Judul: Demokrasi La Roiba Fih
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, Juli 2009
Halaman: vi + 282 halaman
Harga: Rp 45.000
ISBN: 978-979-709-427-0
Peresensi: Ali Rif’an*
http://nasional.kompas.com/
Di tengah-tengah runcingnya persoalan bangsa tak ada habisnya, membaca esai-esai Emha Ainun Nadjib serasa bagaikan mendapat suntikan segar dan menyejukkan, cerdas sekaligus bernas.
Nama Cak Nun, sapaan akrab budayawan Emha Ainun Nadjib, tentu sudah tak asing lagi kita dengar. Bersama Kiai Kanjeng, Cak Nun mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambangi semua lapisan masyarakat, dari birokrat, elite politik, intelektual, berbagai penganut agama, pelacur, petani, hingga kaum marginal lain.
Sebagai pekerja sosial, Cak Nun lebih banyak dijadwal oleh masyarakat yang selalu disapanya lewat berbagai acara dan pertemuan. Setidaknya ada lima acara rutin yang diasuhnya: Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Ilahi (Malang).
Selain itu, Cak Nun juga melayani undangan dari berbagai kalangan dan pencarian solusi atas masalah-masalah bersama. Terhitung dari tahun 1998 sampai 2006, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1.430 kecamatan, dan 1.850 desa di seluruh pelosok Nusantara Indonesia. Bahkan belakangan kerap kali diundang ke berbagai belahan mancanegara.
Budayawan yang jeli
Cak Nun dikenal sebagai budayawan yang jeli dalam mengamati tiap perkara. Mulai dari yang remeh temeh sampai yang aneh-aneh, dari yang biasa-biasa sampai yang luar biasa. Ia mencoba menyisir segala persoalan kebangsaan dengan pisau analisa kebudayaan.
Bahasa kebudayaan dan sikap terbuka untuk semua kalangan merupakan arus utama yang menjadi ciri khas Cak Nun dalam berdakwah. Tanpa melihat warna dan stratifikasi sosial, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng selalu hadir menghampiri seluruh lapisan masyarakat dengan membawa kado cinta dan perdamaian menuju spirit bangsa yang adil dan sejahtera.
Bagi Cak Nun, nasionalisme menjadi bagian yang determinan bagi terwujudnya kesejahteraan. Nasionalisme dan kesejahteraan ibarat dua picing mata yang saling berhubungan. Ketika salah satu terpejam, terkadang yang lain berledip atau terbelalak tajam. Kadang pula serempak berkedip dan terpejam. Tetapi dalam konteks Indonesia, keduanya tampak berjalan tidak seimbang, bahkan berbenturan. Ini dapat dilihat dari kepeminpinan enam presiden di negeri ini, keseimbangan antara nasionalisme dan kesejahteraan kerap mengalami pasang surut.
Untuk itu, menjadi penting kiranya merefleksikan semangat membangun keutuhan bangsa demi terciptanya nasionalime bangsa yang kuat. Nasionalisme adalah senyawa dalam membangun sebuah bangsa. Orang tak mungkin dipaksa mengerek bendera dengan perut lapar. Sebaliknya, sungguh nista menjual bendera bangsanya demi urusan perut belaka.
Buku ini memperlihatkan adanya fenomena lain tentang masih adanya kekuatan revolusioner dari seorang budayawan. Melalui seranai obrolan imajiner yang cerdas, kocak, dan sesekali jahil, buku ini mencoba menyisir berbagai persoalan ekonomi dan kebangsaan dengan pisau analisa yang tajam.
Secara garis besar, Cak Nun berbicara tentang fenomena yang sedang hangat sekaligus sensitif di negeri ini. Mulai dari hal ihwal korupsi, demokrasi, hukum, reformasi, nasionalisme, hingga tentang musik, yang semua dikaitkan dengan tuntunan agama universal. Berbeda dengan buku sebelumnya (Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki: 2007) yang selalu melakukan kritik tajam terhadap berbagai persoalan bangsa. Dalam buku Demokrasi La Roiba Fih ini Cak Nun justru berusaha menempatkan diri pada posisi pro terhadap kejadian apapun yang sedang berlangsung. Tentu saja dengan justifikasi yang menarik, out of the box, dan tidak meninggalkan satire yang selalu membuat pembaca merasa getir terhadap isu yang diangkat.
Ketika berbicara demokrasi, misalnya, Cak Nun dengan tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa demokrasi itu harga mati. Al-Qur’an boleh bilang bahwa dirinya la roiba fih, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang-undang di negeri ini, kata Cak Nun, orang boleh meragukan Al-Qur’an, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan secara implisit sebaiknya orang menolak dan membencinya.
Tetapi berbeda dengan demokrasi. Bagi Cak Nun, demokrasi-lah la roiba fih yang sejati. Sebab, di dalam praktik konstitusi negeri ini, demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Artinya, orang tidak akan ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hukum jika menolak demokrasi (hlm. 54-55).
Begitu pula ketika bicara tentang korupsi. Bagi Cak Nun, tidak gampang mengukur kadarnya korupsi di negeri ini apakah sebagai suatu “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia” atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama? Karena yang menarik dari fenomena korupsi adalah, jauh sebelum melakukan korupsi di tataran kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi, sejak dini masyarakat kita sudah lihai melakukan korupsi iman, ilmu, waktu, cara berpikir, dan sejatinya isi hati (hlm. 125).
Tetapi demikian, Cak Nun tetap kekeh mengatakan bahwa Indonesia itu luar biasa. Coba bayangkan, puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. “Ahli statistik di belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat makanan utama bangsa Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.” (hlm. 128).
Pada titik inilah, membaca esai-esai alumnus International Writing Program di lowa University, Amerika Serikat (AS) ini menjadi penting kiranya. Gaya tutur yang lugas, nyentil, gayeng (cair), dan penuh aroma sastrawi serasa membuat kita enggan berhenti membacanya. Pun lebih mudah menguak pesan yang tersaji dalam tiap jengkal lembar karya bagus ini.
Buku ini murupakan kompilasi esai-esai Cak Nun yang telah dipublikasikan di pelbagai harian nasional, khususnya Kompas. Hanya saja, penataan tema yang kurang sistematis dan runtut menjadi satu catatan dalam buku setebal 282 halaman ini.
*) Peresensi adalah Ali Rif’an, Pemerhati Budaya, Pengelola Rumah Pustaka FLP Ciputat, dan Peneliti di Community of People Against-Corruption (CPA-C) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selasa, 27 Desember 2011
Ketika Cak Nun Bertutur tentang Persoalan Bangsa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar