Siti Sa’adah
Bapak tidak pernah mengancang-ancangkan jika kita mencuri maka dia akan memotong tangan kita, apalagi untuk tanganmu yang indah mulus seperti gagang cangkul itu. Jikapun pernah, aku tidak akan mencuri Kak. Bukan karena takut bendo ayah yang selalu dia bawa untuk menebang rumpun bambu untuk dianyam, bukan pula karena takut tanganku di potong polisi, toh tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri di negara ini, namun karena aku takut kepada yang menciptakan tangan ini, aku takut benar. Sabda nabi bahwa dia akan memotong tangan putri tercintanya Fatimah jika mencuri terus menggenang dalam ingatanku. Pernah terbersit untuk memiliki barang orang lain yang kusukai, tapi langsung terbayang olehku pemiliknya kecewa dan jelas aku mendzoliminya.
Aku tak berani merampas hak orang lain meski itu hal kecil seperti yang sering kau lakukan padaku sejak kecil. Mengambil lauk dipiringku saat ku tinggal mengambil minum, mengurangi jatah uang sakuku yang dipasrahkan ibu dan bapak kepadamu, sampai kau pisahkan aku dengan lelaki yang akan melamarku!
Kau adalah tuan putri di keluarga, memarahimu sama saja menggores hatiku sendiri, karena bapak akan segera menikam kekesalanku dengan bentakannya, sedang untuk lelakiku, bapak percaya dustamu bahwa dia suka mempermainkan wanita! Begitulah, lama-lama kelakuanmu kubiarkan saja. Kesalahan yang berulang akan menjadi lumrah.
Kemursalanmu saat ini tidak hanya kepadaku sebenarnya, tetapi kepada ibu, bapak, bahkan suamimu yang kau tilap bersama lelaki lain dan sekarang berujung seperti ini!
”Dia hanya mempedulikan perutku. Batinku ini kesepian. Apalagi setiap mendengar cerita teman-temanku tentang kebiasaan pelayar memeluk wanita lain di rantau. Aku tak tahu apa yang dilakukan suamiku di pulau sana, Dik!”. Bantahmu waktu itu setelah aku tidak tahan untuk menegurmu. Begitu tahu kau tidak lagi pulang ke rumah gedong yang dibangun suamimu, tepat di samping rumah mertuamu.
Perasaan malu menjelma linggis yang menghujam keluarga di rumah, aku, ibu, ayah, mungkin juga dua adik kita yang masih ingusan.
“Pamitnya pulang kesini, si kecil kok di tinggal sampai seminggu?!” begitu adu mertuamu yang tandang ke rumah hendak menjemputmu. “Maaf ya Bu, Pak, dia sering pergi sehari sampai dua hari, katanya merawat njenengan berdua yang sedang sakit, tiap kali saya akan ikut selalu di larang, biar saya menjaga si kecil saja”. Lagi-lagi mertuamu menuturkan cerita yang tidak pernah terlintas di benakku. Kebohonganmu kepada suami dan mertuamu terkuak.
“Pacarmu itu kerja dimana?” tanyaku beberapa hari sebelum putusan talak melayang atas paksaan orang tua suamimu. Putus sudah aliran uang yang melimpah dari suamimu.
“Pabrik gula”.
“O”. Pasti pejabat pabrik pikirku. Aku tahu dari dulu seleramu sejak remaja, selalu berhasil menggaet lelaki kaya tanpa berkeringat, cukup dengan senyum dan rajuk manjamu. Aku tahu itu, begitu juga bapak sehingga beliau begitu bersemangat dan optimis menjodohkanmu dengan pelayar kaya, yang setiap pulang kerja seperti membawa harta karun dari laut. Kau akan hidup bahagia, begitu pertimbangan bapak untuk masa depan putri kesayangannya.
Hanya dua tahun, tubuhmu seperti gatal ditinggal suami berbulan-bulan, dia hanya beberapa hari di rumah menumpahkan oleh-oleh dan uang, setelah itu pergi lagi, membawa rindu yang belum sempat kikis untuk bersua denganmu. Ah, aku tahu benar dari sikap suamimu yang kalem itu, dia begitu menyayangimu. Tapi kau menindihnya dengan penghianatan.
“kau seperti itu karena kau belum menikah! Belum pernah ketagihan sentuhan lelaki! Guling di ranjangmu itu tidak bisa mendekapmu!” makianmu membungkam mulutku untuk terus mengingatkan kesalahanmu.
“Dan satu lagi, kau tidak bisa membedakan kokoh peluk kekasihku dengan suamiku yang banci itu hahaha…”
Kebiasaan buruk yang kau semai sejak kecil sekarang memuncak sampai disini.
Begitu kokoh pendirianmu untuk menuruti cinta yang berawal dari penghianatan. Mungkin ada sensasi tersendiri yang kau rasakan saat bercinta dengan selingkuhan. Seperti di guyur hujan, rahimmu yang berbulan-bulan kerontang menanti suami.
Memang kekasihmu itu gagah. Pasti kau puas setiap bermain dengannya. Tidak peduli di atas amben reot dirumahnya. Inilah yang baru aku tahu, rupanya tubuh kekar kekasihmu itu bukan karena rutin gym seperti orang kantoran yang kaya, tetapi karena sejak kecil di latih menjadi kuli batu sampai menjadi buruh pabrik gula. Ah, bukankah dia tidak bekerja tiap bulan. Dia hanya pekerja borongan setiap giling tebu di mulai. Dan kecintaanmu itu membutakan. Kau seperti setitik cat yang menempel di dinding tidak mau dibersihkan, dan akhirnya kau rela memenuhi tembok dengan cat. Tentu saja kecemerlangan dan kecantikanmu itu dimanfaatkannya.
Lelaki itu berbulan-bulan ongkang-ongkang di gubuknya bersama ibunya yang renta, yang sudah tidak tahu apa-apa, tentu denganmu yang baru pulang setiap malam dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di toko emas di kota, namun katamu suatu kali “lelahku buyar begitu bergulung dengannya…”
Cih! Aku muak. Aku ingin memuntahkan isi perutku, aku ingin memuntahkan pula semua kesadaran bahwa kau adalah kakakku. Kakak seorang guru muda. Aku malu memiliki saudara sepertimu. Di sekolah selalu ada gerenengan tentangmu di belakangku, di toko, dibalai desa, di pasar… apalagi hari ini, begitu penjual Koran mengecer dagangannya masuk desa.
“Kasus Fatimah! Fatimah tertangkap basah. Fatimah basah!” promosi tukang Koran seperti mengolok-olok.
Aku langsung teringat kakakku satu-satunya. Kamu. Tadi pagi rumah sepi, dua adik kita ikut ibu ke pasar. Sedang bapak menebang bambu di kampung sebelah. Kau rutin mengutil perhiasan di toko emas tempatmu bekerja, itu bukan barang murah, jutaan rupiah! Setelah berkali-kali selamat, sekarang jalan mursalmu buntu di jeruji besi.
“Karena saya kepepet. Perhiasan itu saya jual untuk membiayai ibu saya yang sakit-sakitan” wartawan menulis pengakuanmu. Kabar runyam tentang rumah tanggamu juga ditulisnya.
Apa yang bisa menutupi mukaku di depan teman-teman guru, murid dan tetangga? Menguar kisah yang memedihkan dari omongan orang-orang tentang masa lalu orang tua kita. Namun aku hanya diam.
“Keluarga pintar, tapi mursal”. Maki bu Atim pemilik toko sayuran.
“adiknya yang kecil kemarin ketangkap mengutil sandal di pasar, padahal di kelas jadi juara” . sahut seseorang di sebelahnya. Sebenarnya aku ingin membenarkan bahwa adikku tidak salah, dia tidak bermaksud akan mengambil, dia sudah lama menginginkan sandal, dan ingin menunjukkan sandal itu kepada ibu yang sedang berjualan, tapi memang cara adikku yang salah..
“Mbok ya inget Yu, bapak ibunya juga pinter”.
“Iya ya, mengapa bu Nunung berhenti mengajar, padahal dulu hidupnya makmur, sekarang malah jadi penjual klanting”. Ku dengar nama ibuku di sebut-sebut.
“Oalah… suaminya kan ketahuan korupsi di tempatnya mondok dulu, jadi pemborong pembangunan pondok. Waktu itu dia juga sedang mbangun rumah gedong. Rumah belum selesai sudah ketahuan belangnya”.
“O, begitu, jangan-jangan bu Nunung dulu juga korupsi uang muridnya”.
“Mungkin saja”.
“Eh, bukan! Mungkin bu Nunung dulu selingkuh dengan sesama guru. Lha sekarang Fatimah seperti itu”.
“Kalau begitu perpaduan dosa kedua orang tuanya.” Ha..ha..ha.. tawa berderai dari toko bu Atim, aku mendengar jelas, karena tepat di samping rumah.
“Sekarang bagaimana dengan adiknya yang mengajar itu?”
***
Fatimah, bapak tidak pernah mengancam memotong tangan anak-anaknya jika mencuri. Dan sabda Nabi pun tidak kau hiraukan. Juga perasaan orang yang kau rampas haknya, suamimu, majikanmu, bapak, ibu dan aku. Kecermelangan semua anggota keluarga kita memang sudah tekenal, sejak bapak ibu menikah, saat mereka berdua bersekolah, sampai ibu di angkat menjadi guru. Bapak menjadi santri pemborong dan melahirkan empat benih putra-putrinya yang tumbuh sampai seperti ini. Semuanya cerdas. Cemerlang. Tapi mengapa semakin hari kecermelangan ini terus mengeruh?
***
Biarlah ku kubur kenangan tentangmu kak. Meski sudah bebas dari penjara kau tetap seperti dulu, pulang ke rumah kekasihmu tanpa pernikahan, sedang bapak begitu terpukul, dia menyadari kekeliruannya karena telah memanjakanmu. Dan aku ingin menggusur kisah perih masa lalu keluarga kita dengan lelakiku yang sempat pergi, dia kembali untukku. Memang terasa berat membangun istana dari puing-puing kehancuran, tapi tetap ada kemungkinan. Ada lelakiku yang siap membimbing. Bag aimana denganmu kak?
Bapak tidak pernah mengancang-ancangkan jika kita mencuri maka dia akan memotong tangan kita, apalagi untuk tanganmu yang indah mulus seperti gagang cangkul itu. Jikapun pernah, aku tidak akan mencuri Kak. Bukan karena takut bendo ayah yang selalu dia bawa untuk menebang rumpun bambu untuk dianyam, bukan pula karena takut tanganku di potong polisi, toh tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri di negara ini, namun karena aku takut kepada yang menciptakan tangan ini, aku takut benar. Sabda nabi bahwa dia akan memotong tangan putri tercintanya Fatimah jika mencuri terus menggenang dalam ingatanku. Pernah terbersit untuk memiliki barang orang lain yang kusukai, tapi langsung terbayang olehku pemiliknya kecewa dan jelas aku mendzoliminya.
Aku tak berani merampas hak orang lain meski itu hal kecil seperti yang sering kau lakukan padaku sejak kecil. Mengambil lauk dipiringku saat ku tinggal mengambil minum, mengurangi jatah uang sakuku yang dipasrahkan ibu dan bapak kepadamu, sampai kau pisahkan aku dengan lelaki yang akan melamarku!
Kau adalah tuan putri di keluarga, memarahimu sama saja menggores hatiku sendiri, karena bapak akan segera menikam kekesalanku dengan bentakannya, sedang untuk lelakiku, bapak percaya dustamu bahwa dia suka mempermainkan wanita! Begitulah, lama-lama kelakuanmu kubiarkan saja. Kesalahan yang berulang akan menjadi lumrah.
Kemursalanmu saat ini tidak hanya kepadaku sebenarnya, tetapi kepada ibu, bapak, bahkan suamimu yang kau tilap bersama lelaki lain dan sekarang berujung seperti ini!
”Dia hanya mempedulikan perutku. Batinku ini kesepian. Apalagi setiap mendengar cerita teman-temanku tentang kebiasaan pelayar memeluk wanita lain di rantau. Aku tak tahu apa yang dilakukan suamiku di pulau sana, Dik!”. Bantahmu waktu itu setelah aku tidak tahan untuk menegurmu. Begitu tahu kau tidak lagi pulang ke rumah gedong yang dibangun suamimu, tepat di samping rumah mertuamu.
Perasaan malu menjelma linggis yang menghujam keluarga di rumah, aku, ibu, ayah, mungkin juga dua adik kita yang masih ingusan.
“Pamitnya pulang kesini, si kecil kok di tinggal sampai seminggu?!” begitu adu mertuamu yang tandang ke rumah hendak menjemputmu. “Maaf ya Bu, Pak, dia sering pergi sehari sampai dua hari, katanya merawat njenengan berdua yang sedang sakit, tiap kali saya akan ikut selalu di larang, biar saya menjaga si kecil saja”. Lagi-lagi mertuamu menuturkan cerita yang tidak pernah terlintas di benakku. Kebohonganmu kepada suami dan mertuamu terkuak.
“Pacarmu itu kerja dimana?” tanyaku beberapa hari sebelum putusan talak melayang atas paksaan orang tua suamimu. Putus sudah aliran uang yang melimpah dari suamimu.
“Pabrik gula”.
“O”. Pasti pejabat pabrik pikirku. Aku tahu dari dulu seleramu sejak remaja, selalu berhasil menggaet lelaki kaya tanpa berkeringat, cukup dengan senyum dan rajuk manjamu. Aku tahu itu, begitu juga bapak sehingga beliau begitu bersemangat dan optimis menjodohkanmu dengan pelayar kaya, yang setiap pulang kerja seperti membawa harta karun dari laut. Kau akan hidup bahagia, begitu pertimbangan bapak untuk masa depan putri kesayangannya.
Hanya dua tahun, tubuhmu seperti gatal ditinggal suami berbulan-bulan, dia hanya beberapa hari di rumah menumpahkan oleh-oleh dan uang, setelah itu pergi lagi, membawa rindu yang belum sempat kikis untuk bersua denganmu. Ah, aku tahu benar dari sikap suamimu yang kalem itu, dia begitu menyayangimu. Tapi kau menindihnya dengan penghianatan.
“kau seperti itu karena kau belum menikah! Belum pernah ketagihan sentuhan lelaki! Guling di ranjangmu itu tidak bisa mendekapmu!” makianmu membungkam mulutku untuk terus mengingatkan kesalahanmu.
“Dan satu lagi, kau tidak bisa membedakan kokoh peluk kekasihku dengan suamiku yang banci itu hahaha…”
Kebiasaan buruk yang kau semai sejak kecil sekarang memuncak sampai disini.
Begitu kokoh pendirianmu untuk menuruti cinta yang berawal dari penghianatan. Mungkin ada sensasi tersendiri yang kau rasakan saat bercinta dengan selingkuhan. Seperti di guyur hujan, rahimmu yang berbulan-bulan kerontang menanti suami.
Memang kekasihmu itu gagah. Pasti kau puas setiap bermain dengannya. Tidak peduli di atas amben reot dirumahnya. Inilah yang baru aku tahu, rupanya tubuh kekar kekasihmu itu bukan karena rutin gym seperti orang kantoran yang kaya, tetapi karena sejak kecil di latih menjadi kuli batu sampai menjadi buruh pabrik gula. Ah, bukankah dia tidak bekerja tiap bulan. Dia hanya pekerja borongan setiap giling tebu di mulai. Dan kecintaanmu itu membutakan. Kau seperti setitik cat yang menempel di dinding tidak mau dibersihkan, dan akhirnya kau rela memenuhi tembok dengan cat. Tentu saja kecemerlangan dan kecantikanmu itu dimanfaatkannya.
Lelaki itu berbulan-bulan ongkang-ongkang di gubuknya bersama ibunya yang renta, yang sudah tidak tahu apa-apa, tentu denganmu yang baru pulang setiap malam dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di toko emas di kota, namun katamu suatu kali “lelahku buyar begitu bergulung dengannya…”
Cih! Aku muak. Aku ingin memuntahkan isi perutku, aku ingin memuntahkan pula semua kesadaran bahwa kau adalah kakakku. Kakak seorang guru muda. Aku malu memiliki saudara sepertimu. Di sekolah selalu ada gerenengan tentangmu di belakangku, di toko, dibalai desa, di pasar… apalagi hari ini, begitu penjual Koran mengecer dagangannya masuk desa.
“Kasus Fatimah! Fatimah tertangkap basah. Fatimah basah!” promosi tukang Koran seperti mengolok-olok.
Aku langsung teringat kakakku satu-satunya. Kamu. Tadi pagi rumah sepi, dua adik kita ikut ibu ke pasar. Sedang bapak menebang bambu di kampung sebelah. Kau rutin mengutil perhiasan di toko emas tempatmu bekerja, itu bukan barang murah, jutaan rupiah! Setelah berkali-kali selamat, sekarang jalan mursalmu buntu di jeruji besi.
“Karena saya kepepet. Perhiasan itu saya jual untuk membiayai ibu saya yang sakit-sakitan” wartawan menulis pengakuanmu. Kabar runyam tentang rumah tanggamu juga ditulisnya.
Apa yang bisa menutupi mukaku di depan teman-teman guru, murid dan tetangga? Menguar kisah yang memedihkan dari omongan orang-orang tentang masa lalu orang tua kita. Namun aku hanya diam.
“Keluarga pintar, tapi mursal”. Maki bu Atim pemilik toko sayuran.
“adiknya yang kecil kemarin ketangkap mengutil sandal di pasar, padahal di kelas jadi juara” . sahut seseorang di sebelahnya. Sebenarnya aku ingin membenarkan bahwa adikku tidak salah, dia tidak bermaksud akan mengambil, dia sudah lama menginginkan sandal, dan ingin menunjukkan sandal itu kepada ibu yang sedang berjualan, tapi memang cara adikku yang salah..
“Mbok ya inget Yu, bapak ibunya juga pinter”.
“Iya ya, mengapa bu Nunung berhenti mengajar, padahal dulu hidupnya makmur, sekarang malah jadi penjual klanting”. Ku dengar nama ibuku di sebut-sebut.
“Oalah… suaminya kan ketahuan korupsi di tempatnya mondok dulu, jadi pemborong pembangunan pondok. Waktu itu dia juga sedang mbangun rumah gedong. Rumah belum selesai sudah ketahuan belangnya”.
“O, begitu, jangan-jangan bu Nunung dulu juga korupsi uang muridnya”.
“Mungkin saja”.
“Eh, bukan! Mungkin bu Nunung dulu selingkuh dengan sesama guru. Lha sekarang Fatimah seperti itu”.
“Kalau begitu perpaduan dosa kedua orang tuanya.” Ha..ha..ha.. tawa berderai dari toko bu Atim, aku mendengar jelas, karena tepat di samping rumah.
“Sekarang bagaimana dengan adiknya yang mengajar itu?”
***
Fatimah, bapak tidak pernah mengancam memotong tangan anak-anaknya jika mencuri. Dan sabda Nabi pun tidak kau hiraukan. Juga perasaan orang yang kau rampas haknya, suamimu, majikanmu, bapak, ibu dan aku. Kecermelangan semua anggota keluarga kita memang sudah tekenal, sejak bapak ibu menikah, saat mereka berdua bersekolah, sampai ibu di angkat menjadi guru. Bapak menjadi santri pemborong dan melahirkan empat benih putra-putrinya yang tumbuh sampai seperti ini. Semuanya cerdas. Cemerlang. Tapi mengapa semakin hari kecermelangan ini terus mengeruh?
***
Biarlah ku kubur kenangan tentangmu kak. Meski sudah bebas dari penjara kau tetap seperti dulu, pulang ke rumah kekasihmu tanpa pernikahan, sedang bapak begitu terpukul, dia menyadari kekeliruannya karena telah memanjakanmu. Dan aku ingin menggusur kisah perih masa lalu keluarga kita dengan lelakiku yang sempat pergi, dia kembali untukku. Memang terasa berat membangun istana dari puing-puing kehancuran, tapi tetap ada kemungkinan. Ada lelakiku yang siap membimbing. Bag aimana denganmu kak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar