Kamis, 09 Februari 2012

Gemblak: Idiosinkrasi Mistik Jawa

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

Nusantara merupakan kekayaan terbesar masyarakat cipta budayanya. Yang terbagi ke dalam beberapa suku dengan kekhasan masing-masing pembawa. Kemudian hasil budaya (kedaerahan) itu turun temurun, diwariskan oleh generasi penerusnya atas komitmen kebersamaan mewarisi dan rasa memiliki. Pemaparan Wiasa Hestitama (2011) dalam makalah ”rutinan” Lingkar Studi Warung Sastra (LISWAS) bahwa Manusia adalah pencipta budaya, dan sosial sebagai kekuatan ambisi untuk proses berbudaya. Individualitas berfikir setidaknya mampu membentuk budaya, namun budaya sendiri akan mempengarui manusia terhadapa kepribadian seseorang.
Keduanya sebagai akar relasi akomodatif, dalam artian saling menyesuaikan dan dapat berkembang selama manusianya tidak menafikan sejarah pendahulu. Sebab itulah, sejarah sebagai tiang kekuatan bangsanya bahwa bangsa tersebut dikatakan bangsa yang banyak menyimpang tradisi-berbudaya.

Ini menjadi suatu pondasi bahwa hasil budaya daerah tercipta dari pribadi masyarakat namun akar tradisi sejarah sebagai milik masyarakat kolektif yang dibentuk atas dasar pemikiran konstelasi. Dalam artian, dorongan sosial dan lingkungan sama-sama saling membentuk kekuatan tersendiri. Sosial sebagai esensi pemikiran sedangkan lingkungan pendukung sebagai objek pendorong reaksi kreatif itu terbentuk. Karena dasar dari manusia itu sendiri adalah homo sapiens (makluk yang berfikir), homo faber (pencipta alat), homo esperans (berpengharapan), homo ludens (gemar bermain), dan homo negans (peka dan punya pertimbangan).

Dasar dari hakikat manusia tersebut tidak terlepas dari susunan kodrat jasmaninya, terutama daya cipta, dan rasa-karsa. Menyangkut, manusia sendiri adalah makhluk bertuhan. Resep-resep yang ditawarkan filsafat eksistensialis tersebut merupakan suatu diskursif, menjadikan manusia kompeten untuk mencipta, selanjutnya menjadikan ciptaannya terkumpul dari satu kesatuan kolektif. Yang seperti dapat kita lihat sekarang, yaitu khazanah kebudayaan yang beraneka ragam, lahir dan dibesarkan tidak jauh dari adat daerah dan ritual-ritual khusus seperti, tari-tarian, teater rakyat, wacan mancapat, dsb.

Bentuk kebudayaan itu tidak terlepas dari nuansa ceremonia, tidak lebih berupa sesembahan kepada nenek moyang untuk keselamatan sebagai bentuk penghormatan. Entah itu teater rakyat atau seni tradisi kedaerahan lain, semua tidak dapat terpisahkan dari ritual sesaji yang bersifat pujaan. Kendatipun antara cipta budaya daerah dan ritual sesembahan, keduanya berjalan seiring tradisi masyarakat yang mengikutinya berdasar pada kepercayaan dan adat terkait.

Dalam seni gemblak, dikata sebagai teater rakyat itu juga tidak bisa dilepaskan dari ritual sebelum acara dimulai atau semacam umbu rampen (syarat sesaji) yang ditujukan kepada roh leluhurnya agar pada saat acara tidak ada hambatan—yang sifatnya sepihak. Sebab itulah, wajib adanya menyiapkan sesaji baik berupa kemenyan, bunga kenunga, kolak dawet, air beras, dan nasi tumpeng (ayam panggang). Sesaji makanan lebih bersifat slametan, diperuntukkan dari kelompok pemain dan kelompok masyarakat sekitar yang memakan hasil sesaji.

Kelengkapan sesaji tersebut sebagai bentuk perwujudan sesembahan, namun harus diimbangi dengan prasyarat yang diikuti seperti kelengkapan alat-alat pemain saat pentas gemblak berlangsung tanpa kecuali. Hal ini menyangkut serompet, kendang, dan cimplungan. Menurut cerita sesepun turun-temurun, kalau syarat kesemuanya itu tidak terpenuhi maka kejadian-kejadian aneh baik dari pihak pemain atau penonton akan berakibat kericuan acara, bisa jadi kedua pihak secara fisik mengalami musibah permanen sampai akhirnya mengalami kematian. Masyarakat beranggapan, roh moyang tidak mengizinkan saat berlangsungnya acara tersebut, karena ketersediaan yang harus diikuti tidak memenuhi syarat mutlak pertunjukan gemblak.

Keadaan ini yang menjadi berlainan dapat dikata iniosinkrasi, yaitu tidak sewajarnya mengikuti hal pada umumnya. Namun hal mistik semacam itu masyarakat menganggapnya sebagai bentuk penghormatan atau izin roh leluhurnya. Dalam adat budaya Jawa sendiri acara apapun tak dapat terlepas dari hal-hal mistik yang menyertai. Ini sudah menjadi kebiasaan sejak leluhurnya atas bentuk izin kepada roh moyang.

*) Agus Sulton, Tinggal dan berkarya di Ngoro Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar