Sabrank Suparno
http://www.sastra-indonesia.com/
*** Surat surat luapan keluh
Ayah..Bunda..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Ahirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding plasma yang buntu, tak bercerca, tak berjendela. Berjuta tahun aku disini sendirian. Sepi..Ayah..aku takut.! Kian hari kian mencekam Bunda..!
Tak hanya tak bernama Ayah..tapi juga tak berwarna Bunda..! Seluruh hamparan tampak sringkah, kuning kemerah-merahan. Dan jika dipandangi terus, risauku kian geram, galauku numpuk berjubel berbebal-bebal. Judegku tak kunjung berujung. Ruangan ini kadar udaranya, nol koma sekian persen saja. Sesak, sengal. Nafasku sejengkal-jengkal. Hanya sebintik air dari titik nisbi uap yang mencair.
Ini bukan negeri Stepa atau Sabana, yang masih tumbuhkan kaktus dan lumut. Segala sesuatu ada disini, cuma tak bisa dijamah. Anak-anak sejawatku memang berkeliaran Ayah, tapi kami tak bisa sepermainan Bunda..! Anak-anak disini mengerti bertegur sapa, tapi tak punya bahasa. Andai bisa beroral fisik, masih asyik, tapi aku hanya bergumam monolog lirih dengan telanan lidah.
Ayah, Bunda, kalian mau tau gak? Ruang disini hanya dipenuhi kabut. Wulau tidak begitu tebal namun juga tidak terlalu tipis. Tiada siang, tiada malam. Gerak hanya tercerap ke satu arah. Dan pada ahirnya berfokus di satu titik muara. Mungkin Bunda bertanya! “Anakku, kalau tidak ada gerak, tidak ada suara, lantas dengan apa kamu mengerti perintah? Sesuatu telah dihunjamkan kepadaku, menancap dalam ke palung diri. Selaksa jemparing lusurkan busur.
Tepat. Selalu tepat dititik koordinat. Ahh, tapi tak mungkin, kenapa juga Bunda harus bertanya. Bukankah Ayah- Bunda sudah singgahi tempat ini sejak berjuta tahu lalu. Dan akan kembali ketempat ini untuk berjuta tahun lagi.
Ayah..! Ini penjara abad..Yaah. bukan hanya aku yang terkurung. Imaji yang telah kurangkai untuk mainan juga terkerangkeng. Meskipun tak susut, juga tak muai.
Seribu tahun sudah aku beranjak. Selama itu pula aku menumpuk seribu tanya. Apakah kalian masih mengenali wajahku? Tidakkah kalian lupa? Aku resah Ayah..Aku kawatir Bunda! Seribu tahun sudah aku tinggalkan kampung halaman. Kadang sampai letih juga rasananya.
***.Surat Letupan damba.
Antara iya dan tidak, sesungguhnya aku sudah diperkenankan pulang menjenguk kalian berdua. Aku retakkan dinding waktu dengan tenaga cinta. Aku memasuki atmosfer. Aku mengunjungi bumi, bermandian kilatan benderang matahari. Berbasuh kilauan bulan purnama. Saat udara pongah, aku diterpa angin dengan silirnya. Saat lidahku keluh, kualamatkan mimikku sekedar bergumam mencandai awan-awan berarak. Saat rabun rimang mataku, kubelalakkan di hijau dedaunan dan pucuk padi. Saat bising dengarku, aku plongkan di derunya ombak yang berdeburan. Saat gerah badanku, aku berbalur sketsa mega yang tergelar di sepanjang kaki cakrawala.
Ayah.. aku adalah garis-garis cinta yang berserakan. Garis yang di sadap dari perasan cahaya. Di awal kepulanganku, kan ku”sungkemi”lanskap putihmu yang kosong. Gubahlah aku menjadi jelma yang merona. Bubuhkan serbuk lembut tubuhku sebagai racun bisa busurmu. Semat dan rangkai busur itu di “jemparing cintamu”. Incar tepat di dada Ibundaku. Melesat dan tancap, sampai Ibunda terkapar. Aku mengerti lelahmu Ayah. Tak gampang memang membidik Ibu. Ingat! Ibu adalah wanita. Wanita yang selalu bersolek di depan kaca. Berpupur bedak Shinta, lipstick Juliet, baju Cinderella, dan pada ahirnya berparas Hawa. Mereka selalu berumus bahwa wanita berbanding sederajat dengan satu gen ovarium yang takberkembang. Saat Ibu sekarat , tangannya terus mendekap luka. Luka mengangah yang selalu dirawatnya dengan helaian kain putihnya.
Aku membawa hutang-hutang yang menumpuk di angkasa. Ajari aku melunasinya. Aku memanggili kalian tiap malam ketaman cinta,tuk mananam bunga penuh makna yang paginya bermekaran di halama rumah. Bebijian subur di lahan gembur. Aku tak ingin tumbuh sekeras aku memecah batu. Ayah ..aku tak perlu bunda seribu, cukup satu saja namun serasa seribu.
Aku kangen pada hujan yang menggelendengku ke tengah lapang. Sekedar berbasah kuyup, likatan lumpur sekujur badan. Diam-diam aku merancang tangis, maksa kalian membopongku. Aku belum tertawa sebelum kalian mendekat, aku baluri lumpur sesudahnya. Ha..ha..ha..kita bermain hujan bersama. Lumpur dan hujan adalah debu untuk bertayamum pengganti wudlu.
Antar tidurku diayunan ninabobo kisah percintaan kalian. Apa kehebatan Bunda, hingga Ayah merengkuh Bunda, padahal ada milyatan wanita. Setelah jauh lelap dan pulas, aku mengigau-ngigau minta boneka India. Esok kusapa pagi dengan tangisan. Kubuang.Kulelehkan. Kuhabiskan berpuluh-puluh tetes jatah airmata hidupku, agar jika berpacaran kelak,aku tak lagi kebagian linangan. Sesekali aku selahi hari dengan tangisan, aku takut dengan luka dan kecacatan. Cacat yang berakibat ulah Ayah- Bunda yang tak bisa saling menerima kekurangan.
Namai aku Bre`.Lahir dari rahim mulia, yang dibuai benih cinta penuh kasih. Kedahsyatan cinta kalian menghantarku goncangkan dunia.
Bunda.. air susumu bagaikan putauw, yang kutenggak tiap tiap aku ingin manja. Sembari aku merekam lagumu, yang kuputar ulang nanti didepan sejarah. Ahhh..Bunda, aku besarkan sel-sel kromosom tubuhku dengan cairnya cinta kasihmu. Ku kebalkan kependekaranku dengan putih sucinya ketulusanmu. Tak hanya manja, akupun bergenit mesrah. Aku tidak nakal Bunda, kalau aku sibukkanmu dengan hangat kencingku, agar bunda mengerti,setiap orang tua itu muara kekencingan masalah.
Ayah-Bunda. Terlampau jauh aku mengulum angan. Meski fatamorga serasa jatiku telah menjelma. Sementara aku tetap disini. Ditempat tak bernama, ada, namun tak nyata. Entah berapa hari, bulan, dan tahun lagi yang aku semai dengan ahiran hampa.
Ayah-Bundaku. Disini aku terus menjerit, meraung- raung lengking, meratap-ratap, menunggu kalian segera menjemput, bebaskan aku.
Tapi kalian malah sibuk bersolek tampang demi ambisi. Kalian terus berkilah demi gemuruhnya dunia. Kalian bersumpal telinga dari lengkingan ratapku. Entah berapa musim lagi tegamu mengelantangku dirantau ini. Apalah arti kalian tanpa hadirku. Waktuku jangan kalian curi.
Segeralah Ayah! Cari, taksir, tembak, cintai, pacari, pinang, nikahi Ibunda tanpa syarat apapun. Sebab syarat hanyalah buatku cacat.
Segeralah Bunda! Gaet Ayah dengan cantikmu, walau engkau tak jelita. Lantarmu pada Ayah, lantarku jua. Sedangkan baktimu adalah geriangku.
Kejam kejamnya kejam adalah Ibunda yang tak segera menyusuiku. Borgol kerangkengku akan berlepasan saat gending ditabuh dihari pelaminan kalian. Dan…sesudahnya..aku pasti datang.
Namai aku Bre`! lahir dari rahim wanita mulia, ditaburi benih cinta penuh kasih.
*****
*) Petani, Pencetak bata, Cerpenis, kolomnis, Pemerhati budhaya. Aktif di komunitas Padhang mBulan dan penulis Jombang, bergiat di Lincak sastra dowong. Tergabung bersama sasterawan muda Jawa Timur. Beralamat di Dowong, Ds. Plosokerep. Kec. Sumobito. Kab. Jombang Jawa Timur
Hp:081-359-913-627
Kamis, 15 Juli 2010
RONTAAN TANAH IBU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar