http://majalah.tempointeraktif.com/
SUATU pagi di Surakarta, 1995. Seorang lelaki yang berpenampilan sederhana bergegas menemui beberapa kawannya. Ia menitipkan sepotong pesan, “Kalau terjadi sesuatu, tolong cek keberadaan saya di kejaksaan.” Sesudah teman-temannya paham, ia buru-buru pergi kantor kejaksaan di daerah Kepatihan, Solo. Di sana ia mesti menjelaskan kiriman lewat pos yang diterimanya, beberapa jurnal kesenian dari Amerika dan Eropa.
Lelaki berkacamata minus ini me-mang kerap menghadapi panggilan aparat. Selain dari kejaksaan, ia kerap mendapat “undangan” dari komando rayon militer (koramil) dan komando distrik militer (kodim). Hanya, saat ia menghadapi panggilan kejaksaan kali ini, teman-temannya tak perlu cemas terlalu lama karena ia akhirnya pulang dengan selamat.
Halim H.D., nama orang itu, bukan-lah seorang aktivis politik. Dia hidup dari dunia kesenian meski bukan seorang seniman. Lelaki berusia 52 tahun ini memiliki peran yang cukup penting dalam pengembangan seni di negeri ini. Halim menjadi otak pengelolaan berbagai kegiatan, dari pertunjukan hingga seminar. Perannya lebih sering di balik layar. “Sulit kalau ditanya apa pekerjaan saya. Saya lebih suka menyebut diri saya sebagai penulis atau kadang-kadang art networker,” katanya.
Kini Halim tinggal di rumah kontrakan di Kampung Tegalharjo, Jebres, Solo, yang sudah ditempatinya sejak enam tahun silam. Di rumah inilah ia kerap mengadakan acara pemutaran film untuk penduduk setempat. Bila bepergian ke kota lain untuk merancang atau menghadiri kegiatan seni, Halim, yang sampai sekarang masih bujangan, hanya berbekal sandal jepit dan tas kain berisi buku.
Sebagai orang Cina, kehadirannya di dunia seni menjadi unik. Nama aslinya Liem Goan Lay, sepotong nama yang tak dikenal warga seni Indonesia. Lain kalau kita menyebutnya Halim Hardja atau biasa disingkat Halim H.D. Hampir semua seniman mengenal nama itu. Nama tersebut disandangnya ketika ia masih di SMP, tak lama setelah Soe-harto mencanangkan “program pembauran” yang memaksa nama-nama asli Cina dihilangkan.
Halim mencintai seni sejak kecil. Ia terlibat pementasan drama sejak duduk di kelas empat sekolah rakyat. Saat menjadi aktor di panggung, Halim pernah lupa naskah yang mesti dihafalnya karena gugup. Sejak saat itu, ia memilih menjadi koordinator. Kegiatan ini dia lakukan pula di rumah. Halim mengatur latihan dan pementasan Gelora Cening, nama kelompok gambang kromong milik kakaknya. Kegiatan semacam ini berlanjut hingga sekarang, hanya skalanya lebih besar.
Dibesarkan oleh pasangan Lim Cing Siang dan Kun Oo Nie, Halim punya sembilan saudara. Dia lahir di Kampung Paramarayan, Serang, Banten, pada 25 Juni 1952. Meski ayahnya seorang pedagang sekaligus petani, Halim tak pernah dipaksa meneruskan bisnis orang tuanya. Ketika masih duduk di sekolah rakyat, ia sebetulnya sudah dipercayai oleh ayahnya untuk mengelola sebuah gudang. Apalagi Halim sudah bisa menentukan kadar air barang dagangannya, dari melinjo, kacang tanah, keledai, sampai beras. Tapi keluarganya sangat demokratis. Dia juga dibiarkan pergi ke gereja bersama kawan-kawannya kendati orang tuanya menganut Buddhis-Konfuisme.
Sikap itu mungkin dipengaruhi oleh banyaknya bacaan di perpustakaan pribadi keluarga Lim Cing Siang. Mereka juga berlangganan koran. Jangan heran jika Halim doyan membaca sejak kecil. Terinspirasi novel Agatha Christie dan buku-buku filsafat, ia sempat tertarik menjadi detektif atau filsuf. Akhirnya ia belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada sejak 1972 dan keluar tanpa lulus pada 1977.
Latar belakang pendidikannya membuat Halim kian berbeda dari orang Cina umumnya, yang cenderung menggeluti dunia bisnis—begitulah pandangan terhadap budaya Cina. Dia kurang setuju terhadap cara mengekspresikan budaya Cina hanya dengan menonjolkan barongsai dan liong. Di mata Halim, ini sekadar “Mandarinisasi”. Yang lebih penting, bagaimana orang Cina berperan tak cuma di dunia ekonomi, tapi juga di bidang sosial dan budaya. “Kini orang Cina kehilangan kepemimpinan yang memiliki perspektif sosial yang kuat,” ujarnya tegas.
Orang-orang Cina zaman dulu lebih berakar. Halim mencontohkan keberadaan organisasi Hok Tek Beng di Banten. Organisasi yang berdiri sejak 1919 ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari menolong orang sakit, mengurus kematian, hingga membantu korban bencana.
Kehidupan Halim di dunia seni bukanlah tujuannya sejak awal. “Aku sebenarnya tertarik dengan hal-hal baru,” ujarnya. Dorongan inilah yang memberinya kekuatan mengayuh sepeda sepanjang 30-an kilometer dari Yogya ke Parangtritis demi melihat acara Kaum Urakan. Saat itu ia masih bersekolah di SMA di Yogyakarta. Bersama beberapa teman, dia bolos sekolah untuk melihat aksi W.S. Rendra dan Arief Budiman, yang dikenalnya lewat majalah Horison.
Pada 1980-an, ia kerap mondar-mandir ke Salatiga untuk berkumpul dengan Ariel Heryanto dan Arief Budiman, pendiri Yayasan Geni. Pertemuan ini lebih bersifat berbagi pengalaman. Halim ketika itu aktif mengorganisasikan sebuah koperasi untuk buruh.
Kedekatannya dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto sempat mendatangkan masalah saat ia mengadakan sarasehan kesenian bertajuk “Sastra Kontekstual” di Solo pada Oktober 1984. Pihak Akademi Seni Karawitan Indonesia sebagai penyelenggara hampir membatalkan acara itu. Mereka khawatir kehadiran Arief dan Ariel akan mengundang petaka karena keduanya tengah diincar pemerintah Orde Baru. Akhirnya Murtidjono, pemimpin Taman Budaya Surakarta, mengusulkan memakai Monumen Pers.
Halim sendiri juga sering diincar. Banyak surat yang tidak sampai ke rumahnya atau mampir dulu di kantor kodim, koramil, ataupun kejaksaan. Akibatnya, ia sering dipanggil dan diinterogasi. “Terus terang saya takut karena berhadapan dengan institusi yang bisa melakukan apa pun,” ujarnya.
Dia memang tak sampai ditahan. Tapi pernah selama berhari-hari Halim diperiksa dari pukul sembilan pagi hingga tiga sore. Pertanyaan yang diajukan berkisar tentang apakah ia mengenal beberapa nama. Dengan diplomatis Halim menjawab bahwa ia tentu saja mengenal nama-nama tersebut dari koran. Urusan dengan aparat ini berlangsung hingga 1995.
Rintangan dari aparat tidak mengendurkan aktivitasnya di dunia seni. Halim terus mengembara. Terkadang sekadar menonton pertunjukan, kerap pula ia memprovokasi kawan-kawannya agar bersemangat melakukan kegiatan seni. Dialah yang berperan mementaskan Takeya Contemporary Dance Company (TCDC-Tokyo) di Solo pada 1995.
Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Philippines Educational Theater Association (PETA), Halim pernah pula mengorganisasikan workshop teater dan sastra untuk masyarakat pedesaan di berbagai kota di Jawa pada 1983-1988. Lima tahun silam, ia pun memprakarsai terselenggaranya Makassar Arts Forum.
Pada 1989-1992, giliran ia menularkan pengetahuannya dengan mengajarkan budaya di Universitas Michigan, Amerika. Halim juga sempat menjadi asisten riset Benedict Anderson, Indonesianis dari Cornell University. Bahkan, pada 1998, ia menjadi pembicara dalam acara “Konferensi Studi Indonesia-Asia” di Melbourne, Australia.
Kelincahan dan juga kesederhanaan Halim membuat kawan-kawannya heran. “Saya heran, dari mana ia mendapat uang hingga bisa pergi ke mana-mana. Saya kenal Halim sejak 1970-an dan sekarang masih saja seperti itu,” kata Suprapto Suryodarmo, pendiri Padepokan Lemah Putih, Solo, yang juga jebolan Fakultas Filsafat UGM.
Keheranan itu dijawab enteng oleh Halim. Ia mengaku dibiayai teman-temannya yang menampung dan mengundangnya datang ke berbagai kota.
Mirip Odysseus dalam mitologi Yunani yang suka mengembara, Halim tidak pernah berhenti menjelajahi dunia seni, jauh dari hiruk-pikuk urusan bisnis yang biasa digeluti orang Cina. Ketika TEMPO menemuinya awal Agustus silam, ia sedang berkemas untuk bepergian ke Tegal. Setumpuk pakaian dan buku sudah disiapkan. Bersama dengan dalang Ki Enthus Susmono, ia akan mengadakan sebuah workshop. “Saya sedang mendorong teman-teman di sana untuk membuat semacam festival kebudayaan pesisir,” katanya.
Tentu kali ini Halim tak perlu repot-repot meninggalkan sepotong pesan buat kawan-kawannya di Solo.
Sabtu, 24 Desember 2011
Seorang Odysseus dari Solo [Halim H.D.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar