, kamu pulang saja! Aku tidak akan kembali sebelum bisa melebihi kamu). Adalah kalimat yang diucapkan suwargi atau almarhum Mas Didi Kempot ketika menjalani lelana alias berproses "menjadi" diri sendiri ditengah arus bermusik para artis yang gandrung dengan aliran musik mapan dengan menggunakan bahasa nasional. Keputusan "menolak" jemputan sang kakak ketika menemui beliau menggelandang di seputaran jembatan Semanggi tersebut menjadikan Mamik Prakoso atau Mamik Podhang berurai air mata. Tapi apalah daya sang kakak harus menghargai keputusan adiknya yang memang sudah ditempa oleh ayah tercinta seorang seniman lawak Mbah Ranto Edi Gudel.

Konon menurut suwargi Mas Didi, nama Kempot dipakai karena beliau menjadi ketua paguyuban pengamen trotoar di Jakarta. Dengan nama tersebut Mas Didi ingin menunjukkan konsep berdikari yang dicontohkan oleh Bapak pendiri bangsa Bung Karno, yaitu berdiri di atas kaki sendiri. Tidak silau dengan fasilitas yang ditawarkan sang kakak, apalagi memanfaatkan aji mumpung sebagai adik seniman papan atas Mamik Podhang yang sedang berada di puncak popularitas. Buntutnya kemudian sang kakak harus berurai air mata melepas seorang Didi Kempot yang sedang membangun impiannya sendiri.

Tidak berselang lama dari keputusan yang tidak dilatari keputusasaan, bertemulah seorang Didi Kempot dengan almarhum Manthous, seorang tokoh yang mengenalkan genre baru bermusik yang kemudian dikenal sebagai aliran musik campursari. Melalui tangan dingin Pak Manthous inilah ibarat bahan baku batu mulia yang menemukan pengasahnya. Karya-karya Mas Didi Kempot seolah mendobrak kemapanan dengan syair-syair berbahasa Jawa ngoko yang mudah dicerna. Lagu demi lagu bermunculan seperti tumbuhnya cendawan pada musim penghujan. Masih menurut Mas Didi, karya-karya seperti Stasiun Balapan, Sewu Kutha, dan lain-lain adalah karya-karya lama yang dikumpulkan ketika masih menjadi pengamen jalanan. Dan pertemuan tidak sengaja dengan bos atau pimpinan CSGK (Campursari Gunung Kidul) almarhum Pak Manthous menjadikan Mas Didi Kempot semakin eksis sebagai pendatang baru di blantika musik nasional. Tentunya dengan aliran yang belum dianggap secara umum sebagai musik yang menjanjikan.

Maka duapuluh tahun silam diawal millenium kedua, Mas Didi Kempot telah membuktikan kata-katanya hingga memantik undangan yang dilayangkan sedulur Jawa Suriname. Karya-karya beliau telah membawa Mas Didi Kempot untuk berdiri gagah sebagai seniman tradisional yang mengglobal. Sehingga tangisan sang kakak Mamik Podhang dari yang semula tersedu karena keteguhan sang adik menolak diajak pulang dan memilih menggelandang, kini mengharu-biru melihat keberhasilannya melebihi para seniman dan artis yang dianggap mapan.

Keberhasilan demi keberhasilan tersebut kemudian mendorong produser seorang Didi Kempot berkeliling Nusantara untuk memperkenalkan lagu-lagu campursari beliau yang berbeda. Salah satu kota yang disinggahi adalah Jombang. Nah, di sebuah radio lokal Jombang itulah pertemuan pertamaku yang memunculkan kesan mendalam terhadap sang maestro Mas Didi Kempot bermula. Dengan rombongan kecil bersama pendatang baru Yan Vellia. Aku masih ingat betul lagunya Pokoke Melu. Sedangkan aku adalah reporter magang yang diserahi meliput beliau.

Bagiku seorang Mas Didi Kempot telah menumbuhkan gairah baru bagi hidupku setelah itu. Sebagai seorang reporter magang pada stasiun radio lokal berkesempatan mengorek perjalanan karir sang maestro. Sebuah kesempatan yang aku pikir tidak akan terulang sepanjang perjalanan hidupku.

Rupanya perjalanan karir seorang Mas Didi Kempot memasuki tahapan ujian paling menentukan. Dan peristiwa itu masih aku ingat betul ketika pendatang baru besutan beliau melakukan kesalahan mengambil nada pada sebuah pertunjukan yang disiarkan secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta nasional. Kesalahan tersebut sangat fatal, sehingga entah karena peristiwa tersebut atau sebab lain, aku tidak lagi mendengar kiprah Mas Didi Kempot secara on air.

Duapuluh tahun kemudian ternyata tidak hanya aku, mungkin hampir semua lini bangsa Indonesia terperangah dengan kembalinya sang maestro dengan lagu-lagu bertema melankolis namun tetap disajikan dalam kedinamisan. Melahirkan komunitas ambyar melebihi fenomena klub pemuji dan pemuja yang kemunculannya mengiringi kehadiran sang idola. Pada tahap kedua ini sosok Mas Didi Kempot semakin bertiwikrama dan membuktikan janjinya kepada almarhum sang kakak Mamik Podhang.

Tidak berselang lama beliau pun membuktikan ucapannya , "Wis Mas, sampeyan muliha! Aku ora bakal balik menawa durung bisa ngluwihi sampeyan. " Terbukti beliau telah sebenar - benarnya kembali menyusul sang kakak Mamik Podhang dan ayahanda Mbah Ranto Edi Gudel ke alam langgeng pada puncak pencapaian kemahakaryaan. Sugeng tindak Mas Didi... Kondurnya panjenengan sebaik - baiknya peristiwa pindah dimensi.

Jombang, 6 Mei 2020.
*) Catatan seorang pejalan.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/mas-didi-kempot-sebaik-baiknya-pindah-dimensi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar