Kamis, 21 Oktober 2010

Musrow *

Sabrank Suparno
 
Let’s, here! Wanita bermata biru, berambut pirang menarik tanganku ke tengah arena. Kami pun berjingkrak dan sesekali berteriak serempak hanyut terbawa arus hot musik disko berkekuatan 10.000 watt. Volume getarnya menyentak dada. Mr. Dj kerap disamperi wanita, joget bersama, dan diberi sekuntum bunga. “Shab..are you Balines?” Teriak tanya wanita itu keras. Bukan karena ia terbiasa bersuara keras, namun di ruang itu tak terdengar jika tidak berteriak. Bahasanya asal comot dari kaidah tata bahasa yang kupelajari jaman sekolah. Seperti rata rata bule lainnya, tak terlalu pusing dengan aturan bahasa. Bagi mereka yang penting mengerti maksutnya. “No, I am Javanes,” jawabku dekat telinganya.
 
Tuangan musik Mr. Dj perlahan semakin menggila, setelah sorenya diawali 4 wanita belia penari telanjang. Terbesit dalam benakku bahwa negeri ini sungguh makmur, berdagang apa saja laku terjual, termasuk hidangan 4 penari ini, delapan pepayah Thailand dan 4 bakpaonya onjoi dinikmati para pengunjung. Seandainya ruang itu tiba tiba meledak seperti di Paradis Clup, hancurlah seisi ruang.
 
Sepasang mata waitrees menangkap lambaian tanganku. “Dua bir kecil. Berapa?” Waitrees itu memperlihatkan angka kalkulator Rp. 48.000.00; Aku menduga, pengelola gedung mewah pasti meyertakan biaya pajak kepada pengunjungnya. Dua botol kecil yang mestinya Rp. 16.000.00; di tempat umum. Seperti yang lain, tak hanya datang berdansa. Ada pula yang bertransaksi jual beli dan lalu pergi.
 
Sidragh. Demikian aku memanggilnya. Kata pendek dari namanya yang panjang dalam paspornya. Namanya mirip Indian. Aku mengenalnya empat hari lalu di depan kost sebagai tetangga baruku. Entah gadis atau janda, wanita asal Amerika ini bagiku sama dengan tak terhitung wanita bule yang bersamaku. Sedang bule bagiku adalah santapan empuk yang tak sekedar nyaman menemaninya, dollarnya pun berlipat ganda jika ditukar rupiah.
 
Malam minggu, atau yang mereka kenal dengan istilah ‘weekand’, rumah baru itu ramai party ulang tahun. Tentu saja yang datang para bule. Mungkin teman, saudara, kolega, atau aku juga tak pedulikannya. Saat tangah malam mereka pulang dalam keadaan mabok.
 
Paginya pintuku diketuk tatangga saat aku belum selesai merampungkan kantuk. “Sorry, any dog’s death infront of,” kata Derick si bule Asal Belanda yang menikah dengan Ayu, janda Banyuwangi. Swami istri antar negara itu menghuni motel yang pintunya tepat depan kamarku. Lebih jauh Derick mengutarakan perihal para tetangga yang jijik dengan bangkai anjing mati cemet terlindas mobil semalam. Kepalanya pecah. Cairan putih otaknya semburat. Darah memerah segar dan bau amis menyengat. Kontan saja orang yang lewat mual dan muntah.
 
“Miss..miss!” Sambil ketuk pintu kupanggili dia, dan bukan, “Madam!” Panggilan untuk wanita seusia dia yang belum pantas dipanggil madam. “Morning, what happen?” wajahnya redup sisa genangan alkohol semalam, dan terkejut saat kukabari, “your dog’s death! Maybe your car frends..tread, last nigh.” Ia lalu berdiri melihat ketika aku memunguti serpihan daging anjingnya dan kukemas kantong plastik. Seperti ada yang kehilangan dari hidupnya saat aku membuangnya ke sungai terdekat. Rambut panjangnya yang baru dipiling tergarai berserakan di altar pipi dan tepi kedua matanya. Duka yang mestinya ia lipat, tampak lebih jelas.
 
Peristiwa itu membuatnya simpati kepadaku. Menurut dia, dengan hewan saja aku sesayang itu. Padahal sesungguhnya aku sendiri menahan muntah. “Setangguh apa pun, wanita perlu perlindungan. Apalagi kala di rantau.” Singkat komentarnya.
 
Alhasil, dua jam kemudian ia memintaku mengantar perjalanan wisatanya. Aku yang hafal daerah Bali, segera memaping rute area. Untuk ke Ubud, sekali jalan dengan Sukawati dan Gianyar. Sedang ke Pura Besakih, perlu waktu sehari. Kalau tidak berlama lama berselancar Motor Boat dan Air Parashute di Tanjung Benoa, wilayah Bali selatan bisa dituntaskan sehari dengan Diving ke Uluwatu dan Jimbaran. Wisata hutan kera Sangai, bareng sekalian ke puncak Bedugul. Selebihnya ke Tanah Lot, Jembrana, Tabanan sekali paket perjalanan, serta ke Buleleng sepanjang pantai utara Bali juga kukemas dalam sekali jalan. Pelancongan kami bersantai ria di sekitaran Kuta.
***
 
Pukul 3 sore aku pamit pergi ke kolam. P. Jero Suartur menyerahkan merawat ikannya. Sejak Bom Bali, jutaan ikan lele dan gurami miliknya tak mampu lagi membelikan Comfeet. Jangankan dana untuk makan ikan, lima bungalownya saja ditutup dan beberapa karyawan di PHK. Maklum, sehari setelah bom, tak ada satu pun touris berseliweran.
 
Ikan ikan ini seperti anakku. Mereka menunggu bapaknya pulang membawa sebungkus nasi pengganjal lapar yang melilit seharian. Sejak membuka pintu pagar bambu yang mengelilingi kolam, ikan ikan langsung menyerbuku. Segera, buah terong dan daun pepaya yang kutanam tiga bulan lalu, kutebasi dan kulempar. Saat itulah aku melihat mereka berpesta sejenak dalam hidupnya.
 
Aku sering mendengar ikan ikan kuntet ini berharap, suatu hari ada serombungan sapi yang berlarian dan terjebur di kolam itu. Bangkai bangkai sapi itu tak akan membuatnya lapar lagi. Karena sakit, aku pernah tak datang 3 hari. Gemuruh suara mereka berharap aku datang dengan tubuh tertatih, badanku lemas, mata berkunang, jalan terseok sempoyongan dan aku terjatuh kekolam dan mati tak diketahui orang. Namun yang paling sering aku dengar dan hampir tiap hari adalah orang datang beramai ramai sambil membawa jenazah Amrozi dan Imam Samudra setelah dieksekusi. Memakan bangkai mereka berdua, selezat hidangan sorga.
 
Tak hanya ikan yang menungguku. Kepi juga langsung berteriak sorak menyambut tiap kedatanganku. Selama di kolam, Kepilah yang mendampingiku sambil meluapkan keluh. Jika ada waktu luang, Kepi dan ikan iakan ini sering aku bawakan sekarung rengsekan ikan yang kucari dari pasar nelayan Kedonganan. Sengaja aku memanggilnya Kepi, setara anjing ashabul kahfi yang berpuasa menahun. Sebab, semestinya Kepi tumbuh besar seusia anjing lainnya. Namun karena kurang makan, Kepi jadi kecentet (tak bisa tumbuh normal).
 
Suatu malam, Kepi mengutarakan keinginanya. Ia berkeinginan mencari kuburan siapa saja yang terlibat pengeboman di Bali. Gundukan kuburan mereka akan Kepi bongkar, mayatnya diseret keluar, kafannya diudari dan dikencingi sebelum ia koyak, ia pamah sampai tulang belulang sekali pun.
 
Tragedi Pradis Clup tak hanya membuat famili korban berduka. Puluhan stand artshop dan handycarf sepanjang jalanan di Bali ditumbuhi alang alang karena tak lagi dijamah manusia.
***
 
Menjelang magrib handphonku berdering. “Shab, pike up me to Menument Bom!” Tanganku segera pamit mengusap kepala Kepi di sampingku.
 
Tubuh sintal Sidragh kujemput di depan kost. Melewati gang terobosan, jarak monumen bom cuma 300 meter. Aku ingat saat malam jum’at jam 10:00 malam tanggal 12 September 2002. Kaca cermin kamar kostku jatuh dan ambrol akibat getaran dahsyat. Langit tiba tiba memerah setelah dua kali letusan kecil yang orang sangka konsleting listrik. Ledakan ketiga tak disangka. Blemmm, bagai gempa bumi. “Ada bom! Ada bom!” Teriak warga saling bersautan. Secara memang isyu akan adanya bom sudah terdengar dua minggu sebelumnya di kabupaten Klungkung Gianyar, dan bukan di Kuta.
 
Sejak peristiwa itu, kaum pendatang dari Jawa dideportasi Pecalang (keamanan adat Bali sejenis Hansip). Malam malam glamour Kuta berubah menyeramkan. Kawasan sekitar Kuta bagai kuburan yang tiap malam terdengar jeritan melengking tanpa ada sesosok manusia.
 
Sidragh memotret tanah kosong itu berkali-kali setelah kujelaskan bahwa di tanah ini dulu bekas puing-puing reruntuhan bom beserta mayat terpanggang bergelimpangan, bersimbah darah. Setelah membaca 202 data nama korban, mata Sidragh berkaca. Ketangguhannya luluh. Dan ia tersimpuh menangis terseduh-sedu. “Accursed! Accursed!” Mantab kalimat dari bibir mungilnya. “Shab, are you dislike me, dislike American?” Kutepuk pundaknya, kuelus rambutnya. “Don’t worri! America Govermant is not America people. Difference! Difference!” Perakapan pendek itu membuatnya tergugah bahwa tak semua orang membenci Amerika.
***
 
Kerling mata Sidragh masih tersisah di ruang senyap restauran Rasa Sayang jalan Teuku Umar. Alunan musik melankolis seakan melesapkan pemandangan sejam yang lalu di Monumen Bom Bali. Ida segera menghampiri mejaku beserta daftar menunya. Pekerja restauran mungkin berfikir, “tamu ke berapa yang kau ajak ke restauran ini.” Keakrapan Ayu tetap seperti hari hari kemarin ketika aku berkunjung. Bukan sekedar sebagai pelayan restauran yang memberlakukan tamu sebagai raja. Namun sering kuberi tips uang kembalian. “Udang Lopster rebus satu kilo, Australian Tender Loid dan Australian Sirloid, masing-masing satu,” pesanku. Australian Sirloid sengaja kupesan untuk Sidragh, setelah kutanya, ternyata ia menyukai makanan berminyak.
 
Aku diam saja. Sesungguhnya makanan yang mereka anggap high class, hanyalah irisan rebus jagung muda dan sehelai daging sapi dalam seporsi. Yang berbeda hanyalah cara makannya. Orang-orang barat harus duduk tegak, sedang di kampung dulu, aku cukup dengan metingkrang di amben.
 
Kakek atau Ayah tidak mewariskan khusus keahlian menggaet touris. Namun keseharianku, membuatku mahir menggiring kesan tiap momen perjalananku dengan para bule bule. “Miss, kehidupan selalu datang dan bersalaman dengan waktu yang terus terkejut. Yang bertemu kita hari ini, pasti akan kita tinggalkan. Persahabatan seperti landasan terbang, di mana pesawat take of dan boarding setiap saat.” Selesai diner itulah Sidragh kuajak melepaskan segala penat ke Musrow diskotik di kawasan selatan Kuta.
***

*) Diterbitkan dalam Buku Hujan Sunyi Banaspati, Antologi bersama penulis Jombang. http://sastra-indonesia.com/2010/10/musrow/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar