Jumat, 26 Agustus 2011

Njaran1

Wong Wing King
http://sastra-indonesia.com/

“Dapatkah kau teruskan pekerjaan bapakmu?”
“Yang mana pak?”
“Yang mana menurutmu layak diperjuangkan?"

Bapak memalingkan muka kearah timur, tepat dikanan pundaknya, jidatnya ditempelkan pada kaca yang tertutup rapat, seolah mencari matahari yang akan terbit dari balik rimbunan siluet batang bambu. Aku menatap batang lehernya yang mengkerut kulitnya, terlihat tulang tengkuknya. Kuarahkan pandangan keatasnya lagi, dari beningnya kaca padang mbulan2 menampakkan kalangan3 nya. Menyejukkan sekali mataku, cahaya terang menyirami batang – batang jagung muda, berumur empat puluh lima hari yang terhampar seluas lima hektar di samping rumah. Sedikit aneh dari pandangan mataku, bulan purnama sekarang, menyembul dari ubun – ubun bapak.

Aku nyalakan sebatang rokok khas lintingan4 bapak, tinggal beberapa batang saja tak akan cukup untuk jagongan5 semalam suntuk.

Bapak…bapak, ada…ada saja. Tak merasa rindukah padaku yang baru masuk rumah selama empat jam. Jantungku belum sepenuhnya meraskan kesejukkan angin desa. Kiranya apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu., toh aku merasa sudah mampu menghidupi mulutku sendiri, bahkan sudah empat kalinya kedatangan ku sekarang ini hanya untuk mengajaknya lagi melihat kemegahan padang Arofah dan saksi bisu bukit Sofa – Marwa ketika Adam dan Hawa memperjuangkan diri dari kepunahan. Kemudian lahirlah aku, tapi bapak – ibuku dipertemukan dalam program pemerataan penduduk di zaman presiden ke dua negara ini. Rokok yang berat dihisap, membuat lidahku gatal, sedikit rasa takdim bahwa rokok hasil karya bapakku, aku menahan rasa sakit yang teramat sakit disertai nyeri di dada kiriku, spontan hampir batuk ketika itu juga bapak berjalan ke sebelah barat tangannnya menekan tombol power radio, suara langgam jawa dan campur sari meledak dari speaker, ku buka mulutku hendak batuk yang tak tertahan lagi, bapak menolehku, menetap tanpa air muka, sejenak kata – kata yang keluar dari mulutnya memukulku, batuk tak jadi, tersiksa malu aku.

Pada usia tujuh tahun aku dapat merasakan surga ada ditelapak kaki ibu. Ditahun – tahun selanjutnya surga ada di telapak kaki bapak. Kebiasaan yang sulit bapak rubah adalah kekolotannya terhadapku, di mata bapak aku masih bocah yang apapun kebutuhanku harus sesuai keinginan bapak. Itulah yang membuatku tidak enak tinggal di rumah joglo hasil keringatnya. Dan lebih memilih membiarkan bapak dalam kesendirian bapak merawat rumah.

Pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku saat ini. Cuti yang ku ambil hanya tujuh puluh dua jam di negara ini.

Channel radio di pindah bapak, irama musik menyedot kesunyian dan isi dalam tulang rusuknya, seakan tak perduli tentang pendapatku.
“Berapa lama kamu tidak melihat jaranan?”
“Sebelum aku menjadi tukang sapu di Negara paman sam!”
“Berapa tahun?”
“Lebih dari delapan belas tahun yang lalu”.
“Kalau begitu lihat ini”.

Bapak mematikan radio, berpindah tempat kearah berlawanan menghidupkan cd player, memasukkan cd dan menekan power televisi. Dalam layar monitor muncul turonggo budoyo, rakaman ala kadarnya menjadikan gambar – gambar yang muncul pun tak maksimal. Mataku panas terkena asap rokok. Suara kendang menusuk telinga, terompetnya seperti menjahit gendangku. Sudah lama pertunjukkan ini tak kulihat di tempatku bekerja video – video pertunjukkan jauh lebih hidup penyajiannya, lebih canggih dan iramanya sangat pas di telingaku yang ada di kepala, kampungan itu.

Ha,..ha..,ha.. bapak ada di rekaman video itu, terlihat masih agak muda meskipun gambarnya terlihat seperti video dokumentasi zaman perang, jadul banget.

Bapak melihatku meringis, diambilnya sisa rokok yang hanya sebatang. Di sulutnya, suara meledak dari rokok lintingannya sendiri, ada pijaran api seperti tungku masak tukang besi,bapak begitu menikmati sensasinya, di tiap hempasan asap kelabu. Kumisnya yang tebal tak dirapikan dan tubuhnya gagah, senyumnya sangat berwibawa seperti panglima perang, namun aku tak mewarisinya. Aku lebih mirip ibuku, kurus, tinggi berwajah lonjong.

“Lihatlah tukang sapu!”
“Aku berhasil naik kuda.”

“Pak aku lebih dari itu. kuda asli yang kunaiki, menjelajah hutan rimba di Misissippi lebih menegangkan.”

“Itu katamu. Ini kuda warisan leluhurmu, umurnya lebih panjang dari usia bapakmu ini, bahkan jauh lebih tua dari umur kakek buyutmu!”

“Apa hebatnya pak, hanya rajutan bambu saja yang di cat. Dulu aku pernah menyewa kuda hitam Mesir yang terkenal kekuatannya, aku tunggangi sehari semalam menyusuri bukit batu dan padang pasir. Hingga di stop petugas kuda di larang masuk di jalur bus way yaitu jalan menuju patung spinx”.

“Delapan belas tahun, yah waktu yang cukup lama membuatmu menjadi bangsa lain. Tapi bapakmu tak akan bergeming sepertimu. Dasar tukang sapu”.

Bapak terlihat sangat marah menetapku tajam, melihat mataku ada gelombang merambat dari pancaran matanya menerjuni otakku dan yang ada dalam hatiku. Aku tak mengerti hal aneh itu, tetapi betapapun bapak marah setalah itu tak perduli lagi dan aku akan mengulanginya lagi, pasti agar bapak tak diam saja otaknya dan aku membuat masalah, selanjutnya yang lebih menegangkan. Aku akan berusaha menjadi mahkluk trasparan saat bapak memarahiku hingga bapak tak menemukan apapun yang ada dalam tubuhku, entah itu tinja atau darah.

“Pak, aku di sana tidak menyapu jalan, atau jadi tukang kebun. Di luar negeri, semua sudah menggunakan perlatan canggih, apalagi kerjaku di dalam ruangan, jadi menyapu cukup memakai mesin penyedot debu. Ruangan yang ku sapu adalah kampus terkenal pak. Tak cukup menjadi tukang sapu saja pak, aku mendapat kesempatan ikut kuliah jurusan pengeboran minyak bumi. Apa mungkin aku mampu menaaikan haji bapak sampai beberapa kali dan semua kelas vip”.

“Jadi mentang – mentang kamu dapat ilmu dari luar, dapat duit banyak, kwalat kamu nanti. Kamu ndak ngerti uang yang kamu kirim itu semua ada di bank sana, tidak bapak gunakan serupiah pun, bapak ini masih banyak tanggapan kayak yang kamu tonton tadi. Itulah caraku melupakan rinduku padamu, menjadi penari jaranan belasan tahun yang akhirnya aku menjadi seoarang pelatih tari jaranan. Kamu lihat di depan rumah ini, di halaman stiap bulan tujuh kali di penuhi anak – anak belajar menari jaranan.

“Lalu…”
“itukah hasil belajar di luar negeri. Kamu tidak pernah di ajari sejarah negara asalmu, pantas kamu memuja negara tempatmu sekolah. Dan kamu sudah menjadi turis saat kembali ke rumah ini”.

“Pak tugas yang ku kerjakan lebih berat dari bapak, di daerah Irak aku di tugaskan mengebor sumber minyak, sedang disana terjadi perang. Nyawa, nyawa taruhannya pak”.

“Tapi kamu lupa asalmu, yang terlihat hanya uang di matamu. Bapak minta kamu tidak usah lagi kembali lagi ke luar negeri, jadi tki. Mulai besok kamu mencari bamboo di ujung sawah itu”.

Aku tak menjawab bapak yang aku kira bicara ngelantur. Aku menyulut rokok baru yang ku siapkan dari luar negeri kemarin, ada hal aneh menusuk langit – langit lidahku, mantap rasanya.

“Besok buat setelah mencari bambu, bapak aajri kamu membuat jaranan. Dan sorenya kamu harus ikut latihan anak – anak muda desa ini latihan menari di halaman depan”.

Aku tak menjawab bapak, aku melihat ke luar jendela, ladang jagung sangat gelap sekali, semua tampak siluet, alunan musik jaranan membuat kupingku terasa penuh beban. Aku keluar rumah, mengirup angin segar, melihat ladang jagung sangat luas, keluar lewat lubang jendela aroma mistik setelah terompet jaranan melengking lewat telingaku, merinding bulu kudukku. Bau wangi kemenyen baru saja mnyebar seluruh ruangan dan keluar rumah, bapak membakarnya sambil bersila, sambil menoleh kearahku, terlihat dari kaca jendela, berkata lembut, dalam diri manusia ada sifat jaran6 le7, kamu harus menaklukkannya.

Beweh- Ngogri Jombang

Keterangan:
1. Sedang menaiki kuda lumping
2. Bulan terang benderang
3. Lingkaran cahaya yang ada di sekitar bulan
4. Rokok yang di kerjakan manual
5. Duduk –duduk bersama
6. Kuda
7. Le = Nak

*) Aktif di Sanggar Sinau Lentera, dan Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar