Senin, 19 Juli 2010

Bingkisan Pelangi Pagi Buat Indonesia

Sabrank Suparno

Pagi selalu datang dengan nama yang sama. Menjawab tumpuhan harapan seusai mimpi. Mungkin gelap hanyalah teori. Agar tepat bedakan cahaya. Musim hujan selalu saja hari-harinya dipenuhi awan. Tak perduli sore, pagi dan malam’.

Dari area persawahan Jombang Jawa Timur. Yang pagi itu riuh gemuruh traktor pembajak menyongkar lahan. Para wanita desa jalan larik berbanjar sepanjang pematang persawahan. Dan para petani sibuk ayunkan cangkul. Tertanda tanggal 11 Januari 2010, hari pasaran Senin wage. Sejenak mereka tertegun. Jari telunjuk bergantian menuding ke cakrawala barat daya. Teriakan mereka terpukau, namun perasaan mereka galau. Terpukau karena warna-warni lukisan pelangi yang meskipun penghuni desa, tidak sering juga melihat pemandangan itu terjadi. Pelangi yang dengan keindahannya terbukti mampu menyerap segenap jiwa dan perasaan. Sebuah bentuk yang menyerupai selendang itus menyampir di dinding langit. Merah, hijau, kuning, biru, bauran warna yang seolah didesain dengan komposisi tertentus terbukti menghasilkan lukisan gaib. Tampakan warna eksotisnya syarat kharismatik memantul jauh ke dalam jiwa.

Lantas mengapa perasaan mereka galau?
Mungkin galau ini tidak terjadi kalau pelangi terjadi pada sore hari. Namun kajadian waktu itu terjadi di pagi hari. Bagi Astrofisikawan pembelajar jagat, pelangi hanyalah biasan spektrum warna yang terjadi akibat ‘kebyungan’ air yang terterpa sinar matahari. Namun bagi orang jawa, pelangi pagi(tejo) mempunyai makna tersendiri. Pelangi pagi diyakini sebuah simbol akan adanya pejabat negara yang akan mati, dan atau akan lengser, dan juga akan ‘minggat’, pergi jauh dan tak kembali.

Anggapan bahwa pelangi pagi akan terjadi adanya prahara di kalangan pejabat ini sudah turun temurun. Bertahun-tahun kejadian ini diteliti secara ‘titen’,ingatan. Ada akibat apa setelah terjadi penampakan pelangi pagi sejak zaman dahulu? Meskipun titen ini ekses kausalitas dari kajadian yang sama sejak dulu, tetapi tetap saja tidak bisa disahkan kebenarannya oleh dunia keilmuan. Atau lebih simpelnya disebut ‘klenik’.

Ilmuwan pakar neurology abad moderen ini berasumsi bahwa, tehitung sampai sekarang, dimana abad sudah menyibak iptek sekelas Goegle, Bluetot, Infrared, dan WIV, ternyata manusia masih memfungsikan tidak lebih dari 8% kemampuan otaknya untuk manganalisa gejala alam. Sedangkan yang 92% masih tidak berdaya. Disinyalir hanya orang-orang tertentu yang mampu memfungsikan kinerja otaknya melebihi 8%. Yaitu orang yang mampu merefleksikan dirinya dengan getaran gelombang transfersal vibrasi alam semesta. Dalam hal ini salah satunya adalah ‘titen’, mengingat gejala alam yang terjadi disuatu tempat (sunnahtulloh).

Adapun yang menarik dari kejadian pelangi pagi, pada hari Senin wage 11 Januari 2010 adalah terhubungnya dengan anka-angka kembar. Dalam neptu jawa senin bernilai 4, pasaran wage juga bernilai 4. Tanggal 11-01-2010 juga sederet angka-angka kembar. Ada gerangan apa dengan’sikembar’dan pelangi pagi?

Kepemimpinan nasional Susilo Bambang Yudoyono-Budiono pada peride ini adalah tipe pemerintahan kembar. Watak neoliberalnya tetap kentara meskipun dibungkus baju egalitarian. Perkawinan keduanya di tampuk kursi utama kepemimpinan nasional sebagai Presiden dan Wapres berjenis hermaprodit. Secara biologis, reproduksi dari hasil perkawinan sejenis(hermaproda) hanya akan menghasilkan genre embriologis yang berjumlah banyak. Tetapi kekebalan dan masa usianya tidak bertahan lama. Lain halnya dengan sitem reproduksi silang. Jenis keturunan yang dihasilkan hanya beberap ekor saja, tetapi kuat dan berumur ‘panjang’. Jika pelangi pagi(tejo) masih berfungsi simbolik yang sama dengan ‘ilmu titennya’orang jawa kuno dulu, lantas untuk siapa langit pagi 11 Januari 2010 kemarin membingkiskannya?

Jawaban atas pertanyaan di atas, tentu tidak sulit bagi para petani untuk menganalisa. Bagi petani tidak memerlukan metodologi riset secanggih pakar atau paradigma politisi dalam menerka eskalasi perpolitikan Indonesia yang bakal terjadi. Apalagi alur perpolitikan di Indonesia selama ini hanya bertingkah sebatas permainan anak-anak petani. Apalagi pejabat sekaliber presidenpun, tetap makan dari hasil tetesan keringat para petani.

Kebenaran petani yang melihat adanya pelangi pagi di bulan Januari lalu itu mungkin akan segera terjawab. Kemelut Bank Centuri yang menimpa Sri Mulyani, akan berahir dengan dicutatnya Sri Mulyani dari jabatan kementriannya. Merujuk pada tulisan sahabat saya AS. Laksono beberapa bulan lalu, AS. Laksono memprediksi bahwa Sri Mulyanilah yang paling aman untuk dijadikan tumbal dari keruwetan kasus Bank Centuri tersebut. Sri Mulyani disinyalir tidak berkompeten kusus dengan salah satu partai politik. Namun AS. Laksono tidak menerka lebih lanjut, bahwa Lingkaran Aburizal Bakrilah yang akan menggantikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A. Azis Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Muttaqin A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.H. J Khuzaini A.S Laksana A’Syam Chandra Manthiek Aang Fatihul Islam Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Aditya Ardi Nugroho Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Sulton Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Idris Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Ali Rif’an Amien Kamil Andhi Setyo Wibowo Andry Deblenk Anggi Putri Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Arie MP Tamba Arisyntya Hidayah Artikel Ary Nugraheni Asarpin Ayu Nuzul Balada Beni Setia Benny Benke Berita Binhad Nurrohmat Budaya Bung Tomo Bustanul Arifin Catatan Catullus Cerbung Cerkak Cerpen Chamim Kohari Choirul Cucuk Espe Dami N. Toda Daru Pamungkas Denny JA Denny Mizhar Devi M. Lestari Dhenok Kristianti Dian DJ Dian Sukarno Didin Tulus Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Saryono Dody Yan Masfa Donny Darmawan Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Permadi Emha Ainun Nadjib Endah Wahyuningsih Esai Esti Nuryani Kasam Eva Dwi Kurniawan Evan Gunanzar Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Fanani Rahman Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrahman Karyadi Fathurrochman Karyadi Fathurrozak Felix K. Nesi Forum Sastra Jombang Galuh Tulus Utama Gandis Uka Geguritan Gol A Gong Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gus Noy Gusti Eka Hadi Napster Hadi Sutarno Halim HD Hamka Hamzah Tualeka Zn Hardy Hermawan Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hilmi Abedillah Hudan Hidayat Husnul Khotimah Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imas Senopati Indria Pamuhapsari Irwan J Kurniawan Isbedy Stiawan Z.S. J Anto Jamal Ma’mur Asmani John H. McGlynn Jombangan Junaedi Kalis Mardiasih Kardono Setyorakhmadi Kasnadi Kemah Budaya Panturan (KBP) KetemuBuku Jombang Ki Ompong Sudarsono Kiki Mikail Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Kritik Sastra Kurniawan Junaedhie Latief Noor Rochmans Liestyo Ambarwati Khohar M Rizqi Azmi M. Aan Mansyur M. Abror Rosyidin M. Badrus Alwi M. Lutfi M. Shoim Anwar Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Massayu Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Mh Zaelani Tammaka Miftachur Rozak Muhamad Taslim Dalma Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Antakusuma Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mukadi Mukani Munawir Aziz Musfeptial Musa Nawa Tunggal Nawangsari Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Chasanah Nurel Javissyarqi Ocehan Oei Hiem Hwie Oka Rusmini Opini Padhang Mbulan Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto Parimono V / 40 Plandi Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Prosa Puisi Purwanto Putu Wijaya R Giryadi Raedu Basha Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan Al-yafi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Resensi Reyhan Arif Pambudi Ribut Wijoto Robin Al Kautsar Rodli TL Rony Agustinus Rudi Haryatno Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Arimba S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sajak Salamet Wahedi Samsudin Adlawi Sasti Gotama Saut Situmorang SelaSAstra Boenga Ketjil Selendang Sulaiman Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Silka Yuanti Draditaswari Siti Sa'adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soesilo Toer Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sugito Ha Es Suharsono Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syamsudin Walad T Agus Khaidir Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tri Wahyu Utami Ulfatul Muhsinah (Oshin) Umar Fauzi Ballah Universitas Jember Virdika Rizky Utama Vyan Tashwirul Afkar W.S. Rendra Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wong Wing King Yanuar Yachya Yudhistira Massardi Yusuf Suharto Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar