Fahrudin Nasrulloh
Ludruk di masa kini tidaklah bisa dilepaskan dari suatu kondisi sosio-kultural yang melingkupinya di sepanjang perjalalannya. Pengalaman yang paling memengaruhi yang meresap dalam masyarakat menjadi sebuah catatan yang tidak bisa diabaikan. Mungkin tak seorangpun yang sejak ia mengenal dunia di mana ia tinggal dan terlibat secara emosional dalam sebuah pertunjukan semacam ludruk lantas muncul tekad untuk menerjuni dunia ludruk. Waktu menggoreskan “tanda” peristiwa di sana, dan ruang menghadirkan berbagai kemungkinan yang akan menjalin pemaknaan dalam interaksi social yang lebih luas.
Sebagaimana ada orang yang mengeram sebuah keyakinan bahwa di suatu saat yang tak tergantikan ia mendapati sebuah peristiwa ajaib yang bersifat alkemik. Tiba-tiba jalan itu menuntunnya untuk kemudian di situlah ia hidup dan berkiprah. Inilah yang dijalani Cak Roman, asal Gondang, dekat wilayah subur nan eksotik di Pacet, Mojokerto, saat di usianya yang menginjak 50 tahun ia senantiasa meneguhi dunia ludruk. Ludruk memang barang lawas yang menyimpan nilai historik dan penuh gelora lebih-lebih di era 1940-an, sekarang diperhadapkan pada situasi yang berbeda: mengalami pemaknaan yang terus berubah di mata apresiannya. Generasi tahun 1990-an menyiratkan surutnya pertunjukan ludruk karena menguatnya pengaruh televisi, kecuali mereka yang tinggal di beberapa pelosok kampung. Kendati dari sana tidak menjamin regenerasi seniman ludruk. Dan di wilayah Mojokerto menyimpan banyak grup ludruk yang eksis dan cukup dikenal di banyak wilayah di Jawa Timur dari tahun ke tahun. Katakanlah di tahun 1990-an. Timbul-tenggelamnya grup ludruk dengan ceritanya masing-masing adalah hal yang lumrah dan terjadi dengan begitu saja.
Cak Roman, mulanya hanyalah seorang pemuda kampung yang hidup dalam serba kekurangan. Tapi semangat kemudaannya menyala untuk memberi sumbangsih bagi kampung di Desa Bening, Kecamatan Gondang. Pada tahun 1990, kala ada peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus, ia bersama teman-temannya sekampung, dengan keberanian kecil dan keahliaan dadakan dan peralatan ala kadarnya mengadakan pementasan ludruk. Pertunjukan disambut meriah warga sekitar. Organisasi kepemudaan macam Karang Taruna di tahun itu merupakan organisasi muda-mudi yang cukup bermanfaat dan gayeng. Termasuk pula kegiatan kemasjidan dalam bentuk perkumpulan remaja masjid.
Cak Roman lahir pada 20 Februari 1966. Pemuda ini saat itu tidak punya pekerjaan tetap. Ketika sejumlah kawan-kawannya mengusulkan agar pementasan ludruk pada acara 17-an itu menghendaki dibentuknya grup ludruk dengan menimbang bahwa mereka merasa memiliki kemampuan dan bakat untuk bisa dikembangkan di kemudian hari. Cak Roman, sebagai pimpinan kaum muda menyepakati dan mereka selanjutnya membentuk grup ludruk dengan sebutan Ludruk Taruna Budaya. Di tahun 1990 itu mereka sempat memeroleh beberapa tanggapan. Tanggapan pertama mereka dapat dari Dusun Bentreng, Desa Ngembat, Kecamatan Gondang. Ongkos tanggapan 300 ribu. Mereka bikin panggung sederhana dari blabak kayu dan pring.
Selalu tekor. Itulah pengalaman pertama mereka. Cak Roman dengan gigih pernah mreman (bekerja sebagai kuli) sebagai pekerja penggali batu dengan mesin bego. Upah 500 ribu ia dapat bersama seorang saudaranya. Selama hampir sebulan ia membanting tubuh dan tulangnya untuk selanjutnya bagian 250 ribu akan ia gunakan untuk biaya tambahan grup ludruk yang dipimpinnya. Cak Roman bersama sejawat anggota ludruk lainnya yang masih muda-muda itu tetap semangat dan merasa ada yang “hidup” dan bermakna secara batin dalam melakoninya. Setiap sebulan sekali mereka dapat tanggapan baik di wilayah Mojokerto sendiri maupun dari Jombang. Honor tanggapan bermacam-macam, dari 300 ribu, 350 ribu, 400 ribu, sampai 800 ribu, pernah mereka enyam dari tahun 1990 sampai tahun 1996. Mereka terus bertahan dengan kondisi demikian. Rata-rata tiap tanggapan mereka torok (merugi). Kendati hasil ngludruk tidak menjadi sumber penghasilan pokok bagi anggota grup ini, namun kreatifitas yang dipecut dalam perjalanan tanggapan mereka lama-kelamaan memberi “isi” dan makin mengasah kemampuan mereka untuk dapat ditingkatkan secara terus menerus.
Komposisi anggota Ludruk Taruna Budaya adalah 70 % anggota tetap dan 30% diambil dari luar. Di kemudian waktu komposisi diubah dengan 50% - 50%. Kondisi ini bertujuan untuk melihat perimbangan kualitas tanggapan sekaligus menakar sejauh mana kepuasan penanggap dan kesolidan anggota. Namun tetap saja, bahwa grup ludruk ini saat itu belum memiliki peralatan yang lengkap juga jaringan tanggapan yang luas. Semuanya masih menyewa. Ternyata pendanaan dan biaya untuk sekali tanggapan tidak mengasilkan uang yang dapat dibagi secara memuaskan. Untuk Cak Roman sendiri, dalam beberapa tahun di tahun 1990 hingga 1996 tidak terasa telah berhutang di sana-sini untuk menutupi ketekoran tiap tanggapan. Jumlah torokan yang ia tanggung tanpa terasa mencapai 1 juta 300 ribu. Terpaksa ia harus mencari solusi untuk menutupi hutang itu. Jika tidak ia akan terlilit hutang yang tak bisa diatasi.
Untunglah ia memiliki istri yang berpengertian. Namanya Nunuk Puspowati, lahir pada 23 Maret 1867. Ia adalah seorang guru abdi di Taman Kanak-kanak di daerahnya. Ia memegang tugas pula sebagai bendahara. Dari rasa pengertian terhadap keprihatinan suaminya yang menekuni dunia ludruk tersebut, ia menyanggupi untuk menalangi hutang suaminya itu dari kas tabungan Taman Kanak-kanak. Dengan catatan, hutang itu harus segera dilunasi. Setelah hutang tertutup, karena tidak ada sumber uang lain yang bisa diandalkan, maka Cak Roman terpaksa menjual sepeda motornya yang bermerek Yahama 800 dengan harga jual 1 juta 300 ribu. Ia merasa lelah dan berat melanjutkan pengorganisasian ludruk. Di pertengahan 1996 ia undur diri dari dan mengalihkan kelanjutan Ludruk Taruna Budaya kepada sahabatnya, Supriyadi. Dalam kebingunan campur pengharapan besar demikian, Cak Roman tergerak membuka cakrawala baru.
Ia mulai memantapkan diri dengan merambah dunia pedalangan. Modal dia sederhana, yakni ingatan dan pengalaman menonton yang ia serap sejak kecil. Ditambah cerita-cerita tentang seluk-beluk dan tokoh-tokoh pewayangan yang didengarnya sejak lama dari kakeknya. Bekal ini ia asah terus. Menghayati lakon-lakon wayang dan mempelajari minat para penggemar dan penanggap. Hingga ia mulai madek (mengenalkan diri setelah bertirakat spiritual) sebagai dalang. Tanggapannya pun mengalir dari man-mana.
Pada sekisar bulan akhir tahun 1996, ia tiba-tiba didatangi oleh seseorang dengan keperluan menanggap ludruk. Cak Roman mungkin sudah lupa orang-orang yang pernah penanggap atau khalayak yang pernah mendengar Ludruk Taruna Budaya. Orang ini sangat ingin menanggap ludruk pimpinan Cak Roman. Cak Roman bilang padanya bahwa dirinya sudah tidak di ludruk lagi. Ia menunjukkan orang tersebut untuk menghubungi Supriyadi yang masih menjalankan Ludruk Taruna Budaya. Tapi orang tersebut tetap ngotot karena kepada Cak Romanlah ia merasa cocok untuk bagaimana bisa diusahakan menyanggupi hajatnya. Cak Roman berpikir keras. Bingung campur aneh juga merasa tersanjung namun berat hati. Dengan perasaan campur-baur, Cak Roman menyanggupi si orang itu, karena ia tak pulang juga sebelum mendapatkan jawaban iya darinya.
Cak Roman berupaya keras dalam hitungan sekitar sebulan untuk memenuhi permintaan seseorang yang berasal dari Dusun Petung, Desa Sumber Jati, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto itu. Dengan panggung pertunjukan yang ala kadarnya ia dan timnya menghibur penonton. Ia pun mengibarkan bendera baru ludruknya dengan nama Ludruk Roman CS. Dalam tanggapan itu ia hanya memeroleh uang tanggapan sebesar 300 ribu. Kenapa ia berani menyanggupi tanggapan dengan bayaran senominal itu? Ia tentu untuk yang kesekian kali tekor lagi. Ini tak lebih urusan hati Cak Roman yang ternyata masih melekat kuat dengan kesenian ludruk.
Di waktu lain, Cak Roman tetap menjalankan pedalangannya. Ludruk jalan, ndalang juga jalan. Seakan ada “dua jalan” di mana kedua kakinya dapat sama-sama bergerak, sesuatu yang mustahil jika dipikir-pikir, tapi mampu dilakoninya. Sampai beberapa bulan kemudian di sepanjang tahun 1997 ia memeroleh tanggapan ludruk dengan bayaran sebesar 800 ribu. Catatan darinya menyebutkan di tahun 1997 Roman CS mengantongi tanggapan hanya sebanyak 4 tanggapan, tahun 1998: 6 tanggapan, tahun 1999: 7 tanggapan, tahun 2000: 10 tanggapan, tahun 2001: 12 tanggapan, dan tahun 2002 hingga 2010 mencapai tanggapan sekisar belasan tanggapan saja. Untuk sekarang, jumlah ini teramat kecil jika dibandingkan dengan katakanlah tanggapan yang diperoleh Ludruk Karya Budaya pimpinan Pak Edy Karya dari Jetis, Mojokerto, yang setahun bisa mencapai kisaran 150-an tanggapan. Angka ini, sebut saja untuk hitungan 5 tahun terakhir, tak tertandingi oleh grup ludruk manapun di Jawa Timur.
Tak disangkal bahwa Cak Roman lebih menemukan profesi berkeseniannya di dunia pedalangan. Secara finansial-personal ia tercukupi untuk menghidupi tiga anaknya: Denis Nindia Erawati, Dita Laras Wulandari, dan Dian Tri Damayanti. Ia biasanya mematok biaya 5,5 juta, lengkap sound system dan panggung, untuk sekali tanggapan wayang. Di sepanjang tahun 1996 saja ia mendapatkan tanggapan ndalang sebanyak 22 tanggapan. Tiap tahun jumlah tanggapan ndalangnya meningkat. Sekarang bisa mencapai lebih dari 35 tanggapan. Jam terbangnya mulai dari Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Lamongan, dan Sidoarjo. Kini rekaman dalangannya dari berbagai tempat diputar secara rutin setiap Minggu malam di radio Wika FM 98,9 MH, pada pukul 22.00 WIB, setelah pemutaran dagelan Kartolo CS. Minggu malam kemarin, 9 Mei 2010, ia melakonkan “Wahyu Makutoromo”. Upaya pendokumentasian cukup baik yang dirintisnya sejak 2006, dengan tape recorder sederhana. Dan shotingan rutin ia mulai sejak 2007.
Sementara dalam mengurusi grup ludruknya ia dibantu oleh beberapa pembantunya dalam hal pengelolaan, penyutradaraan, dan koordinasi pemain. Mereka adalah Suseno dan Hartoyo. Dalam hal kru panjaknya, Cak Roman memercayakan pada Cak Sukar Sujono. Seluruh personil grup ludruknya berjumlah 60 orang jika main dengan layar dan panggung tobong. Sedang apabila memakai ijak-ijak (panggung biasa seperti panggung pertunjukan karawitan atau orkes dangdut) anggota yang tampil 50 orang.
Hajatan Pak Iswandi berupa mantenan dan nyelameti (memberkahi dengan doa dan rasa syukur) dua anak kembarnya. Harga tanggapan Ludruk Roman CS sebesar 7 juta adalah harga umum. Bagi Pak Iswandi, sebagai bentuk selamatan keluarganya, biaya itu dianggarkan dengan kisaran pengeluaran sebegitu.
Untuk kebutuhan panggung tobong, Cak Roman menyewa tobong milik Ludruk Brawijaya pimpinan Pak Fatah dan Pak Mulyono dari Desa Pandanarum, Pacet, Mojokerto. Malam itu hanya Pak Fatah yang hadir sekaligus yang mengurusi pemasangan tobong. Harga sewa tobong sebesar 1 juta 300 ribu, termasuk kostum dan pengerek layar keber. Jadi, hasil bersih yang diterima Pak Roman sebesar 5 juta 700 ribu. Ini belum dibagi untuk membayari honor anggota, kru panjak, pemain dari luar, dan lain-lain. Dari total semuanya, ia bisa mendapat bersih 500 ribu.
Ruang Sosial Antar Seniman
Di sepanjang Desa Grobogan arah selatan dari Mojoagung-Mojowarno-Wonosalam, terpampang jalanan beraspal yang agak bergelinjang dan di kanan-kiri tampak persawahan yang meluas dan menghijau. Beberapa gubuk gedek dan kios yang jajanan dan minuman. Tampak pula yang berjualan buah duren asli dari Wonosalam. Desa Grobogan sendiri termasuk desa dengan beberapa kampung yang memiliki sekian grup jaranan, seniman tandak, dan beberapa pedalang yang cukup dikenal. Persebaran seniman, terutama seniman ludruk, dalam hal tanggapan yang digelar di Desa Grobogan, dan Pak Iswandi, pada malam 2 Mei 2010, menanggap Ludruk Roman CS secara tidak langsung melibatkan banyak seniman ludruk baik yang berasal dari Mojokerto maupun dari Jombang.
Sebut saja untuk tampilan remo, Cak Roman mendatangkan dua peremo bersaudara dari Jombang, yakni Cak Misdi dan Cak Sunandar. Dua peremo lincah, gesit, dan piawai ini merupakan peremo yang banyak dipakai di sejumlah grup ludruk di Jombang, misalnya dari Ludruk Budhi Wijaya, Ludruk Mustika Jaya, dan lain-lain. Sejatinya jika ditilik sangatlah tak terhitung bahwa kaum seniman ludruk yang begitu aktif dan bersemangat dalam periode 1970-an sampai 1990-an kini sudah tidak lagi ngludruk. Untuk mengamati orang-orang ludruk lawas demikian bisa jadi rumit. Ada di antara mereka yang menjalani pekerjaan sebagaimana kebanyakan orang. Beberapa gelintir dari mereka masih ikut ngludruk jika memang ada yang menjawil. Sebagian pula ada yang sudah “padam api” dan enggan meludruk lagi. Contohnya Pak Potro, dari Desa Banjar Anyar, Jombang, ia kini bekerja sebagai pemulung dan tukang barang rosokan keliling. Ada lagi seorang tua (tak diketahui namanya) dari Perak, Jombang, usianya tak jauh dari Pak Potro, sekitar 80-an tahun, ia keliling dengn pit onthel berjualan gawang jendela. Sumber terakhir ini berasal dari tetangga saya, Pakwo Da’i, yang tahu betul wajah lelaki tua ini ketika ia melihatnya dahulu pernah tampil sebagai petandak ayu yang betul-betul indah tariannya dan digendaki banyak penggemar di Ludruk Massa Baru pimpinan Sampuri Sumbing.
Sekarang soal menclak-menclok (nongol di sana nongol di sini)-nya seniman ludruk dalam berbagai tanggapan yang digelar oleh satu, dua, tiga, atau lebih tidaklah perlu terlalu diributkan dalam kaitan dengan perkara sebagai anggota tetap grup ludruk tertentu atau dengan aturan nomor induk semisal pada Dinas Budaya dan Pariwisata kabupaten. Hal ini bisa kita cermati dalam pertunjukan Ludruk Roman CS, selain beberapa nama yang telah disebut di atas, ada Ngaidi Wibowo, pimpinan Ludruk Duta Karisma, ia ikut tampil di sini sebagai pemain yang memerankan tokoh Respati sekaligus sebagai pengatur cerita dalam lakon “Lahirnya Joko Piningit”. Demikian juga Cak Dayat, pemilik Ludruk Mandala yang sekian lama malang-melintang dalam ludruk tobongan dari Ngusikan, Jombang, ia muncul juga dalam lakon ini dan memerankan tokoh Lukmono. Kemeriahan lakon dan lawakan tak menyurutkan para penonton mulai dari anak-anak sampai kaki-nini yang berlesehan sandal-koran di depan panggung. Empat pelawak Cak Roman yakni Cak Bejo, Cak Pekek, Cak Njoto, dan Cak Pendek tak kalah hebatnya dari pelawak-pelawak lain. Mereka dapat menguras habis gelak-pingkal penonton. Para pelawak tersebut berasal dari Mojokerto: Dlanggu, Gondang, Jurit, dan dan Jabon. Bagi yang menghendaki menanggap wayang atau Ludruk Roman CS, dapat menghubungi Pak Roman di nomor hape ini: 085649792596.
Demikianlah kesenian ludruk, ia muncul dari spirit sosial-kulturalnya: sebuah cita-seni rakyat oleh rakyat atas keremeh-temehan hidup yang seringkali dibikin berat menjadi ringan dan menggelikan. Menertawakan hidup sebab hidup yang sementara yang disikapi dengan kesumelehan yang realis-spiritual. Dan ludruk akan tetap punya penggemar setianya, sebagaimana masih ada seniman tua ataupun yang muda yang mencintai ludruk tanpa tahu sampai kapan cinta itu menggemuruh di lidah dan di sanubari mereka.
Kamis, 15 Juli 2010
Ludruk Roman CS: Menggebyar Grobogan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Azis Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Muttaqin
A. Rego S. Ilalang
A. Syauqi Sumbawi
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
A’Syam Chandra Manthiek
Aang Fatihul Islam
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Aditya Ardi Nugroho
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Sulton
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Idris
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Ali Rif’an
Amien Kamil
Andhi Setyo Wibowo
Andry Deblenk
Anggi Putri
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Arie MP Tamba
Arisyntya Hidayah
Artikel
Ary Nugraheni
Asarpin
Ayu Nuzul
Balada
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Binhad Nurrohmat
Budaya
Bung Tomo
Bustanul Arifin
Catatan
Catullus
Cerbung
Cerkak
Cerpen
Chamim Kohari
Choirul
Cucuk Espe
Dami N. Toda
Daru Pamungkas
Denny JA
Denny Mizhar
Devi M. Lestari
Dhenok Kristianti
Dian DJ
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Saryono
Dody Yan Masfa
Donny Darmawan
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Permadi
Emha Ainun Nadjib
Endah Wahyuningsih
Esai
Esti Nuryani Kasam
Eva Dwi Kurniawan
Evan Gunanzar
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Fanani Rahman
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrahman Karyadi
Fathurrochman Karyadi
Fathurrozak
Felix K. Nesi
Forum Sastra Jombang
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Geguritan
Gol A Gong
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gus Noy
Gusti Eka
Hadi Napster
Hadi Sutarno
Halim HD
Hamka
Hamzah Tualeka Zn
Hardy Hermawan
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
Husnul Khotimah
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imas Senopati
Indria Pamuhapsari
Irwan J Kurniawan
Isbedy Stiawan Z.S.
J Anto
Jamal Ma’mur Asmani
John H. McGlynn
Jombangan
Junaedi
Kalis Mardiasih
Kardono Setyorakhmadi
Kasnadi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KetemuBuku Jombang
Ki Ompong Sudarsono
Kiki Mikail
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Kritik Sastra
Kurniawan Junaedhie
Latief Noor Rochmans
Liestyo Ambarwati Khohar
M Rizqi Azmi
M. Aan Mansyur
M. Abror Rosyidin
M. Badrus Alwi
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Mardiansyah Triraharjo
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Massayu
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Mh Zaelani Tammaka
Miftachur Rozak
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Antakusuma
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mukadi
Mukani
Munawir Aziz
Musfeptial Musa
Nawa Tunggal
Nawangsari
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Chasanah
Nurel Javissyarqi
Ocehan
Oei Hiem Hwie
Oka Rusmini
Opini
Padhang Mbulan
Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Prosa
Puisi
Purwanto
Putu Wijaya
R Giryadi
Raedu Basha
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan Al-yafi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Resensi
Reyhan Arif Pambudi
Ribut Wijoto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rony Agustinus
Rudi Haryatno
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Arimba
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sajak
Salamet Wahedi
Samsudin Adlawi
Sasti Gotama
Saut Situmorang
SelaSAstra Boenga Ketjil
Selendang Sulaiman
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Silka Yuanti Draditaswari
Siti Sa'adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soesilo Toer
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sugito Ha Es
Suharsono
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syamsudin Walad
T Agus Khaidir
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tri Wahyu Utami
Ulfatul Muhsinah (Oshin)
Umar Fauzi Ballah
Universitas Jember
Virdika Rizky Utama
Vyan Tashwirul Afkar
W.S. Rendra
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wong Wing King
Yanuar Yachya
Yudhistira Massardi
Yusuf Suharto
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar