~ sekadar ocehan ringan ~
Sunlie Thomas Alexander *
Buku cerita silat serial Mahesa Kelud ini kubeli di emperan Pasar Pembangunan, Pangkalpinang, tak lama setelah lulus SMA. Harganya Rp 1.500.
Itu jaman ketika buku cersil populer membanjiri kios-kios sewa buku di Indonesia sebelum akhirnya tergusur oleh kehadiran komik manga Jepang terbitan Elex Media Komputindo. Dan kukira kita bisa mencatat satu hal yang baik di sini: Terlepas dari soal mutu bacaan, barangkali kita boleh mensyukuri minat baca yang tampaknya cukup marak pada masyarakat menengah ke bawah kita masa itu, di kalangan pelajar maupun umum.
Aku masih ingat betul bagaimana kala itu tas sekolah kami kerap terisi dengan buku-buku cersil macam begini; yang kami baca secara sembunyi-sembunyi di tengah pelajaran. Jika ketahuan, risikonya ya buku disita oleh guru atau diusir keluar dari kelas. Kernet angkot, supir truk, pembantu rumah tangga, ibu-ibu, sampai pengamen dan preman jalanan yang nongkrong di terminal pun seringkali kita dapati sedang berasyik-khusyuk tenggelam dalam bacaan di tangan. Itulah, menurutku, jaman dimana kita dengan lebih mudah bisa menemukan orang-orang Indonesia membaca buku di bis atau kereta api.
Selain novel cersil, tentu ada beragam versi bacaan lain: cerita horor, novel percintaan, dan stensilan porno. Tetapi toh penghujung tahun 90an adalah era kejayaan cerita silat lokal. Kita dapat menyebut banyak serial pop terkemuka: Pendekar Naga Putih, Pendekar Pulau Neraka, Dewa Arak, Pendekar Hina Kelana, Dewa Linglung... Dan yang terpopuler di antara semuanya tentu saja serial Wiro Sableng karya Bastian Tito. Ia boleh dibilang bacaan sejuta umat tak kenal usia seperti halnya cersil karya Kho Ping Hoo yang terlebih dahulu populer. Bahkan sampai hari ini (setelah dua kali ia difilmkan dan sekali diangkat menjadi serial TV yang canggung), pikirku, hanya sedikit orang Indonesia yang tidak mengenal karakter pendekar urakan bersenjata kapak dengan angka keramat 212-nya ini.
Ya, Wiro Sableng adalah sebuah fenomena. Meski pada masa itu kami belumlah paham mengapa ia selalu terasa lebih istimewa dibanding yang lain, kecuali bahwa bahasanya memang lebih enak dibaca dan kisahnya jauh lebih seru-menegangkan.
Namun sekarang jika ada bertanya, kenapa Wiro bisa menjadi serial cerita silat yang paling dicari pada jaman itu, kukira hal ini lantaran keseriusan seorang Bastian Tito sebagai penulis.
Dalam soal setting tempat misalnya, apabila para pengarang cersil pop lain umumnya terkesan meremehkan latar, Bastian cenderung memberi pembacanya setting lokasi yang cukup terperinci, mulai dari berbagai tempat di tanah Jawa dan pulau Andalas hingga menyeberang ke Daratan Tiongkok dan Jepang. Lengkap pula dengan pengetahuannya akan tradisi-kultur serta ragam istilah bahasa setempat. Ia juga tampak tidak canggung menghidupkan berbagai peristiwa dalam novelnya di sisi panggung besar sejarah. Bahkan tak jarang berani menukik jauh ke jantung peristiwa sejarah yang diangkatnya ke dalam jagat pengisahan.
"Saya melakukan kerja riset sebelum menulis," demikian ungkapnya dalam sebuah wawancara majalah yang pernah kubaca. Yang dalam hal ini, dengan kata lain ia memang memiliki kesungguhan dalam mengarap cersil-cersilnya yang cuma dijual dengan harga semangkuk bakso itu.
Keistimewaan lain dari penulis berdarah Minang ini adalah penokohannya yang cukup kuat. Belajar dari banyak khazanah cerita silat Tiongkok, Bastian cenderung pula melahirkan karakter-karakter pendekar yang "antihero"---yang tidak lurus selurus mistar dan tidak putih seputih kapas, bahkan justru kerapkali tampak berkebalikan dengan para pahlawan konvensional. Sehingga dengan gampang kita pun menemukan dalam ketiga karya masterpiece-nya (Wiro Sableng, Mahesa Edan, Mahesa Kelud): para pendekar yang setengah sinting, pemalas, penuh bimbang, genit mesum, nyaris bloon, pemarah dan ringan tangan, atau buruk rupa.
Mahesa Kelud, kukira, adalah karakter pendekar rekaannya yang relatif "bersih" ketimbang Kesablengan Wiro dan Mahesa Edan yang pengantuk. Namun demikian, toh tetap saja padanya kita bersua dengan sesosok pendekar sejati yang dibesarkan dan digembleng oleh karakter laknat.
Betapa tidak. Simo Gembong gurunya Mahesa, atau yang bertahun-tahun bersembunyi di puncak Gunung Kelud sebagai Embah Jagatnata merupakan seorang tokoh silat golongan hitam yang menjadi momok dunia persilatan. Selain berilmu tinggi tanpa tanding, Simo juga terkenal sebagai pembunuh, perampok, dan pemerkosa perempuan yang sangat sadis dan keji terhadap korban-korbannya. Bahkan kedua orangtua Mahesa sendiri notabene adalah korban kebiadaban tokoh ini.
Hingga sampailah pada suatu titik cerita, ia konon dijamah oleh rasa sesal atas perbuatan-perbuatannya dan memutuskan untuk menyepi. Tetapi lantaran hatinya tak juga serta merta tenang, ia akhirnya menculik anak salah satu korbannya untuk ia gembleng sebagai murid dan diberinya nama Mahesa.
Dan hal ini bukannya tanpa pamrih. Simo Gembong mengembleng Mahesa menjadi seorang pendekar dengan tujuan agar sang murid dapat mencari Pedang Samber Nyawa dan menggunakan senjata sakti itu untuk membunuhnya suatu hari. Sebab, berkat kesaktian yang ia miliki, Simo Gembong syahdan tak bisa dihabisi dengan senjata apapun kecuali Pedang Samber Nyawa.
Namun apa boleh. Sebelum ajal berpantang mati, begitulah ujar-ujar dalam dunia persilatan. Mahesa nyatanya tidak berhasil memperoleh Pedang Samber Nyawa karena dibohongi oleh Dewi Maut dengan pedang palsu.
Sehingga Simo Gembong yang diam-diam merasa kecewa kemudian memutuskan untuk turun gunung sendiri menyambangi Dewi Maut, kekasihnya pada masa muda itu di Lembah Maut. Tetapi kini bukan lagi untuk mencari Pedang Samber Nyawa yang asli, melainkan lantaran ia berhasrat hidup bersama sang kekasih yang memiliki ajian awet muda itu. Dan di tengah perjalanannya ke Lembah Maut tersebut, ternyata sifat dan nafsu kejinya kembali kambuh: tergiur oleh keelokan seorang pengantin perempuan yang berpapasan dengannya di jalan, Simo Gembong kemudian menculik dan memperkosa si pengantin. Lalu selanjutnya korban-korban pun mulai berjatuhan lagi di tangannya.
Ya, cersil-cersil Bastian Tito tidak hanya menghadirkan kepada kita sekadar tokoh-tokoh cerita yang tak hitam-putih di permukaan, tetapi ragam karakter dengan watak dan kejiwaan yang memang begitu kompleks. Dimana di dalamnya, kita seperti diajak untuk menyadari varian kemungkinan kita sebagai manusia, yang kerapkali tak terbaca, tak terselami, sulit ditebak, bahkan oleh diri kita sendiri.
Dari karakter Simo Gembong misalnya, kita seakan melihat bagaimana sebagai manusia, kita adalah sesuatu yang terus-menerus bergerak sekaligus justru tidak sungguh-sungguh bisa beranjak. Kita memang bisa berubah pada suatu titik momen atau kapanpun, menjadi lebih baik atau menjadi semakin buruk; namun kita juga senantiasa berpotensi untuk berpaling kembali kepada sosok kita sejak mula. Tatkala pertaubatan yang tampaknya murni bisa jadi bukanlah sesuatu yang bersifat nasuha sebagaimana halnya keburukan.
Simo Gembong hanyalah penulisan ulang atas diri kita yang gampang berinstropeksi tetapi rentan pula merepetisi kesalahan.[]
____________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/membaca-kembali-simo-gembong/
Rabu, 04 Maret 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar