Sabtu, 24 Desember 2011

Seorang Odysseus dari Solo [Halim H.D.]

http://majalah.tempointeraktif.com/

SUATU pagi di Surakarta, 1995. Seorang lelaki yang berpenampilan sederhana bergegas menemui beberapa kawannya. Ia menitipkan sepotong pesan, “Kalau terjadi sesuatu, tolong cek keberadaan saya di kejaksaan.” Sesudah teman-temannya paham, ia buru-buru pergi kantor kejaksaan di daerah Kepatihan, Solo. Di sana ia mesti menjelaskan kiriman lewat pos yang diterimanya, beberapa jurnal kesenian dari Amerika dan Eropa.

Lelaki berkacamata minus ini me-mang kerap menghadapi panggilan aparat. Selain dari kejaksaan, ia kerap mendapat “undangan” dari komando rayon militer (koramil) dan komando distrik militer (kodim). Hanya, saat ia menghadapi panggilan kejaksaan kali ini, teman-temannya tak perlu cemas terlalu lama karena ia akhirnya pulang dengan selamat.

Halim H.D., nama orang itu, bukan-lah seorang aktivis politik. Dia hidup dari dunia kesenian meski bukan seorang seniman. Lelaki berusia 52 tahun ini memiliki peran yang cukup penting dalam pengembangan seni di negeri ini. Halim menjadi otak pengelolaan berbagai kegiatan, dari pertunjukan hingga seminar. Perannya lebih sering di balik layar. “Sulit kalau ditanya apa pekerjaan saya. Saya lebih suka menyebut diri saya sebagai penulis atau kadang-kadang art networker,” katanya.

Kini Halim tinggal di rumah kontrakan di Kampung Tegalharjo, Jebres, Solo, yang sudah ditempatinya sejak enam tahun silam. Di rumah inilah ia kerap mengadakan acara pemutaran film untuk penduduk setempat. Bila bepergian ke kota lain untuk merancang atau menghadiri kegiatan seni, Halim, yang sampai sekarang masih bujangan, hanya berbekal sandal jepit dan tas kain berisi buku.

Sebagai orang Cina, kehadirannya di dunia seni menjadi unik. Nama aslinya Liem Goan Lay, sepotong nama yang tak dikenal warga seni Indonesia. Lain kalau kita menyebutnya Halim Hardja atau biasa disingkat Halim H.D. Hampir semua seniman mengenal nama itu. Nama tersebut disandangnya ketika ia masih di SMP, tak lama setelah Soe-harto mencanangkan “program pembauran” yang memaksa nama-nama asli Cina dihilangkan.

Halim mencintai seni sejak kecil. Ia terlibat pementasan drama sejak duduk di kelas empat sekolah rakyat. Saat menjadi aktor di panggung, Halim pernah lupa naskah yang mesti dihafalnya karena gugup. Sejak saat itu, ia memilih menjadi koordinator. Kegiatan ini dia lakukan pula di rumah. Halim mengatur latihan dan pementasan Gelora Cening, nama kelompok gambang kromong milik kakaknya. Kegiatan semacam ini berlanjut hingga sekarang, hanya skalanya lebih besar.

Dibesarkan oleh pasangan Lim Cing Siang dan Kun Oo Nie, Halim punya sembilan saudara. Dia lahir di Kampung Paramarayan, Serang, Banten, pada 25 Juni 1952. Meski ayahnya seorang pedagang sekaligus petani, Halim tak pernah dipaksa meneruskan bisnis orang tuanya. Ketika masih duduk di sekolah rakyat, ia sebetulnya sudah dipercayai oleh ayahnya untuk mengelola sebuah gudang. Apalagi Halim sudah bisa menentukan kadar air barang dagangannya, dari melinjo, kacang tanah, keledai, sampai beras. Tapi keluarganya sangat demokratis. Dia juga dibiarkan pergi ke gereja bersama kawan-kawannya kendati orang tuanya menganut Buddhis-Konfuisme.

Sikap itu mungkin dipengaruhi oleh banyaknya bacaan di perpustakaan pribadi keluarga Lim Cing Siang. Mereka juga berlangganan koran. Jangan heran jika Halim doyan membaca sejak kecil. Terinspirasi novel Agatha Christie dan buku-buku filsafat, ia sempat tertarik menjadi detektif atau filsuf. Akhirnya ia belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada sejak 1972 dan keluar tanpa lulus pada 1977.

Latar belakang pendidikannya membuat Halim kian berbeda dari orang Cina umumnya, yang cenderung menggeluti dunia bisnis—begitulah pandangan terhadap budaya Cina. Dia kurang setuju terhadap cara mengekspresikan budaya Cina hanya dengan menonjolkan barongsai dan liong. Di mata Halim, ini sekadar “Mandarinisasi”. Yang lebih penting, bagaimana orang Cina berperan tak cuma di dunia ekonomi, tapi juga di bidang sosial dan budaya. “Kini orang Cina kehilangan kepemimpinan yang memiliki perspektif sosial yang kuat,” ujarnya tegas.

Orang-orang Cina zaman dulu lebih berakar. Halim mencontohkan keberadaan organisasi Hok Tek Beng di Banten. Organisasi yang berdiri sejak 1919 ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari menolong orang sakit, mengurus kematian, hingga membantu korban bencana.

Kehidupan Halim di dunia seni bukanlah tujuannya sejak awal. “Aku sebenarnya tertarik dengan hal-hal baru,” ujarnya. Dorongan inilah yang memberinya kekuatan mengayuh sepeda sepanjang 30-an kilometer dari Yogya ke Parangtritis demi melihat acara Kaum Urakan. Saat itu ia masih bersekolah di SMA di Yogyakarta. Bersama beberapa teman, dia bolos sekolah untuk melihat aksi W.S. Rendra dan Arief Budiman, yang dikenalnya lewat majalah Horison.

Pada 1980-an, ia kerap mondar-mandir ke Salatiga untuk berkumpul dengan Ariel Heryanto dan Arief Budiman, pendiri Yayasan Geni. Pertemuan ini lebih bersifat berbagi pengalaman. Halim ketika itu aktif mengorganisasikan sebuah koperasi untuk buruh.

Kedekatannya dengan Arief Budiman dan Ariel Heryanto sempat mendatangkan masalah saat ia mengadakan sarasehan kesenian bertajuk “Sastra Kontekstual” di Solo pada Oktober 1984. Pihak Akademi Seni Karawitan Indonesia sebagai penyelenggara hampir membatalkan acara itu. Mereka khawatir kehadiran Arief dan Ariel akan mengundang petaka karena keduanya tengah diincar pemerintah Orde Baru. Akhirnya Murtidjono, pemimpin Taman Budaya Surakarta, mengusulkan memakai Monumen Pers.

Halim sendiri juga sering diincar. Banyak surat yang tidak sampai ke rumahnya atau mampir dulu di kantor kodim, koramil, ataupun kejaksaan. Akibatnya, ia sering dipanggil dan diinterogasi. “Terus terang saya takut karena berhadapan dengan institusi yang bisa melakukan apa pun,” ujarnya.

Dia memang tak sampai ditahan. Tapi pernah selama berhari-hari Halim diperiksa dari pukul sembilan pagi hingga tiga sore. Pertanyaan yang diajukan berkisar tentang apakah ia mengenal beberapa nama. Dengan diplomatis Halim menjawab bahwa ia tentu saja mengenal nama-nama tersebut dari koran. Urusan dengan aparat ini berlangsung hingga 1995.

Rintangan dari aparat tidak mengendurkan aktivitasnya di dunia seni. Halim terus mengembara. Terkadang sekadar menonton pertunjukan, kerap pula ia memprovokasi kawan-kawannya agar bersemangat melakukan kegiatan seni. Dialah yang berperan mementaskan Takeya Contemporary Dance Company (TCDC-Tokyo) di Solo pada 1995.

Bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan Philippines Educational Theater Association (PETA), Halim pernah pula mengorganisasikan workshop teater dan sastra untuk masyarakat pedesaan di berbagai kota di Jawa pada 1983-1988. Lima tahun silam, ia pun memprakarsai terselenggaranya Makassar Arts Forum.

Pada 1989-1992, giliran ia menularkan pengetahuannya dengan mengajarkan budaya di Universitas Michigan, Amerika. Halim juga sempat menjadi asisten riset Benedict Anderson, Indonesianis dari Cornell University. Bahkan, pada 1998, ia menjadi pembicara dalam acara “Konferensi Studi Indonesia-Asia” di Melbourne, Australia.

Kelincahan dan juga kesederhanaan Halim membuat kawan-kawannya heran. “Saya heran, dari mana ia mendapat uang hingga bisa pergi ke mana-mana. Saya kenal Halim sejak 1970-an dan sekarang masih saja seperti itu,” kata Suprapto Suryodarmo, pendiri Padepokan Lemah Putih, Solo, yang juga jebolan Fakultas Filsafat UGM.

Keheranan itu dijawab enteng oleh Halim. Ia mengaku dibiayai teman-temannya yang menampung dan mengundangnya datang ke berbagai kota.

Mirip Odysseus dalam mitologi Yunani yang suka mengembara, Halim tidak pernah berhenti menjelajahi dunia seni, jauh dari hiruk-pikuk urusan bisnis yang biasa digeluti orang Cina. Ketika TEMPO menemuinya awal Agustus silam, ia sedang berkemas untuk bepergian ke Tegal. Setumpuk pakaian dan buku sudah disiapkan. Bersama dengan dalang Ki Enthus Susmono, ia akan mengadakan sebuah workshop. “Saya sedang mendorong teman-teman di sana untuk membuat semacam festival kebudayaan pesisir,” katanya.

Tentu kali ini Halim tak perlu repot-repot meninggalkan sepotong pesan buat kawan-kawannya di Solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar