Rabu, 22 Agustus 2012

Polemik yang Tak Aplikatif

Beni Setia
Lampung Post, 5 Sep 2010

KHASANAH sastra Indonesia penuh pertentangan biner yang tidak ada putusnya. Dari polemik kebudayaan dengan pilihan mem-Barat atau mereaktualisasi Timur. Lantas yang mendunia dengan yang menggali kekayaan lokal.

Terjadi clash antara sastra realisme sosial versus sastra agamawi dan humanisme universal. Keperkasaan liris menghasilkan penentangan berwujud Pengadilan Puisi di Bandung, di Surabaya almarhum Muhamad Ali mengeluhkan dominasi c.q. esei Izinkan Saya Bicara pada dekade 1970-an. Lantas lahir sastra sufi eskapistik dan sastra kritik sosial. Lalu muncul gerakan RSP dan BP.

Apa yang dominan dari semua itu. Apa ciri positif itu masih ada di polemik terakhir.

***

SEBAGAI pengarang yang menulis puisi dan cerpen, minat saya pada teori sastra, teks kritik, dan esei analisis, dan telaah karya selanjutnya: teks nonfiksi, terkadang sangat praktis. Melulu mencari yang bisa diaplikasikan bila nanti berkreasi menulis fiksi. Sampai di titik: pengetahuan yang ditemukan itu instan operasional ketika menulis fiksi, jadi pencerahan nonfiksi yang teraplikasikan dan mewujudkan satu karya sastra. Sebuah rambu untuk perambahan mencari kemungkinan ucap lain.

Kalau memakai termin bentuk serta isi, yang pantas diperhatikan itu hanya apa ada potensi bentuk yang bisa dipakai mewadahi isi teks fiksi yang diisyaratkan teks nonfiksi. Isi teks fiksi itu sendiri terumuskan karena sang kreator mengikuti poin, asumsi atau tesis yang dirumuskan teoretikus serta kritikus yang menulis teks nonfiksi. Meskipun kilasan ilham itu sifatnya subjektif dan tergantung dari anugerah kemurahan Allah, tapi ilham itu tetap menuntut harus diperkaya dulu dengan wawasan di satu sisi. Sambil mengkaji berapa kemungkinan pentersuratannya sebagai karya dengan merujuk pada segala poin, asumsi, dan tesis yang disimpulkan dari pembacaan teks nonfiksi bahkan aneka teks nonfiksi.

Satu polemik dengan bukaan-bukaan referensi terkini, yang memperluas wawasan akademik pun terkadang cuma diinventarisasi potensi aplikasinya. Hanya sejauh (sebagai) tawaran bentuk ungkap baru atau cara cerdas memperkaya dari isi ungkap yang mungkin cocok dengan bentuk ungkap itu. Hingga semua teks nonfiksi, bahkan dari polemik yang penuh sergahan vulgar, hanya ditelusuri kandungan potensi aplikasi serta kuasa mungkin bentuk ungkap terbaru atau cara untuk memahami apa yang akan diungkapkan dengan memperkaya materi ilham sehingga menghadirkan bakal isi (teks) alternatif.

***

VERIFIKASI nyaris hanya merujung pada potensi aplikatif yang bisa operasional di zona (penciptaan) kreatif fiksi, bukan di tataran ide para intelektual, akademisi, teoretikus dan kritikus. Bahkan, ketimbang suntuk dengan teori sastra dan corak baru analisis kritik, saya lebih tertarik dengan fenomena bagaimana pisau analisis berpraktek mengupas karya dan mengetahui apa kelebihan dan kekurangan teks karya yang dianalisis dan dikritik. Sehingga punya gambaran: jangan menulis seperti itu, atau jangan sampai mengandung cacat seperti itu. Bahkan aktif mencari serta membaca karya yang ditunjuk oleh teks nonfiksi itu sebagai pembanding dan rujukan.

Motif adaptasi serta aplikasi dalam pembacaan teks nonfiksi itu amat berbeda dari akademisi dan kritikus, pihak yang menjadikan teks nonfiksi itu sebagai referensi dalam rangka menganalisis teks fiksi sebagai kajian ilmiah. Atau dalam rangka membangun teori sastra atau untuk menyelenggarakan pertukaran pendapat cerdas dalam diskusi, polemik, atau ceramah. Saya hanya mempertimbangkan teks nonfiksi itu sejauh bisa menemukan yang bisa diaplikasikan saat menulis fiksi. Saya tak begitu tertarik teori sastra murni demi pengayaan khazanah pengetahuan serta referensi sastra. Saya (naluriah) hanya mengukur potensi aplikatif memastikan-memperkaya kilasan ilham, dan jadi batu arah perencanaan (draf) penulisan fiksi.

Bukan pisau analisisnya, bukan karena referensinya, serta bukan lantaran datanya valid. Bukan level akademiknya, meski kadang terpukau mengikuti akrobatika referensi, analisis, dan hipotesis. Jadi sebuah polemik yang paling menarik minat dan mengguncang emosi pun tidak pernah diikuti dengan kekaguman pol pada analisis orisinil serta referensi akademiknya. Ukurannya tetap potensi aplikasi, apa sumbangannya bagi teknik penulisan dan metoda (untuk) memperkaya wawasan. Yang itu bukan tujuan meski aktif mencari fakta dan memvalidisasinya jadi data ilmiah, karena semuanya dikelompokkan sebagai potensial atau inproduktif bagi proses pertukangan menulis fiksi.

***

SAYA merasa aneh ketika pembacaan cermat pada polemik terkini, yang motifnya pragmatis mencari potensi aplikatif melulu untuk penciptaan fiksi diapresiasi dengan tuntutan superbiner, dengan tuntutan harus ada pernyataan sikap berupa pemihakan. Ikut yang sejak awal sudah tegas memisahkan mana kawan mana teman. Sebab itu alih-alih memperluas wawasan dan menambah referensi polemik jadi zona identifikasi eksklusif, dengan ganas menghujat lawan dan lembut mengelus kawan. Tak ada suasana akademik, melulu cuma teriakan meminta bukti keberpihakan aktif. Tapi apa pentingnya pemihakan bagi proses kreatif menulis fiksi?

Polemik seharusnya menghasilkan terobosan-atau postulat si batu arah bagi ilmu sastra, bagi teori serta kritik sastra, bagi eseis, kritikus, mahasiswa serta akedemisi sastra, atau kemungkinan aplikatifnya untuk penulisan fiksi mutakhir. Tanpa itu sebuah polemik akan degradatif jadi cerca, melulu hanya cemooh pada pihak lain. Menjadi sia-sia dan tak menjanjikan selain pembongkaran segala cacat teks dan kesalahan personal kreatornya. Hanya nonsensia. Gelombang permukaan yang jauh dari kedalaman (palung) yang tenang konsentratif Zen bila mengutip epilog Musashi hanya badai dalam gelas. Perilaku lalar gawe, kata tetangga di Caruban.

Beni Setia, pengarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/09/polemik-yang-tak-aplikatif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar