Nu’man ’Zeus’ Anggara
http://sastra-indonesia.com/
M.S. Nugroho, sebagai cerpenis yang telah menulis beberapa karya yang beridekan sastra Panji, romantika remaja, pergaulan suami istri telah memberikan penawaran yang di beberapa sisi menyegarkan dan di sisi yang lain memmpunyai kecenderungan identik dengan gaya penulisan beberapa pengarang Jombang. Sebagai pembaca yang kurang atau bahkan sedikit sekali mengetahui seluk-beluk cerita panji, melalui tulisan ini akan mencoba membayangkan logika cerpen pengarang kita ini dengan resiko segala kekurangan dan ketidak-akuratan.
Membayangkan sebuah gaya dominan dalam konteks geo-kesusastraan memancing kesimpulan-kesimpulan tergesa-gesa atau klaim dengan harapan penegasan tersebut menjadi potret standar yang diikuti komentator-komentator lainnya. Gaya penulis Jombang tidak bisa ditarik dengan melihat strategi diksi atau pilihan kalimat, tetapi membayangkan sesuatu yang lebih luas seperti tendensi psikologi budaya dan sejarah kepenulisan di wilayah ini. Dengan tidak memperhatikan penulis lama seperti Emha Ainun Najib hingga cerpenis seperti rekan Nugroho ini akan ada benang merah yang dapat menandai stilistika dan gaya bahasa yang kuat menjadi merk sastra Jombang. Sebuah hal yang klise jika membayangkan kota ini sebagai kota santri dimana tradisi keislaman yang berakar sejak lama membuat sebuah kondisi kesusastraan harus langsung menggunakan simbol-simbol keagamaan dengan vulgar dan definitif. Pendekatan yang alamiah dan manusiawi, yang artinya juga sama dengan spiritualitas dalam konotasi perennial, dicoba dituliskan dalam antologi ini.
Beberapa cerpen dalam antologi ini dapat dibaca dengan tidak mengharapkan sesuatu yang luar biasa, cerita berjalan dan diukir dengan bahasa dan pendekatan narasi yang tidak istimewa. Namun dalam jumlah yang lebih besar, cerita-cerita menjanjikan endapan-endapan kreatif yang punya arah menggembirakan dan mencerahkan secara kritik. Singkatnya, hanya sedikit cerpen dalam antologi ini yang akan membuat pembaca malas-malasan menikmatinya. Dengan tetap mengingat bahwa dalam karya-karya Nugroho yang istimewa juga memiliki celah kelemahan.
Tokoh Jaka Bayawak yang diambil dari dongeng Panji dicurahkan melalui karakter Dewi di masa kini yang sedang diterangi temaram lampu di bar kecil. Lalu dimulailah cerita waktu ganda. Adegan-adegan berjalan filmis seirama dengan tragedi masing-masing perempuan di waktu terpisah. Penedekatan ini sebenarnya tidak terlalu orisinil, tetapi percobaan yang tidak hati-hati dan kaya fantasi akan gagal menciptakan sensasi yang mampu mengungkapkan isi tematik dari cerita referensi. Dengan kelihaian menempatkan adegan, Entropi Jaka Bayawak sukses meramu segelas jamu beras kencur dengan tujuh gelas bir dengan rasa yang sama mendayu-dayunya di latar waktu yang berbeda. Bahasa perempuan yang nyaris tanpa revisi.
Seperti halnya juga cerpen diatas, Yuyu Kangkang Kata-Kata mengeksplorasi dongeng dengan menderu-deru. Hanya saja aspek yang dirayakan di komposisi ini adalah kata-kata. Kenapa Yuyu Kangkang? Nugroho lebih tahu alasannya. Yang dapat dilihat disini lebih pada bagaimana kata-kata yang berkhianat, penuh dendam, dan berhamburan tidak bisa diandalkan sebagai sandaran terakhir realitas. ’Semuanya berubah, menjadi abjad pertama, menjadi pertama. Menjadi satu dan Sang Satu.’ Seperti dongeng, moral ceritanya jelas dan untuk kepentingan sastra mutakhir dirancang manuver tekstual dalam formasi liris dan puitis. Tidak ketinggalan juga: tipografi.
Jago untuk Presiden. Katakanlah ini versi parodi Panji gaya Seno Gumira Ajidharma yang aroma sastra Jombang (kalau memang ada) untuk menggambarkan nasib mengharap Ratu Adil. Kekuasaan merupakan perkara memiliki ayam andalan yang akhirnya berakhir dengan tragis. Bagaimana Nade Garang yang mencari pembenaran atas petunjuk gaib pada kisah ini harus merelakan ujung nasibnya berada di dalam penjara. Yang layak dicatat, bagaimana pencerita memberikan kesan yang hidup pada perjalanan sang tokoh di tengah pencariannya dengan mencoba menghadirkan properti keseharian secara wajar dan relevan dengan bawah sadar sang tokoh.
Sayap-Sayap dari Langit, sungguh cerita remaja.
90’3GP, kurang menggigit karena arus kesadaran yang seharusnya dipertajam malah terlupakan.
Senandung Hujan Sore Hari, idem.
Aku Melihat Kaki itu Dipotong, realisme sosial seperti ini memang mengharukan tetapi dalam fiksi butuh sesuatu yang lebih. Untuk pembaca remaja mungkin masih sesuai.
Monolog Malam mengesahkan Nugroho memiliki perhatian lintas gender dengan pengamatan keseharian dia yang cair tentang lingkungannya. Gadis-gadis yang hidup di pesantren sebagai subyek utama mengalami semacam konflik peran yang biasa menguras emosi perempuan pada umumnya, kegalauan menjelang pernikahan. Pergolakan batin tokoh-tokoh didalamnya layak mendapat perhatian feminis karena, selain cerpen ini ditulis oleh lak-laki, beberapa pembenaran masokis tentang hubungan pernikahan menjadi hal utama yang harus dimiliki perempuan dan biasanya diambil dari rasionalisasi keagamaan. Untungnya Nugroho masih mengatakannya sebagai hal yang ’Sangat indah dan sungguh aneh. Sungguh aneh.’
Yang sangat instropektif sebagai laki-laki mungkin diwakili oleh Nyanyian untuk Para Babi. Bukan karena tokohnya sendiri bernama Nugroho, tetapi memperlihatkan benar kesehariannya yang tragik komedi. Sebagai sarjana seni musik, tokoh ini harus merelakan dirinya bergaul dengan para babi yang jelas-jelas menggerogoti kewarasannya. Sebagai mahluk sosial yang harus berhubungan dengan orang (/babi) banyak mengakibatkan sejenis alienasi yang merupakan konsekwensi logis dari pengingkaran diri dari waktu ke waktu. Babi-babi memang hanya bisa mendengarkan lagu babi, seperti halnya musik manusia yang sesungguhnya harus bisa didengarkan manusia. Memang cerpen ini tidak sehebat Kafka atau fiksi-fiksi tentang krisis identitas manusia akhir sejarah lainnya tetapi gayanya yang menghibur membuat cerpen ini memiliki kenikmatan tersendiri.
Merpati Amerika, Kucing Jawa, Kucing Australia sebenarnya bagus juga memproyeksikan individu silang budaya, perkembangan konfliknya yang kurang tajam dan personifikasi perembuan bule yang hanya sekedar tempelan sehingga tidak mampu memberikan sensasi kuat menyebabkan cerita ini cukup dibaca dengan alasan intermezzo. Tanpa melupakan bahwa kelucuan dan sekaligus adegan penutupnya begitu hidup.
Ada juga cerita dewasa dalam antologi ini dan sangat mirip film cult. Segmen Kadung, tentu saja. Tetapi pembaca tidak perlu merasa cabul jika membacanya, karena suspense yang bagus sudah dibangun sejak tengah cerita dan apabila dikembangkan seharusnya bisa menciptakan sex thriller yang bikin menggigil. Karakter-karakternya juga hidup. Yang disayangkan, justru pada saat seperti ini kebutuhan untuk berbahasa yang kondusif atau mungkin memasang latar panggung yang kuat tidak hadir seperti yang diharapkan.
Kamar Rahasia lagi-lagi sangat perempuan. Nilai tambahnya ada pada kekelaman gaya Prosper Merimee. Tetapi itulah masalahnya: sangat perempuan. Atau bisa jadi subyek ini memang yang diandalkan Nugroho dalam menggali inspirasi, bukan dalam pendekatan feminis tetapi feminin dalam kebahasaan dan perlakuan perwatakannya.
Secara keseluran, antologi ini bolehlah dikatakan cukup menggemaskan. Mengenai kekuatannya, seperti biasa cerpen-cerpen selalu menempatkan akhir cerita sebagai andalan dan Nugroho berhasil melakukannya dengan baik. Bahasa yang trend saat ini dalam dunia cerpen Indonesia juga tidak terlupakan, seperti halnya bahasa yang dipakai banyak penyair yang ikut-ikut menulis cerpen di koran-koran. Cerpenis yang juga guru SMP ini sepertinya telah menempatkan bahasa sebagai andalan yang tidak tanggung-tanggung, hingga melahirkan cerpen-cerpen metaforis bukan dalam sisi penceritaannya melainkan dalam gagasan-gagasan di luar fiksi seperti permainan tanda dan kosmologi teks, sesuatu yang langsung terlihat secara spasial dalam tulisan. Ini juga menjadi salah satu kegemaran beberapa pencerita masa kini sesuai dengan nafas zaman yang dipenuhi eksperimentasi. Kuncinya ada bagaimana mengukur porsi yang tepat dan tidak berlebihan dalam mengolahnya.
Ide besar tidak merupakan ambisi cerpen-cerpennya tetapi kesederhanaan dan jurnalisme sosial yang akrab dengan lingkungan dimana dia hidup, ide yang dikelola dengan ketrampilan menyusun harmoni yang utuh antara satu bagian adegan dengan adegan lainnya. Tulisan yang dibuatnya seperti memiliki durasi dan tidak dibaca dalam figur lembar-lembar halaman.
Apabila dicari ukuran mudah untuk menegaskan kualitas sebuah karya antara rentang terendah hingga tertinggi dengan kategori: lupakan saja, jelek, lumayan, bagus, luar biasa, dan menyejarah, tulisan ini akan memberikan kesimpulan antologi ini dengan penilaian: bagus. Dengan catatan, Nugroho mempunyai peluang yang besar sekali untuk membuat yang luar biasa jika mengacu pada antologi ini. Kekuatan dalam keragaman cerpennya juga cuma perlu sedikit koreksi, mungkin naturalisme bisa dipertimbangkan untuk menciptakan ruang yang konstruktif bagi tokoh-tokohnya. Judul antologi ini juga agak remeh. Dan apakah sastra Jombang selalu bertutur selembut itu?
Wassalam.
Sabtu, 24 Desember 2011
Bahasa dan sebagainya dalam antologi Presiden Panji Laras
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar