Siti Sa'adah
__Radar Mojokerto
Sinar matahari porak-porandakan kesejukan hari, terasa gerah, padahal sedang dikamar pndok, bagaimana kalau di dalam ruang kelasku yang sempit itu? Untuk tiga hari kedepan sekolahku memang pulang lebih awal, yaitu saat berl istirahat, karena setelah istirahat di pakai anak kelas tiga untuk try out, bulan-bulan ini kakak kelas tiga tampangnya seperti berubah, gak banyak omong. Tambah rajin beribadah, mereka tidak mau atau lebih tepatnya istirahat untuk begejekan, ngerumpi di tengah-tengah jam belajar, ah, UAN pnya kekuatan magic untuk merubah perilaku orang yang biasa meremehkan waktu menjadi menghargainya.
“Weh..wajahmu kok pengap gitu, sudah ambil makan belum?” lamunanku buyar mendengar suara cempreng Rosy.
“Masih males” Jawabku asal.
“Ke perpust aja yuk!” Digaetnya tanganku, “Baiklah dari pada bengong di kamar.” Kubenahi jilbab dan sarungku, di dalam pondok sudah biasa santri putri memakai sarung dan tidak boleh melepas kerudung meski berada di dalam pondok, meski tidak dijilbabkan setidak nya disampir kan kepala menutupi rambut. “Sari kemana?”
“Sudah duluan”
Aku dan Rosy keluar komplek pondok, udara semakin kukuh gerahnya, perpustakaan berseberangan dengan pintu gerbang pondok putrid, aku dan Rosy berjalan melewati halaman sekolah.
Sepertinya perputakaan sedang ramai, banyak sandal dan sepatu berjajar rapi di rak samping pintu perpustakaan. Begitu kakiku melangkah masuk, kulitku seperti digerojok embun pagi, sejuk sekali, padahal tidak ada kipas angin apalagi AC. Aku tidak habis piker kenapa bias sesejuk ini, bentuk ruangnya sama denga kantor yang berada tpat disebelahnya, panas. Mulanya ruangan ini adalah ruang kelasku yang panas, karena perpustakaan yang lama sudah terasa sempit karena semakin bertambahnya koleksi buku, ruang kelas yang cukup luas ini tepat berada disamping kantor. Sekarang diperpustakaan dari pagi sampai siang pasti betah. Sekali lagi entah kenapa, padahal tidak ada pohon rindang didepannya. Atau karena cat merahmudanya dan karpet warna merahnya? Mungkin saja. Tapi bukankah merah malah mengesankan panas? Atau kaena buku-buku didalamnya yang menawarkan kesejukan hati? Buku-buku penuh ilmu yang mengumbar aura sejuknya?
Saat sedang mencari buku yang menarik hati, pandanganku terpaku pada sosok yang sedang asyik ngobrol dan bertukar senyum, deg! Rangga dan Dina! Astaghfirulloh, mereka berlindung di sela-sela rak buku, sehingga tidak terliha toleh penjaga yang duduk dekat pintu, jika terlihat pengurus pondok pasti keduanya akan kena ta’zir karena berkhalwat. Tetapi mengapa Dina begitu berani menerjang larangan yang telah ditetapkan Kyai? Kemudian Rangga juga, dia adalah teman sekelasku, sedang Dina adalah teman sekamar. Kami sama-sama kelas dua MA. Setahuku mereka juga tidak memiliki hubungan saudara yang memang biasanya diizinkan untuk bertemu.
“Ehm!” Rosy berdehem seperti kesulitan mengeluarkan dahak, dia tidak sedang sakit tenggorokan, pasti dibuat-buat, pasti karena melihat dua santri sedang berkhalwat. Kasihan sekali perpust ini, disediakan untuk menambah ilmu tetapi disalahgunakan untuk menambah dosa.
“Eling-eling reek…nyebut-nyebuuut...” Rosy menggerutu disampingku, tepat di depan Dina dan Rangga yang duduk dibawah rak. Dina jadi salah tingkah, anak-anak lain yang sedang tenggelam dalam buku memandang Rosy, kemudian menekuni buku lagi, seperti tidak peduli.
“Ngawur kamu!” ku seret langkahnya menjauhi Dina.
“Ngawur gimana? Jelas ada dasarnya: Larangan berkhalwat/meeting dengan anak putra, yang ngawur itu Dina atau aku? Atau malah kamu yang menuduhku ngawur.” Rosy tidak terima dengan teguranku.
“Maksudku begini Ros…” belum selesai kalimatku, sudah diselanya.
“Berkhalwat bo! Menyirami benih maksiat, sama saja mendekati zi..” Rosy urung meneruskan kalimatnya. Dia tampak sewot denganku, tetapi tetap duduk disampingku.
“Maksudku negurnya dengan baik-baik, kasihan dia jadi malu ditatap teman-teman yang lain.”
“Biar kapok. Jera. Yang keterlaluan teman-teman juga, sudah tahu maksiat didekat mereka dibiarkan saja.” Aku diam saja, kubiarkan Rosy menggerutu disampingku. “Bukankah kalau ada kemungkaran kita harus meluruskan? Kalau tidak mampu dengan kekuasaan ya ucapan.
“Mungkin mereka meluruskan dengan hati” sahutku seketika.
“Dan aku gak mau imanku lemah dengan membatin saja.” Rosy tambah gondok. “Nanti kalau di ta’zir di pondok malah banyak lagi yang tau” Rosy menatap Dina yang beranjak keluar perpust dan menuju pondok.
“Sudahlah, jadi urung baca.” Pungkasnya sedikit lebih tenang.
***
Hawa pagi ini cerah, secerah mentari di hati kami, ya, sekarang hari jum’at, hari istimewa ditiap minggunya. Semua kegiatan rutin pondok dan sekolah libur. Namun ada agenda rutin tiap jum’at yaitu ro’an alias kerja bakti membersihkan pondok. Tapi masih dimulai nanti jam tujuh pagi. Saat aku selesai mandi, dipelataran pondok bergerumbul beberapa santri, sepertinya ada sesuatu yang heboh, beberapa santri putri keluar dari gerbang, berjajar di pinggir halaman sekolah. Bergegas aku mengikuti mereka. Para santri putri menatap satu sosok berkepala plontos, tertunduk malu, badannya tinggi kurus, aku belum bisa mengenalnya. Tiba-tiba Rosy sudah berdiri disampingku.
“Rangga” tuturnya tanpa kutanya.
“Peristiwa kemarin kamu laporkan pengurus?” tanyaku khawatir. Biasanya jika “hanya” meeting tidak dita’zir seperti ini, Rosy tidak menjawab, “Terus Dina bagaimana?”
“Tidak kok. Dina pulang dua hari lalu kan pulang, setelah kita pergoki, entah dia takut aku laporkan atau apa, yang pasti pengurus putra kemarin menangkap basah dia dengan Rangga di Plasa Teater.”
“Apa?! Bukannya Plasa buka hanya malam hari?” Pasti Dina berangkat dari rumah, sedangkan Rangga dari pondok dan sekarang Dina tidak berani kembali ke pondok. Pengurus putra biasanya ronda keluar pondok, memata-matai Plasa dekat pasar itu, entah mereka ikut nonton atau tidak, yang pasti sekarang ronda menangkap mangsa.
“Eh tau nggak film yang di putar waktu Rangga ditangkap?” seorang teman tiba-tiba ikut nimbrung, memancing rasa penasaranku.
“Bokep bo’!”
“Hayo kamu ikut nonton ya?” godaku.
“Ya enggak lah, aku kemarin izin ke pasar dan melihat poster film yang diputar malamnya.”
Aku tertegun memikirkan Plasa itu, masih dibangun setengah tahun yang lalu, dan keberadaannya meresahkan pondok. Mulanya hanya penyewaan play station, tetapi karena sepi akhirnya direhab menjadi bioskop, sebenarnya kurang tepat jika disebut bioskop, karena luasnya tidak seberapa, lebih tepatnya home teater karena berada didalam rumah pemiliknya.
Aku menelan ludah bersama mirisnya kenyataan, selama ini Rangga memang terkenal nakal, sering di ta’zir karena bolos mengaji, sekolah, sampai karena tidak ikut sholat berjamaah. Dan biasanya dihukum menyapu halaman pondok putra selama satu bulan setiap pagi dan sore. Tapi dia tidak jera. Sekarang lebih besar lagi kesalahan yang dilakukannya, menonton bioskop, apalagi bersama santri putri. Dina sendiri pendiam, nyaris pemalu, cukup pintar tetapi tidak heran jika sudah terkena rayuan Rangga yang meamang hobi menggoda santri putri.
Ketua pondok putra mendekati Rangga yang berdiri kaku tetap dengan kepala tertunduk. Betapa malunya di ta’zir, digunduli disaksikan seluruh santri putra dan putrid. Ketua pondok membuka penutup saluran pembuangan air, beberapa detik kemudian bau busuk menguar dan membuat para santri menutup hidung.
Cairan hitam, kental, pekat, diciduk dengan timba kemudian digerojokkan kepala Rangga. Rangga bergeming, tidak megap-megap, tampak menahan nafas, entah bagaimana rasanya, beberapa temanku yang tidak kuat mencium baunya langsung mual dan berlari masuk pondok. Aku begidik. Ketua pondok menciduk untuk kedua kalinya, celana panjangnya terciprati air kotor itu.
Rangga diguyur lagi sampai tiga kali, kemudian dijemur selama satu jam. Kerumunan santri buyar kembali ke kamar masing-masing. Semua terpekur membawa pelajaran dari pelanggaran berat yang dilakukan Rangga. Bagi kami ini pengalaman yang tidak terlupakan, apalagi bagi Rangga? Lantas bagaimana dengan Dina nanti begitu kembali ke pondok?
***
Sudah tiga minggu tidak ada kabar dari Dina, keluarganya dihubungi via telepon tidak bisa. Pengurus pondok putri memutuskan datang kerumahnya. Mencari kejelasan, sebenarnya apa yang terjadi.
Rosy yang pergi bersama satu pengurus, sepulang dari sana dia menuturkan Dina tidak akan kembali ke pondok, pindah sekolah ke Solo dan tinggal dirumah budhenya.
“Biar ada yang mengawasi karena saya mau pindah kerja ke luar jawa.” Tutur ibunya saat itu.
“Tapi mengapa mendadak Bu?” Rosy mencoba mengetahui alasan lain yang terkesan ditutup-tutupi.
“Oh tidak, sudah setahun lalu ini kami rencanakan, besoklah kalau begitu saya dan papanya datang ke pondok dan sekolah mengurus surat pindah…” Ibu Dina menuturkan dengan mantap.
Tapi rasa ingin tahu teman-teman belum terjawab, masih ada yang mengganjal. Menurutku sungguh tidak sopan jika keluar dari pondok sang santri tidak ikut sowan ke Kyai, lebih-lebih setelah ada kasus seperti ini. Tapi keputusan keluarga Dina tidak bisa di utak-atik lagi, Dina sudah berada di Solo.
Rosy dan teman pengurus pulang membawa seribu Tanya tanpa jawab, di benak kami ada apa dengan Dina, ah, mengapa kamu meninggalkan kami dengan cara seperti ini?!.
__Radar Mojokerto
Sinar matahari porak-porandakan kesejukan hari, terasa gerah, padahal sedang dikamar pndok, bagaimana kalau di dalam ruang kelasku yang sempit itu? Untuk tiga hari kedepan sekolahku memang pulang lebih awal, yaitu saat berl istirahat, karena setelah istirahat di pakai anak kelas tiga untuk try out, bulan-bulan ini kakak kelas tiga tampangnya seperti berubah, gak banyak omong. Tambah rajin beribadah, mereka tidak mau atau lebih tepatnya istirahat untuk begejekan, ngerumpi di tengah-tengah jam belajar, ah, UAN pnya kekuatan magic untuk merubah perilaku orang yang biasa meremehkan waktu menjadi menghargainya.
“Weh..wajahmu kok pengap gitu, sudah ambil makan belum?” lamunanku buyar mendengar suara cempreng Rosy.
“Masih males” Jawabku asal.
“Ke perpust aja yuk!” Digaetnya tanganku, “Baiklah dari pada bengong di kamar.” Kubenahi jilbab dan sarungku, di dalam pondok sudah biasa santri putri memakai sarung dan tidak boleh melepas kerudung meski berada di dalam pondok, meski tidak dijilbabkan setidak nya disampir kan kepala menutupi rambut. “Sari kemana?”
“Sudah duluan”
Aku dan Rosy keluar komplek pondok, udara semakin kukuh gerahnya, perpustakaan berseberangan dengan pintu gerbang pondok putrid, aku dan Rosy berjalan melewati halaman sekolah.
Sepertinya perputakaan sedang ramai, banyak sandal dan sepatu berjajar rapi di rak samping pintu perpustakaan. Begitu kakiku melangkah masuk, kulitku seperti digerojok embun pagi, sejuk sekali, padahal tidak ada kipas angin apalagi AC. Aku tidak habis piker kenapa bias sesejuk ini, bentuk ruangnya sama denga kantor yang berada tpat disebelahnya, panas. Mulanya ruangan ini adalah ruang kelasku yang panas, karena perpustakaan yang lama sudah terasa sempit karena semakin bertambahnya koleksi buku, ruang kelas yang cukup luas ini tepat berada disamping kantor. Sekarang diperpustakaan dari pagi sampai siang pasti betah. Sekali lagi entah kenapa, padahal tidak ada pohon rindang didepannya. Atau karena cat merahmudanya dan karpet warna merahnya? Mungkin saja. Tapi bukankah merah malah mengesankan panas? Atau kaena buku-buku didalamnya yang menawarkan kesejukan hati? Buku-buku penuh ilmu yang mengumbar aura sejuknya?
Saat sedang mencari buku yang menarik hati, pandanganku terpaku pada sosok yang sedang asyik ngobrol dan bertukar senyum, deg! Rangga dan Dina! Astaghfirulloh, mereka berlindung di sela-sela rak buku, sehingga tidak terliha toleh penjaga yang duduk dekat pintu, jika terlihat pengurus pondok pasti keduanya akan kena ta’zir karena berkhalwat. Tetapi mengapa Dina begitu berani menerjang larangan yang telah ditetapkan Kyai? Kemudian Rangga juga, dia adalah teman sekelasku, sedang Dina adalah teman sekamar. Kami sama-sama kelas dua MA. Setahuku mereka juga tidak memiliki hubungan saudara yang memang biasanya diizinkan untuk bertemu.
“Ehm!” Rosy berdehem seperti kesulitan mengeluarkan dahak, dia tidak sedang sakit tenggorokan, pasti dibuat-buat, pasti karena melihat dua santri sedang berkhalwat. Kasihan sekali perpust ini, disediakan untuk menambah ilmu tetapi disalahgunakan untuk menambah dosa.
“Eling-eling reek…nyebut-nyebuuut...” Rosy menggerutu disampingku, tepat di depan Dina dan Rangga yang duduk dibawah rak. Dina jadi salah tingkah, anak-anak lain yang sedang tenggelam dalam buku memandang Rosy, kemudian menekuni buku lagi, seperti tidak peduli.
“Ngawur kamu!” ku seret langkahnya menjauhi Dina.
“Ngawur gimana? Jelas ada dasarnya: Larangan berkhalwat/meeting dengan anak putra, yang ngawur itu Dina atau aku? Atau malah kamu yang menuduhku ngawur.” Rosy tidak terima dengan teguranku.
“Maksudku begini Ros…” belum selesai kalimatku, sudah diselanya.
“Berkhalwat bo! Menyirami benih maksiat, sama saja mendekati zi..” Rosy urung meneruskan kalimatnya. Dia tampak sewot denganku, tetapi tetap duduk disampingku.
“Maksudku negurnya dengan baik-baik, kasihan dia jadi malu ditatap teman-teman yang lain.”
“Biar kapok. Jera. Yang keterlaluan teman-teman juga, sudah tahu maksiat didekat mereka dibiarkan saja.” Aku diam saja, kubiarkan Rosy menggerutu disampingku. “Bukankah kalau ada kemungkaran kita harus meluruskan? Kalau tidak mampu dengan kekuasaan ya ucapan.
“Mungkin mereka meluruskan dengan hati” sahutku seketika.
“Dan aku gak mau imanku lemah dengan membatin saja.” Rosy tambah gondok. “Nanti kalau di ta’zir di pondok malah banyak lagi yang tau” Rosy menatap Dina yang beranjak keluar perpust dan menuju pondok.
“Sudahlah, jadi urung baca.” Pungkasnya sedikit lebih tenang.
***
Hawa pagi ini cerah, secerah mentari di hati kami, ya, sekarang hari jum’at, hari istimewa ditiap minggunya. Semua kegiatan rutin pondok dan sekolah libur. Namun ada agenda rutin tiap jum’at yaitu ro’an alias kerja bakti membersihkan pondok. Tapi masih dimulai nanti jam tujuh pagi. Saat aku selesai mandi, dipelataran pondok bergerumbul beberapa santri, sepertinya ada sesuatu yang heboh, beberapa santri putri keluar dari gerbang, berjajar di pinggir halaman sekolah. Bergegas aku mengikuti mereka. Para santri putri menatap satu sosok berkepala plontos, tertunduk malu, badannya tinggi kurus, aku belum bisa mengenalnya. Tiba-tiba Rosy sudah berdiri disampingku.
“Rangga” tuturnya tanpa kutanya.
“Peristiwa kemarin kamu laporkan pengurus?” tanyaku khawatir. Biasanya jika “hanya” meeting tidak dita’zir seperti ini, Rosy tidak menjawab, “Terus Dina bagaimana?”
“Tidak kok. Dina pulang dua hari lalu kan pulang, setelah kita pergoki, entah dia takut aku laporkan atau apa, yang pasti pengurus putra kemarin menangkap basah dia dengan Rangga di Plasa Teater.”
“Apa?! Bukannya Plasa buka hanya malam hari?” Pasti Dina berangkat dari rumah, sedangkan Rangga dari pondok dan sekarang Dina tidak berani kembali ke pondok. Pengurus putra biasanya ronda keluar pondok, memata-matai Plasa dekat pasar itu, entah mereka ikut nonton atau tidak, yang pasti sekarang ronda menangkap mangsa.
“Eh tau nggak film yang di putar waktu Rangga ditangkap?” seorang teman tiba-tiba ikut nimbrung, memancing rasa penasaranku.
“Bokep bo’!”
“Hayo kamu ikut nonton ya?” godaku.
“Ya enggak lah, aku kemarin izin ke pasar dan melihat poster film yang diputar malamnya.”
Aku tertegun memikirkan Plasa itu, masih dibangun setengah tahun yang lalu, dan keberadaannya meresahkan pondok. Mulanya hanya penyewaan play station, tetapi karena sepi akhirnya direhab menjadi bioskop, sebenarnya kurang tepat jika disebut bioskop, karena luasnya tidak seberapa, lebih tepatnya home teater karena berada didalam rumah pemiliknya.
Aku menelan ludah bersama mirisnya kenyataan, selama ini Rangga memang terkenal nakal, sering di ta’zir karena bolos mengaji, sekolah, sampai karena tidak ikut sholat berjamaah. Dan biasanya dihukum menyapu halaman pondok putra selama satu bulan setiap pagi dan sore. Tapi dia tidak jera. Sekarang lebih besar lagi kesalahan yang dilakukannya, menonton bioskop, apalagi bersama santri putri. Dina sendiri pendiam, nyaris pemalu, cukup pintar tetapi tidak heran jika sudah terkena rayuan Rangga yang meamang hobi menggoda santri putri.
Ketua pondok putra mendekati Rangga yang berdiri kaku tetap dengan kepala tertunduk. Betapa malunya di ta’zir, digunduli disaksikan seluruh santri putra dan putrid. Ketua pondok membuka penutup saluran pembuangan air, beberapa detik kemudian bau busuk menguar dan membuat para santri menutup hidung.
Cairan hitam, kental, pekat, diciduk dengan timba kemudian digerojokkan kepala Rangga. Rangga bergeming, tidak megap-megap, tampak menahan nafas, entah bagaimana rasanya, beberapa temanku yang tidak kuat mencium baunya langsung mual dan berlari masuk pondok. Aku begidik. Ketua pondok menciduk untuk kedua kalinya, celana panjangnya terciprati air kotor itu.
Rangga diguyur lagi sampai tiga kali, kemudian dijemur selama satu jam. Kerumunan santri buyar kembali ke kamar masing-masing. Semua terpekur membawa pelajaran dari pelanggaran berat yang dilakukan Rangga. Bagi kami ini pengalaman yang tidak terlupakan, apalagi bagi Rangga? Lantas bagaimana dengan Dina nanti begitu kembali ke pondok?
***
Sudah tiga minggu tidak ada kabar dari Dina, keluarganya dihubungi via telepon tidak bisa. Pengurus pondok putri memutuskan datang kerumahnya. Mencari kejelasan, sebenarnya apa yang terjadi.
Rosy yang pergi bersama satu pengurus, sepulang dari sana dia menuturkan Dina tidak akan kembali ke pondok, pindah sekolah ke Solo dan tinggal dirumah budhenya.
“Biar ada yang mengawasi karena saya mau pindah kerja ke luar jawa.” Tutur ibunya saat itu.
“Tapi mengapa mendadak Bu?” Rosy mencoba mengetahui alasan lain yang terkesan ditutup-tutupi.
“Oh tidak, sudah setahun lalu ini kami rencanakan, besoklah kalau begitu saya dan papanya datang ke pondok dan sekolah mengurus surat pindah…” Ibu Dina menuturkan dengan mantap.
Tapi rasa ingin tahu teman-teman belum terjawab, masih ada yang mengganjal. Menurutku sungguh tidak sopan jika keluar dari pondok sang santri tidak ikut sowan ke Kyai, lebih-lebih setelah ada kasus seperti ini. Tapi keputusan keluarga Dina tidak bisa di utak-atik lagi, Dina sudah berada di Solo.
Rosy dan teman pengurus pulang membawa seribu Tanya tanpa jawab, di benak kami ada apa dengan Dina, ah, mengapa kamu meninggalkan kami dengan cara seperti ini?!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar