Rabu, 04 Maret 2020

MEMBACA KEMBALI SIMO GEMBONG

~ sekadar ocehan ringan ~
Sunlie Thomas Alexander *

Buku cerita silat serial Mahesa Kelud ini kubeli di emperan Pasar Pembangunan, Pangkalpinang, tak lama setelah lulus SMA. Harganya Rp 1.500.

Itu jaman ketika buku cersil populer membanjiri kios-kios sewa buku di Indonesia sebelum akhirnya tergusur oleh kehadiran komik manga Jepang terbitan Elex Media Komputindo. Dan kukira kita bisa mencatat satu hal yang baik di sini: Terlepas dari soal mutu bacaan, barangkali kita boleh mensyukuri minat baca yang tampaknya cukup marak pada masyarakat menengah ke bawah kita masa itu, di kalangan pelajar maupun umum.

Aku masih ingat betul bagaimana kala itu tas sekolah kami kerap terisi dengan buku-buku cersil macam begini; yang kami baca secara sembunyi-sembunyi di tengah pelajaran. Jika ketahuan, risikonya ya buku disita oleh guru atau diusir keluar dari kelas. Kernet angkot, supir truk, pembantu rumah tangga, ibu-ibu, sampai pengamen dan preman jalanan yang nongkrong di terminal pun seringkali kita dapati sedang berasyik-khusyuk tenggelam dalam bacaan di tangan. Itulah, menurutku, jaman dimana kita dengan lebih mudah bisa menemukan orang-orang Indonesia membaca buku di bis atau kereta api.

Selain novel cersil, tentu ada beragam versi bacaan lain: cerita horor, novel percintaan, dan stensilan porno. Tetapi toh penghujung tahun 90an adalah era kejayaan cerita silat lokal. Kita dapat menyebut banyak serial pop terkemuka: Pendekar Naga Putih, Pendekar Pulau Neraka, Dewa Arak, Pendekar Hina Kelana, Dewa Linglung... Dan yang terpopuler di antara semuanya tentu saja serial Wiro Sableng karya Bastian Tito. Ia boleh dibilang bacaan sejuta umat tak kenal usia seperti halnya cersil karya Kho Ping Hoo yang terlebih dahulu populer. Bahkan sampai hari ini (setelah dua kali ia difilmkan dan sekali diangkat menjadi serial TV yang canggung), pikirku, hanya sedikit orang Indonesia yang tidak mengenal karakter pendekar urakan bersenjata kapak dengan angka keramat 212-nya ini.

Ya, Wiro Sableng adalah sebuah fenomena. Meski pada masa itu kami belumlah paham mengapa ia selalu terasa lebih istimewa dibanding yang lain, kecuali bahwa bahasanya memang lebih enak dibaca dan kisahnya jauh lebih seru-menegangkan.

Namun sekarang jika ada bertanya, kenapa Wiro bisa menjadi serial cerita silat yang paling dicari pada jaman itu, kukira hal ini lantaran keseriusan seorang Bastian Tito sebagai penulis.

Dalam soal setting tempat misalnya, apabila para pengarang cersil pop lain umumnya terkesan meremehkan latar, Bastian cenderung memberi pembacanya setting lokasi yang cukup terperinci, mulai dari berbagai tempat di tanah Jawa dan pulau Andalas hingga menyeberang ke Daratan Tiongkok dan Jepang. Lengkap pula dengan pengetahuannya akan tradisi-kultur serta ragam istilah bahasa setempat. Ia juga tampak tidak canggung menghidupkan berbagai peristiwa dalam novelnya di sisi panggung besar sejarah. Bahkan tak jarang berani menukik jauh ke jantung peristiwa sejarah yang diangkatnya ke dalam jagat pengisahan.

"Saya melakukan kerja riset sebelum menulis," demikian ungkapnya dalam sebuah wawancara majalah yang pernah kubaca. Yang dalam hal ini, dengan kata lain ia memang memiliki kesungguhan dalam mengarap cersil-cersilnya yang cuma dijual dengan harga semangkuk bakso itu.

Keistimewaan lain dari penulis berdarah Minang ini adalah penokohannya yang cukup kuat. Belajar dari banyak khazanah cerita silat Tiongkok, Bastian cenderung pula melahirkan karakter-karakter pendekar yang "antihero"---yang tidak lurus selurus mistar dan tidak putih seputih kapas, bahkan justru kerapkali tampak berkebalikan dengan para pahlawan konvensional. Sehingga dengan gampang kita pun menemukan dalam ketiga karya masterpiece-nya (Wiro Sableng, Mahesa Edan, Mahesa Kelud): para pendekar yang setengah sinting, pemalas, penuh bimbang, genit mesum, nyaris bloon, pemarah dan ringan tangan, atau buruk rupa.

Mahesa Kelud, kukira, adalah karakter pendekar rekaannya yang relatif "bersih" ketimbang Kesablengan Wiro dan Mahesa Edan yang pengantuk. Namun demikian, toh tetap saja padanya kita bersua dengan sesosok pendekar sejati yang dibesarkan dan digembleng oleh karakter laknat.

Betapa tidak. Simo Gembong gurunya Mahesa, atau yang bertahun-tahun bersembunyi di puncak Gunung Kelud sebagai Embah Jagatnata merupakan seorang tokoh silat golongan hitam yang menjadi momok dunia persilatan. Selain berilmu tinggi tanpa tanding, Simo juga terkenal sebagai pembunuh, perampok, dan pemerkosa perempuan yang sangat sadis dan keji terhadap korban-korbannya. Bahkan kedua orangtua Mahesa sendiri notabene adalah korban kebiadaban tokoh ini.

Hingga sampailah pada suatu titik cerita, ia konon dijamah oleh rasa sesal atas perbuatan-perbuatannya dan memutuskan untuk menyepi. Tetapi lantaran hatinya tak juga serta merta tenang, ia akhirnya menculik anak salah satu korbannya untuk ia gembleng sebagai murid dan diberinya nama Mahesa.

Dan hal ini bukannya tanpa pamrih. Simo Gembong mengembleng Mahesa menjadi seorang pendekar dengan tujuan agar sang murid dapat mencari Pedang Samber Nyawa dan menggunakan senjata sakti itu untuk membunuhnya suatu hari. Sebab, berkat kesaktian yang ia miliki, Simo Gembong syahdan tak bisa dihabisi dengan senjata apapun kecuali Pedang Samber Nyawa.

Namun apa boleh. Sebelum ajal berpantang mati, begitulah ujar-ujar dalam dunia persilatan. Mahesa nyatanya tidak berhasil memperoleh Pedang Samber Nyawa karena dibohongi oleh Dewi Maut dengan pedang palsu.

Sehingga Simo Gembong yang diam-diam merasa kecewa kemudian memutuskan untuk turun gunung sendiri menyambangi Dewi Maut, kekasihnya pada masa muda itu di Lembah Maut. Tetapi kini bukan lagi untuk mencari Pedang Samber Nyawa yang asli, melainkan lantaran ia berhasrat hidup bersama sang kekasih yang memiliki ajian awet muda itu. Dan di tengah perjalanannya ke Lembah Maut tersebut, ternyata sifat dan nafsu kejinya kembali kambuh: tergiur oleh keelokan seorang pengantin perempuan yang berpapasan dengannya di jalan, Simo Gembong kemudian menculik dan memperkosa si pengantin. Lalu selanjutnya korban-korban pun mulai berjatuhan lagi di tangannya.

Ya, cersil-cersil Bastian Tito tidak hanya menghadirkan kepada kita sekadar tokoh-tokoh cerita yang tak hitam-putih di permukaan, tetapi ragam karakter dengan watak dan kejiwaan yang memang begitu kompleks. Dimana di dalamnya, kita seperti diajak untuk menyadari varian kemungkinan kita sebagai manusia, yang kerapkali tak terbaca, tak terselami, sulit ditebak, bahkan oleh diri kita sendiri.

Dari karakter Simo Gembong misalnya, kita seakan melihat bagaimana sebagai manusia, kita adalah sesuatu yang terus-menerus bergerak sekaligus justru tidak sungguh-sungguh bisa beranjak. Kita memang bisa berubah pada suatu titik momen atau kapanpun, menjadi lebih baik atau menjadi semakin buruk; namun kita juga senantiasa berpotensi untuk berpaling kembali kepada sosok kita sejak mula. Tatkala pertaubatan yang tampaknya murni bisa jadi bukanlah sesuatu yang bersifat nasuha sebagaimana halnya keburukan.

Simo Gembong hanyalah penulisan ulang atas diri kita yang gampang berinstropeksi tetapi rentan pula merepetisi kesalahan.[]

____________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/membaca-kembali-simo-gembong/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar